Tuesday, March 19, 2024
Home > Cerita > Cabai Semakin Pedas,    Cerpen Hendry Ch Bangun

Cabai Semakin Pedas,    Cerpen Hendry Ch Bangun

Pohon cabai. (pngwing)

Baru tiba di rumah dari jalan pagi keliling kompleks perumahan, Budi mendengar istrinya ngomel.

“Berengsek. Susah-susah ditanam, eh begitu mau dipetik hilang semua,” kata istrinya mengadu.

“Ada apa kok pagi-pagi marah?”

“Iya bagaimana nggak marah. Cabe rawit yang aku tanam di samping rumah, tahu-tahu ludes diambil orang. Padahal kemarin sore aku mau petik tapi tidak jadi gara-gara gerimis,” kata istrinya dengan wajah cemberut. 

Istrinya memang menanam dua batang cabai merah dan cabai rawit di samping rumah yang ada sisa tanahnya. Meskipun iseng tetapi beberapa kali cabainya dipetik untuk dikonsumsi, biasanya kalau sudah berwarna merah. Nikmat rasanya memakan hasil kebun sendiri, yang disiram dan diberi pupuk agar tumbuh subur. Enak pula dipandang mata karena tanaman itu berdampingan dengan berbagai bunga yang dipelihara istrinya. 

“Ya sudah, habis mau apa?”

“Cobalah Papa tanya tuh ke Pak RT. Kan ada CCTV katanya, tuh di pojok.”

“Malu ah, urusan kecil sampai lapor Pak RT.”

“Paling tidak kan kita puas kalau tahu siapa yang mencuri. Kalau lihat dia lewat depan rumah, kita pelototin biar dia malu..”

“Segitunya. Biar deh, barangkali karena dia butuh.”

“Lho aku juga perlu lho. Papa tahu harga cabai lagi mahal? Cek deh ke Warung Ucok, harganya sekarang 160 ribu lho per kilo. Sekarang beli, paling sedikit 10 ribu, itupun dapatnya tidak seberapa, paling juga beberapa biji,” kata istrinya setengah marah.

“Ok deh. Sabar, nanti Papa pikirin deh.”

Budi lalu masuk ke rumah dan masuk ke toilet untuk menyeka keringat dan membersihkan diri. Dia memahami memang kondisi ekonomi sekarang memburuk yang berdampak pada kemampuan dan daya beli masyarakat, termasuk di wilayahnya. Kenaikan harga membuat ibu-ibu rumah tangga pusing.

Dia mengamati warung dekat rumah kalau kebetulan mampir untuk beli pisang atau papaya, ibu-ibu yang berbelanja tidak lagi berdaya. Kalau dulu ibaratnya beri uang Rp 5000 bisa dapat  cabai bawang untuk sekali masak, sekarang sudah tidak bisa. Tempe pun naik harga dari semula 4000 menjadi 6000. Agar bisa dibeli, sekarang ada ukuran separuh. Daging ayam naik menjadi paling murah 35.000 untuk ukuran kecil.

Nah, dampak lanjutannya, tanaman di halaman luar rumah yang biasanya “aman” ikut menjadi korban. Buah mangga, jambu air, yang banyak ditanam di rumah-rumah, tidak disentuh malahan berjatuhan di jalan. Tetapi cabai rawit, kerap mendadak gundul karena sudah dipetik. Kejadian itulah yang menimpa tanaman di rumahnya.  

***

Penyebab kenaikan harga, menurut informasi yang dia peroleh dari media massa, tidak hanya satu. Pertama-tama soal musim yang tidak menentu. Sudah masuk bulan Juli tetapi hujan masih saja turun di banyak daerah. Hujan ini membuat tanaman tidak berbuah sebagaimana lazimnya karena terlalu banyak air yang diserap. Bawang yang biasanya sekitar Rp 20.000 per kilogram, menjadi Rp 60.000 di warung karena banyak yang gagal panen, seperti juga cabai, sehingga pasokan ke pasar induk dari daerah berkurang drastis.

“Harga sayuran juga naik karena barangnya susah,” kata Ucok memberi keterangan. “Kacang panjang seikat sekarang terpaksa dijual Rp 15.000. Tomat sekilo menjadi Rp 12.000, karena memang dari sananya sudah naik.”

Bahan makan dari Cina seperti wortel, bawang, yang cirinya adalah berukuran besar, juga naik karena hasil impor terbatas karena masalah transportasi sebagai dampak Covid 19, apalagi ditambah dengan menguatnya dollar yang membuar harga menjadi naik.

Sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo, serbuan Rusia ke Ukraina juga membuat pasokan gandum ke dunia berkurang. Akibatnya harga bahan makanan dan makanan berbasis tepung terigu ikut terkerek.

Banyak negara yang menahan ekspor karena khawatir tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri, seperti Malaysia yang tidak lagi memasok ayam hidup ke Singapura untuk pengamanan konsumsi sendiri. Untunglah Indonesia sudah dapat memenuhi kebutuhan akan beras sehingga tidak perlu impor, karena hasil panen yang berlimpah bahkan surplus dan ada rencana untuk mengekspor beras premium ke beberapa negara. Itu sebabnya harganya stabil, mulai dari yang Rp 8.000, Rp 10.000, sampai Rp 12.000 per liter. Dulu pernah ada masa dimana harga termurah Rp 10.000 per liter yang bikin rakyat menjerit.

Pemerintah, menurut berita-berita, memberi bansos berupa uang tunai dan juga bahan pokok untuk meringankan beban masyarakat khususnya kalangan miskin dan ekonomi lemah. Dari berita Presiden Joko Widodo berkeliling ke berbagai negeri untuk menyalurkan bantuan itu, mulai dari Nias, Jawa Tengah, Jawa Barat, bahkan ke NTT, dan Sulawesi.

“Relakan sajalah, Mam. Kita kan masih mampu membeli, barangkali yang mengambil itu mereka yang memang tidak punya uang,”katanya sambil duduk minum the.

“Rela nggak rela deh, aku sih masih kesal saja,” jawab istrinya.  

***

Sebetulnya Budi sendiri sudah mulai merasakan dampak dari kenaikan harga ini. Sebagai pensiunan yang pendapatannya tetap, naiknya pengeluaran dari perkiraan pasti berpengaruh pada daya beli. Pos-pos pengeluaran terpaksa ditinjau lagi, mana yang bisa dihemat dan mana yang tidak bisa.

Misalnya saja bepergiran dengan mobil, karena harga Pertamax yang sudah “menyesuaikan” dan tarif tol yang cenderung naik, membuat bepergian hanya dilakukan untuk hal penting. Atau volume bepergian dikurangi.Kalau semula potong rambut di barbershop dengan layanan pijat dan ruang dingin, mungkin kini di tempat cukur yang lebih hemat asal masih bersih dan potongannya rapi.

Untuk makanan tidak ada masalah karena selama ini pun keluarganya termasuk lebih banyak mengonsumsi sayur dan buah-buahan, mengurangi daging, ikan pun lebih sering dipepes atau sup, jadi hemat minyak goreng. Sejak usia 50 tahun sudah ada kesadaran dalam diri Budi untuk menjaga asupan dan berolahraga, minimal untuk mencegah penyakit degeneratif.

“Tadi sudah ke Pak RT, “ tanya istrinya sehabis Budi kembali dari masjid.

“Sudah, tapi rekamannya kabur, mungkin karena kurang servis atau kaset rekamannya sudah dipakai berulang kali. Jadi nggak jelas yang terlihat,“ jawab Budi meyakinkan.

“Suruh perbaiki dong. Percuma kita ditarik bayaran keamanan tiap bulan,” kata istrinya dengan nada kesal.

“Itu juga sudah saya sampaikan. Pak RT bilang nanti akan diusahakan karena kan anggarannya juga terbatas,” kata Budi. “Tolong bikinkan teh dong. Enak nih sore-sore duduk di teras sambil ngeteh.”

Istrinya lalu bergerak ke dapur. Budi duduk sendirian, melepaskan nafasnya dengan tarikan panjang. Sebetulnya tadi di rekaman yang dilihatnya di pos kontrol Ketua RT tampak jelas siapa yang memetik biji-biji cabai di samping rumahnya, seorang ibu yang memang biasa lewat untuk berbelanja ke warung dekat rumah.

Peristiwanya terjadi agak pagi, ibu itu kelihatan membawa barang belanjaan dari plastik kresek. Pikir Budi, mungkin uang ibu itu kurang untuk membeli cabai, jadi tanpa permisi dia ambil di halaman orang. Atau mungkin karena tidak ada orang yang mau diberitahu, dia ambil cabe itu begitu saja. Ah, biarlah, tidak masalah, pikirnya. Anggap saja pahala. Kalau istrinya tahu, malah bisa berabe, jadi cukup menjadi rahasianya.

***

CIputat, 18 Juli 2022

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru