Thursday, April 18, 2024
Home > Cerita > Dan Malam Semakin Dingin (2),   Cerpen Hendry Ch Bangun

Dan Malam Semakin Dingin (2),   Cerpen Hendry Ch Bangun

Ilustrasi - Dan Malam Semakin Dingin. (id.id.facebook.com)

Budi bersiap-siap tidur. Dia sudah mengenakan piyama sehabis membereskan meja kerja yang tadi menjadi tempatnya duduk membaca. Dia sudah menyetel alarm di ponsel, agar bisa bangun kira-kira setengah jam sebelum subuh. Maksudnya agar persiapan menuju masjid tidak buru-buru. Bebersih di kamar mandi dengan santai dan berjalan juga dengan santai untuk beribadah pagi.

Tiba-tiba telponnya berdering. Rupanya Dian. Ada apa? Dia menekan tombol untuk menerima panggilan dari orang yang pernah dicintainya di masa kuliah itu.

“Ada apa kok tumben?”

“Kamu bisa temenin aku nggak?” Suara wanita paruh baya itu agak bergetar. Ada sesuatu di balik suara parau di balik telpon.

“Bisa. Bertemu di mana?”

“Nanti aku jemput di ujung jalan kompleksmu. Sepuluh menit lagi ya. Aku menuju ke sana.”

“Iya. Aku segera pakaian,” kata Budi. Tanpa pikir panjang dia melapas piyama. Membuka lemari, mencari celana panjang, memakai kaus Tshirt, bersisir, lalu bergegas turun ke lantai bawah. Anak-anak sudah tidur dan dia pelan-pelan membuka, lalu mengunci pintu sambil membawa anak kuncinya.

Tidak lama berdiri di gapura dekat kompleks perumahannya, sebuah taksi berhenti di hadapannya.

“Ada apa?” Tanya Budi sambil membuka pintu mobil

“Ayo masuk,” balas Dian.

Belum sempat Budi duduk sempurna, Dian langsung menjatuhkan tubuhnya ke bahu Budi. Tak menunggu lama wanita itu menangis terisak-isak.

“Oke, oke. Tenangkan diri dulu,” katanya. Kehangatan tubuh Dian merasuk ke dalam jiwanya. Pelukan tangan yang tak pernah diharapkan, tiba-tiba terjadi begitu saja. Entah sejak kapan Budi ingin memeluk wanita yang dulu diimpikannya bisa menjadi teman hidup ini, tetapi tidak pernah kesampaian, setidaknya sejak mereka berpisah puluhan tahun lalu. Ah, kenapa jadi begini..

Entah dua menit entah empat menit. Budi tidak tahu berapa lama tubuh Dian menempel. Dia justru hanyut dalam kecengengan yang sama.

“Maaf, maaf kok aku jadi emosional begini,” ujar Dian ketika dia mendadak melepaskan diri. Lalu mengusap airmatanya dengan tisu yang diambil dari tasnya.

“Aku suka kok,” kata Budi dengan becanda, untuk menutupi rasa malu di hati.

“Ah kau ini masih saja suka melucu,” kata Dian.

Sudah ada senyum di wajahnya. Senyum yang selalu membuat Budi terkenang-kenang. Mereka berdua menikmati adegan singkat tadi. Menjadi pelepas rindu. Menjadi pelepas emosi, dan menyalurkan hasrat lama yang terpendam. Dan tidak merasa bersalah karena berlangsung begitu cepat, tanpa skenario, karena kondisi yang tidak terduga.

***

“Lalu kenapa mendadak mengajak aku keluar malam-malam begini?” tanya Budi akhirnya.

“Tadi Bowo menelpon. Kau tahu di sana pas jam istirahat kantor. Entah kenapa dia kesal, lalu marah sama aku karena katanya terlalu lama pergi ke Tanah Air, rumah tidak ada yang urus. Makan jadi repot. Rumah kotor. Lalu melantur kesana-kemari. Buntut-buntutnya dia bilang. Kalau mau cerai ayo saja. Aku juga jenuh sama kamu, katanya. Bayangkan saja. Dia yang salah dia yang merasa benar,” kata Dian. “Jadwal aku liburan sudah dia setujui. Aku di sini satu bulan karena ngurus macem-macem. Termasuk ke kampung bertemu saudara. Mendadak marah.”

“Aku bukan mau ikut campur. Tapi bukannya kalian hidup bahagia? Aku lihat foto-foto kalian di media sosial begitu hangat. Liburan bersama, semua gembira. Di rumah, semuanya berwajah senang. Ada apa?”

Dian terdiam sejenak. Tampak ada banyak yang dipikirkannya, namun dia ingin memilih kata-kata yang tepat untuk mengutarakannya. Entah kenapa. Akhirnya dia bicara. Melepas semua emosi.

“Sudah bertahun-tahun aku merahasiakan ini. Aku menyembunyikan perasaanku sedalam-dalamnya agar tegar. Aku berharap suatu saat nanti masalah akan selesai dengan sendirinya. Tetapi ternyata tidak. Bahkan memburuk.”

“Aku belum mengerti maksudmu.”

“Hubungan kami memburuk sejak ketahuan Bowo berselingkuh,” katanya pelahan, seperti melepas beban berat puluhan kilogram.

“Kurasa dia sangat mencintaimu.”

“Ah lagi-lagi kau salah. Cinta mungkin, kalau sangat rasanya tidak. Tapi aku maklum, orang luar selalu menilai kami pasangan yang sempurna. Selalu pergi bersama. Selalu tampak mesra. Anak-anakpun sebenarnya tidak tahu. Kami pandai menyimpan rahasia.”

Budi menerka-nerka apa yang terjadi sebenarnya. Apakah kehidupan di Eropa yang bebas punya peran dalam keretakan rumah tangga? Rasanya sama saja. Tokh mereka sudah terbiasa hidup di sana. Ataukah rasa jenuh karena terjebak dalam rutinitas? Mestinya tidak, karena mereka secara rutin berlibur. Ke berbagai negara dan sering pula kembali ke tanah air, berlibur ke Raja Ampat, ke Bali, ke Danau Toba.

“Setiap keluarga punya cobaan hidup. Aku tidak mengerti, tentu masing-masing ada  persoalan yang tidak diketahui orang lain.”

Dian menarik nafas panjang.

“Ada banyak faktor, Budi. Yang satu menjadi pemicu bagi yang lain. Entah mana yang paling besar peranannya.”

“Kalau kau mau, silakan cerita. Anggap saja ini diskusi. Aku tidak akan ambil keuntungan dari kesusahanmu. Aku masih respek kepada perkawinan kalian,” kata Budi.

“Ah kau ini. Aku tahu kau masih mencintaiku. Dan biar kuberi tahu sekarang, aku juga tetap mencintaimu. Hanya perkawinan yang menghalangi kita. Yang menjadi dinding pemisah. Tapi tokh kita bisa menatap dari lubang jendela, untuk tetap menyapa. Jadi kalaupun aku bercerita kepadamu ini tidak lebih dari keinginan untuk berbagi. Karena kau selalu logis dan bisa dimintai saran,” kata Dian.

“Hmm, senang juga mendengar kau berterus terang,” balas Budi dengan tersenyum pahit. Pasti Anda bahagia mendengar orang yang Anda cintai menyatakan dia memiliki perasaan serupa, walau tidak mungkin memilikinya.

“Eh sudah sampai. Ayo kita ngobrol di kedai kopi saja,” katanya sambil meminta supir taksi menghentikan kendaraan di warung waralaba yang buka 24 jam.

***

Menurut Dian, dia mencium gelagat Bowo ada main dengan wanita lain dari   perubahan sikap, terutama ketika di akhir pekan ikut kursus dansa. Tampil rapi, wangi, bersemangat, bahkan lebih dari ketika pergi bekerja. Nah suatu saat dia juga   memaksa ikut kursus. Dia melihat tatapan yang tidak pantas dari perempuan   pelatih dansa Bowo.

“Aku heran, kok dia cemburu kalau aku ngobrol sama suami sendiri. Waktu aku tanya ke Bowo, dia awalnya bilang itu perasaanku saja. Tapi lama kelamaan, sikap bencinya ke aku tuh makin ditampakkan. Langsung saja aku damprat depan umum. Bowo marah, dia bilang, aku tidak sopan bikin malu dia depan banyak orang dan macem-macem. Aku marah dong, mau mempertahankan keluarga kok justru aku yang disalahkan,” kata Dian bercerita.

Dalam keadaan seperti itu mertuanya malah membela Bowo. Menurut dia berbeda dengan di Indonesia, soal kedekatan guru dan murid dansa hal yang lumrah.

“Kamu harus terus menyesuaikan diri dengan keadaan di sini. Jangan berpikir seperti di Jawa sana,” katanya.

“Ruwet juga ya. Karena dia tidak mengalami sendiri, mertuamu melihat persoalan secara umum padahal masalahnya soal perasaan. Tiap istri pasti tahu kalau ada perubahan sikap suaminya.”

“Itu yang bikin jengkel. Apalagi kemudian Bowo tidak mau disuruh berhenti. Akhirnya aku yang berhenti. Maksudnya biar dia sadar. Malahan kalau kursus dia pulang semakin malam. Begitu pulang, mandi, tidur. Aku seperti tidak ada..”

“Kamu nggak coba ngajak bicara.?”

“Sering aku coba. Misalnya saat sarapan pagi harinya. Tetapi dia nggak mau bicara, alasannya nanti malah berantem lagi.”

Hubungan di depan anak-anak tetap normal karena keduanya tidak ingin mereka terpengaruh secara psikologis. Berlibur pun tetap dilakukan hanya saja tampilan mereka di depan kamera bila difota semuanya seperti sandiwara saja.

“Aku ikut bersedih, Dian. Ini sungguh-sungguh. Meski aku patah hati dulu aku selalu berharap yang terbaik untukmu.”

“Kau memang orang baik, Budi. Entah mengapa aku dulu tidak melihat itu..”

Mereka menikmati malam, di antara pengunjung yang asyik dengan urusannya sendiri-sendiri. Mengirup kopi, mendengarkan musik dengan suara lamat-lamat. Terdiam dengan kopinya masing-masing. Seperti masuk ke dalam sumur tanpa dasar.

“Sebenarnya aku ingin tidur denganmu malam ini,” kata Dian tiba-tiba. Bagai disambar petir, mulut Budi ternganga. Dia sungguh terkejut. Tadi memeluk, kini mengajak tidur bersama.

“Tidak, tidak, tidak, tidaaaak. Lebih baik kita mengobrol di sini sampai pagi,” kata Budi dengan suara setengah gagap. “Jangan merusak semuanya hanya karena kita emosi.”

Dian menunjukkan wajah merajuk. Melumerkan keras hati Budi. Menghancurkan benteng pertahanan moralnya. Mengaduk-aduk perasaan cintanya.

“Ayo duduk sini. Biar kupeluk. Kalau mau bercerita, ceritalah. Kalau mau menangis, menangislah. Tumpahkan semuanya supaya hatimu tenang. Lepaskan biar lega.  Ayo,” kata Budi menarik tangan Dian.

“Kalau begitu aku ingin menciummu saja,” kata Dian manja. Tak menunggu dia langsung memagut bibit Budi yang masih terkesiap. Tapi akhirnya tokh dia tidak mampu menolak. Dia pun menikmatinya.

Dan ketika malam semakin dingin, sepasang kekasih yang terhalang tembok perkawinan, saling memeluk di sebuah sofa. Di pojok sebuah kedai kopi, ketika semua tamu sibuk dengan dirinya, dan merasa tidak perlu tahu apa yang dilakukan orang lain.***

Berastagi, 02 Desember 2020.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru