Saturday, July 27, 2024
Home > Cerita > Istri, Cerpen: Hendry Ch Bangun

Istri, Cerpen: Hendry Ch Bangun

Ilustrasi - Istri. (sintayudisia wordpress.com)

“Kalau sudah sakit, baru deh ingat istri. Kalau nggak, mikirin kantoooor melulu. Atau malah mikirin yang lain.”

Omelan seperti itu dulu pernah dirasakan Hendra. Tetapi biasanya dia diam saja karena tahu   bahwa komplain istrinya itu benar adanya. Tidak ada yang perlu dibantah.

Kalau badan enggak enak, mulai dari masuk angin, flu, sakit perut, apalagi sakit gigi, istri menjadi pelabuhan terakhir yang membuat suasana hidup jadi nyaman. Rebahan di tempat tidur, dibuatkan teh panas, dipijat-pijat, tiada lagi kenikmatan yang dituntut. Apalagi kemudian secara otomatis di kepala terbayang masa-masa indah sewaktu usia masih muda.

Ingat jalan-jalan bersama, mungkin menonton, ataupun pergi mengantar istri ke pasar, berbelanja di pertokoan. Atau berpelukan sambil berkata-kata indah. Istri menjadi si nomor satu. Lupa cerewetnya, lupa borosnya, lupa omelannya yang bikin sakit kepala.

“Makanya kerja itu harus tahu batas waktu. Jangan dipaksakan. Jaga badan, kalau sudah sakit begini memang boss bisa bikin penyakit hilang, kan nggak. Yang repot orang rumah juga. Yang merawat ya istri juga,” begitulah nasehat yang terpaksa dia telan habis karena terbaring lemah di ranjang.

“Udah deh Mam. Nanti malah makin sakit nih.”

“Tuh ‘kan kalau dikasih tahu. Membantah aja bisanya.”

Hendra biasanya membalikkan badannya untuk memperkecil volume suara istrinya, dengan menutup telinganya sebelah dengan bantal. Istrinya lalu tahu diri, pergi ke luar. Tapi takkan lama, karena beberapa saat kemudian akan kembali untuk memberi “nasehat”.

Hendra menyadari benar, hanya ketika sakit dan tidak ke kantor dia memiliki waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan istrinya. Sehari-hari dia akan pergi pagi, menuju kantor setelah sebelumnya mengantar dua anak ke sekolah masing-masing. Kemudian walaupun pulang sore, macet membuat dia tiba di rumah sekitar jam Sembilan malam.

Badan sudah capek. Habis minum teh serta camilan, dia akan mandi, kemudian istirahat. Sulit untuk ngobrol-ngobrol, kecuali ada yang luar biasa penting untuk dibicarakan.

Dia sudah terbiasa mendelegasikan berbagai urusan ke istri. Mulai dari urusan  rumah tangga sampai pengecetan tembok, perbaikan pagar, mengurusi kebocoran atap ataupun hal-hal terkait urusan sosial dengan tetangga, Pak RT, Pak RW dsb. Itulah Jakarta yang maha sibuk dan macet membuat komunikasi sosial bahkan internal jadi terhambat.

***

Kalau mengingat itu, rasa sayangnya kepada istri jadi bertambah. Dia paham betul bagaimana istrinya berjuang  agar anak-anak mereka rajin belajar, memahami agama, taat kepada orangtua, sehingga bisa dibanggakan.

Dia tahu bagaimana menjaga rumah dengan baik sehingga bersih dan rapi, nyaman ditinggali, enak dihuni. Dia dapat berperilaku baik sehingga keluarganya dihormati tetangga, selalu terlibat dalam kegiatan sosial sehingga Hendra pun menjadi kepala rumah tangga yang disegani.

Kalau sudah begitu, apabila bangun tengah malam dan melihat istrinya tertidur, diam-diam dia suka mengecup kening pasangan hidupnya itu. Dia berjanji untuk membahagiakan istrinya dengan segala kemampuan yang ada, tidak akan mengecewakannya, entah sebagai suami atau pun sebagai kepala keluarga.

Namun kadang-kadang hidup tidak lah semudah yang diinginkan. Ada saja godaan yang datang walau ingin dihindari. Hidup di Jakarta dengan pergaulan yang luas, sikap terbuka karena tuntutan pekerjaan membuat Hendra juga kadang ingin coba-coba, sebagaimana dilakukan banyak teman.

Diajak makan siang, ok. Diajak ngopi di kafe, ok. Kalau beramai-ramai tentu tidak masalah. Tetapi kalau kemudian dilanjutkan dengan pergi berdua, maka bahaya sudah mulai mengintai. Apalagi lalu diikuti dengan komunikasi yang sifatnya pribadi.

“Mas, aku mau curhat nih. Boleh nggak?”

“Nggak apa-apa kalau kamu percaya sih.”

“Itu lho, bos ku itu kejam banget deh. Kita dikasih target ketinggian, begitu semester pertama nggak tercapai terus saja kita disudutkan. Capek banget rasanya.”

“Lagi zaman susah, hampir semua lini sulit mencapai target. Mestinya kan para bos tahu.”

“Iya, tapi mereka menyalahkan terus.”

“Mungkin karena mereka juga dimarahin Big Boss,” kata Hendra.

“Kalau Mas Hendra ketemu bosku, belain aku ya.”

“Iya deh nanti kalau ketemu beliau.”

Dari sekadar kenal, berteman, lalu kemudian mulai masuk masalah-masalah pribadi, tidak lama akan muncul empati. Kalau sudah begitu, biasanya sifat kepahlawanan lelaki muncul, ingin menjadi hero yang menyelamatkan, meski mungkin menjerumuskan dirinya sendiri. Semakin empati keterlibatan emosi akan semakin dalam. Lupa istri, lupa anak, lupa keluarga.

***

Belasan tahun kemudian yang ada hanya penyesalan, mengapa dia bisa terperangkap dalam jebakan emosi seperti itu. Kalau saja dia memberi kesempatan lebih banyak kepada akal sehat, pasti tidak tidak akan mencoba-coba.

Tetapi itulah, di usia 40-an, yang kerap disebut sebagai puber kedua, hampir semua laki-kali ingin berpetualang, membiarkan keinginan-keinginan liar, nafsu-nafsu purba menguasai dirinya. Tidak ada yang ditakuti, tidak dipikirkan risiko, ya tergantung nanti saja. Que sera sera, apa yang terjadi terjadilah.

Untunglah yang dia hadapi badai kecil. Walaupun sempat guncang sedikit, kerusakan dapat diperbaiki dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama. Hendra sendiri tidak tahu apakah kepercayaan istrinya sudah pulih, yang jelas hidup bisa berangsur normal. Paling yang sering dia terima adalah sindiran-sindiran kecil, yang buat Hendra itu tidak masalah karena dia anggap sebagai hukuman yang harus diterima.

Seiring bertambahnya usia, dia mengingat lagi berbagai teori manajemen yang  didapatnya lewat kursus-kursus singkat karena ditugaskan kantor. Mengelola keluarga tidak ada bedanya dengan mengelola unit di perusahaan, ada pembagian kerja, ada rencana, ada target, ada indikator keberhasilan, dan ada jalan keluar apabila ada sumbatan atau hambatan, baik karena faktor internal atau pun eksternal. Dia kerap mengevaluasi dirinya, apakah sudah menjalankan semua kewajiban, sudah hidup sesuai dengan job desc sebagai suami, kepala rumah tangga, sebagai patron yang patut dicontoh?

Beruntung dia memiliki pengetahuan manajemen, bagaimana yang tidak? Hendra melihat sekeliling baik lingkungan kerabatnya, handai tolan, maupun teman dan keluarga yang dia kenal. Ada yang mengelola keluarga tanpa perencanaan. Asal jalan saja. Kadang dominasi kepala keluarga begitu tinggi dan istri hanya pelengkap penderita. Ada pula yang kedudukan istri begitu dominan sehingga suami mengikuti kemauannya.

Hendra sendiri merasa anak haruslah menjadi pusat, agar mereka kelak tumbuh menjadi anak yang mandiri, tidak menjadi beban, menjaga martabat keluarga, sehingga harus diatur cara mendidik dalam berbagai aspek. Di sini ayah dan ibu bisa berbagi peran untuk mensukseskan program itu.

“Keberhasilan anak sebagian besar ditentukan istri yang berperan baik, sisanya barulah peran sang suami dengan memberi suport sepenuhnya,” ujarnya dalam hati.

Lalu dia peluk lagi istrinya yang masih tertidur. Jam di dinding menunjukkan lepas tengah malam. Hendra pun bergerak ke kamar mandi untuk berwudhu.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru