Tuesday, March 19, 2024
Home > Cerita > Orang Asing, Cerpen Djunaedi Tjunti Agus

Orang Asing, Cerpen Djunaedi Tjunti Agus

Sabrina. Nama itu masih sangat saya ingat, begitu wanita muda itu melintas di samping rumah orangtua kami di lingkungan pasar desa, Jumat pagi itu. Ketika dia melihat saya, saya coba tersenyum. Namun mendadak dia melengos, memaling kan wajah.

“Dari mana, bu?” Saya coba menyapa. Namun tak ada balasan, senyum pun tidak. Apa salah saya? Begitu pertanyaan dalam hati. Dan tak ada lagi kesempatan, begitu sebuah kendaraan umum berhenti persis di sampingnya. Sabrina yang dilingkungan masyarakat desa lebih dikenal dengan nama Noni—-karena kulitnya yang putih dan wajahnya yang sering memerah jika diterpa matahari bak noni-noni Belanda–langsung naik kendaraan itu.

Sedikitpun saya tak ragu. Yang tadi itu pasti Noni, teman saya semasa SD dulu. Saya ingat dia, karena kami pernah memadu kasih. Kami terakhir jumpa 18 tahun lalu di Jakarta . Apa mungkin dia lupa wajah saya?

“Apa yang kamu pikirkan Nak? Nggak betah ya?” Sesaat saya dikagetkan suara ibu.
“Ah nggak?” Jawab saya sekenanya.
“Tadi kamu bicara dengan siapa?”

Untunglah sesaat kemudian muncul anak-anak berlarian di halaman dan ibu pun masuk ke dalam. Salah seorang anak masuk ke rumah kami. Dia keponakan saya. Mereka baru saja pulang sekolah, di sebuah SD dekat rumah orangtua saya. Saya tetap duduk di teras rumah. Kemudian melintas sebuah sepeda motor.

Pengedaranya melihat ke arah saya. Saya coba membalasnya dengan senyum. Namun dia tampak ragu-ragu, bahkan sepertinya curiga. Mungkin saya dianggap orang asing, pendatang.

“Yeah.”
Tanpa disadari, saya mengeluarkan suara, mengeluh. Namun secara bersamaan ibu tiba-tiba telah berada lagi di
samping saya.

” Ada apa? Bosan,” katanya sambil mengelus kepala saya. Meski saya sudah hampir berusia kepala lima , ibu tetap memperlakukan seperti anak-anak, seperti kami masih berkum pul, ketika saya masih di SD, SMP, dan SMA dulu. Tak terasa air mata menetes di kedua pipi saya. Buru-buru saya menghapus, takut dibilang cengeng.
” Ada apa sebenarnya?,” kata ibu lagi. Lembut.
“Eh sedang santai Niang(*). Siapa tu?”

Pertanyaan dari seorang ibu yang jalan berbarengan dengan perempuan lainnya persis di depan rumah, dengan beban keranjang kosong di kepala, membuat ibu menghentikan elusan tangannya.

“Ini anak Uniang, baru datang kemarin,” kata ibu.
Kedua wanita yang menyapa ibu terlihat tersontak, senang. Wajah keduanya tampak cerah, senyum pun mengembang dari bibir keduanya.

“Ee, e, eeee. Ini anak Uniang yang merantau ke Jawa tu? Aduuuuhhh, kok nggak pernah pulang kampung. Kami hanya tahu nama, tapi tak pernah ketemu orangnya…,” kata salah satu diantaranya.

“Ini famili kita yang di Kabun,” kata ibu menjelaskan pada saya. Saya kemudian berdiri, menyalami kedua perempuan itu.

Ibu saya yang anak tunggal itu memang selalu dipanggil dengan sebutan Uniang oleh siapa saja, entah oleh famili, saudara-saudara sepupunya atau oleh orang-orang yang mengenalnya. Saya pernah bertanya tentang itu, tapi ibu menjawabnya sekenanya; “Uniang itu bisa juga artinya ibu,” katanya.

Serentetan pertanyaan mengalir dari kedua wanita itu silih berganti. Pertanyaannya pun seputar diri saya, dimana tinggal, sudah punya anak berapa, pekerjaannya apa. Kok nggak pernah pulang kampung. Istri dan anaknya kok nggak di bawa? Di tengah gencarnya pertanyaan dari kedua perempuan itu, dari arah belakang rumah kami terdengar suara azan. Suara tanda panggilan utuk shalat Jumat dari Masjid Al-Manar–tempat saya tidur-tiduran waktu kecil.

“Saya pamit dulu ke masjid, Jumatan,” kata saya.
“Ya.. Nanti main ke rumah ya, sekarang lagi musim durian. Di rumah ada durian,” kata salah satu diantaranya. Saya mengangguk.
“Insya Allah,” kata saya sambil berdiri menuju ruang tengah.
“Eh sudah ke rumah bako(*) kamu di Kampuang Tanjuang, belum?
Tapi sayang ya, Noni…”
Darah saya berdesir, begitu perempuan yang satunya menyebut nama Noni. Ada apa dengan Noni? Kenapa pula Noni cuek ketika dia saya sapa?

Serentetan pertanyaan menggelayuti benak saya. Apa saya perlu ke Kampuang Tanjuang untuk mencari jawabannya, karena Noni memang tinggal di sana ?
Tapi yang saya heran, juga kagum, wajah Noni hampir tak berubah sejak kami terakhir bertemu 18 tahun lalu. Dia masih seperti dulu. “Andai saja,” pikir saya.

***

Kecuali sepi, tak banyak perubahan di Pasar Kotomambang, dimana rumah orangtua kami berada. Bus-bus besar taklagi seramai dulu, karena kendaraan umum dari Padang ke Parimanan dan sebaliknya tak lagi melalui Kotomambang, sejak jalan lintas (by-pass) dari Lubuk Alung – Pariaman dioperasikan.

Istri saya Suny paling suka ngledek soal angkutan itu.
“Eh, tahu nggak. Kalo mau ke rumah Papa di kampung, kita harus betah berdiri lama-lama di pinggir jalan. Setiap bus berhenti lalu kita tanya, lewat Kotomambang nggak! Paling dari 10 bus hanya satu yang lewat Kotomambang,” katanya.

Mendengar itu, dua dari tiga anak saya Vina dan Dwi tertawa berderai-derai. Hanya Desy yang sering sewot. Anak terkecil kami ini memang sering membela saya.

“Kan kita punya mobil sendiri! Ngapain nungguin bus?” katanya membela.
“Lo mobil kita kan nggak dibawa ke Padang ,” kata Dwi.
” Kan ada taksi, ada mobil om, adaaa…,” kata Desy lagi.

“Uang itu tak ubahnya bagai minum air laut. Makin diminum makin haus. Jadi….” Saya terkejut mendengar kali
mat yang meluncur di corong pengeras suara masjid di samping saya nongkrong.

Ah! Rupanya saya sudah cukup lama ngelamun di pinggir sungai di samping jembatan, dekat masjid ini. Buru-buru saya menyingsingkan celana, menggulung kedua lengan baju. Saya turun ke sungai. Sempat memandang ke arah hulu, Gunung Gadang masih tampak berdiri megah nun jauh di sana . Saya kemudian berwudhu. Segar.

Meski aliran airnya tak sederas dulu, ketika saya sering mandi dan bermain di sungai ini waktu kecil, namun melihat airnya yang bening dengan ikan-ikan sebesar pangkal lengan orang dewasa berlarian diseputar kaki yang terendam air memang mengasyikkan. Lauak baniek(*) itu sepertinya  jinak, bahkan bisa dipegang.

Pak Ustaz masih terus menyampaikan kotbahnya. Meski agak terlambat masuk masjid tak sulit mencari saf-saf yang masing kosong. Saya langsung salat sunat masjid dua rakaat. Usai memberikan salam kanan kiri saya salami jamaah lain yang ada di seputar saya.

“Mudah-mudahan ada yang mengenali saya,” pikir saya.
Saya melihat ke saf deretan terdepan, di situ ada yang saya kenal. Dia guru saya di SD dulu, ya ada pula Mak
Kiran mantan Wali Nagari. Saya kenal dia. Tapi pada kemana teman-teman seangkatan saya yang di SD dulu?

***

“Beginilah keadaan kampung kita sekarang. Sepi!” kata Mak Kiran.
“Tak hanya pasar yang kosong melompong, tapi masjid pun tak pernah penuh. Seperti kamu lihat pada salat Jumat tadi,” katanya meneruskan pembicaraan.

Mak Kiran, begitu kami memanggil paman jauh saya ini, juga sempat tak mengenali saya. Begitu saya salami, dia
terlihat heran. Tapi setelah saya menyebut nama dan menyebut nama ibu sambil menujuk ke arah rumah kami di pasar, dia baru paham.

“Terus terang kami tak mengenali kamu,” kata Pak Norman, guru saya di SD dulu ikut nimbrung.
“Duduk lah dulu, kita cerita,” kata Mak Kiran. Pak Norman pun yang sebelumnya telah melipat rapi sajadahnya, juga ikut duduk.
“Bagaimana keadaan mu sekarang? Usahamu maju?”, begitu Mak Kiran memulai lagi pembicaraan.
“Merokok Mak, Pak,” kata saya pada Mak Kiran dan Pak Norman, sambil menyodorkan sebungkus rokok. Saya lebih dulu mengambil sebatang, menyalakannya. Melongok kiri kanan, tapi Pak garin masjid rupanya tahu maksud saya. Dia menunjuk ke balik mimbar dan Pak Norman menjangkau, lalu keluarlah sebuah asbak.

“Terimakasih,” kataku.
“Apanya yang terimakasih!? Ditanya soal usaha kok jawabnya terimakasih,” kata Mak Kiran.
“Maksud nya terimakasih asbaknya,” kata saya. Mak Kiran tertawa terbahak. Memang itu yang saya senang. Seingatku Mak Kiran tak pernah memperlihatkan wajah susah, baik ketika datang ke Jakarta mengunjungi anak dan beberapa ponakannya.

“Ya, ya. Jadi bagaimana usahamu,” katanya lagi.
“Kamu masih punya toko di Tanah Abang kan?,” kata Pak Norman, ikut bertanya.
“Yaah…. Itulah persoalannya,” kata saya.
“Tokonya nggak diasruansikan?,” kata Mak Kiran lagi.
“Tapi kamu masih kerja di perusahaan. Apa namanya?
Perusahaan asing itu kan ,” sela Pak Norman.
“Itulah persoalannya,” kata saya lagi. Mak Kiran kembali tertawa terbahak-bahak.

“Dari tadi jawabanmu itu-itu saja,” katanya.
“Ya.., itulah persoalannya,” kata saya lagi. Tapi tak sempat Mak Kiran berkometar lagi soal jawaban saya itu, saya langsung menceritakan bagaimana sulitnya kondisi saya sekarang. Toko pakaian jadi di Tanah Abang sudah ludes. Di tempat pekerjaan saya, di salah satu perusahaan asing, kini juga kembang kempis akibat krisis moneter, ditambah para karyawan yang bertingkah. Sudah kerja tak becus, eh minta ini itu, sok pintar, menganggap diri benar sendiri dan menganggap pendapatan tak memadai, minta ditingkatkan. Mereka tak peduli perusahaan diambang kebangkrutan. Bahkan ada pula yang berani mengancam.

Keduanya terlihat manggut-manggut, sepertinya ingin mem bantu mencarikan jalan keluar.
“Kami bisa memahami kesulitanmu,” kata Pak Guru.
“Ya. Karena itu saya pulang kampung. Saya ingin mendinginkan kepala, biar pikiran ini segar lagi. Tapi di kampung sendiri saya merasa sebagai orang asing, nggak dikenal,” kata saya.

“Ya, ya, ya. Itulah kalau dalam pikiran ini hanya tertanam satu tujuan, uang, uang, dan uang. Seperti khotbah
tadi,” kata Mak Kiran. Lagi-lagi tertawa meledak-ledak.
“Itulah saya,” kata saya asal bicara.
“Eh, ngomong-ngomong, untung kamu nggak jadi sama Noni,” kata Mak Kiran.
Saya hanya tersenyum, dalam hati saya berpikir, kok hebat benar si Noni itu sekarang, semua orang merasa perlu mengingatkan pada saya tentang dia.

***

Empat hari sudah saya di kampung. Kerinduan terhadap keluarga, anak dan istri, yang ditinggalkan di Jakarta mulai muncul. Ketika kemarin saya diajak Mak Kiran ke Pariaman menikmati sate yang katanya terkenal itu, dalam pikiran saya sudah mulai muncul kerinduan.

Saat makan sate, saya justru ingat bagaimana suasana di sebuah restoran Sunda di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta , tempat favorit anak-anak dan istri saya jika kami makan di luar rumah. Di telinga saya juga terngiang degung, musik instrumentalia tradisional Sunda yang jadi khas di kuring itu.
“Serasa di tengah sawah,” kata istri saya suatu ketika.
Dan ketika pagi tadi saya dan Pak Norman pergi ke Sicincin, saya juga ingat istri saya yang amat doyan dengan telur asin.

***

“Heeiii! Bengong aja. Ayo jalan.”
Mobil yang berhenti di samping rumah orangtua saya teriakan ajakan dari Hamid yang duduk di belakang setir
membuyarkan lamunan.

“Jadi nggak ke Padang ,” katanya lagi.
Bergegas saya ke ruang tengah, menyorongkan kaki ke sepatu sandal, setelah pamitan pada ibu, saya menuju mobil Hamid. Hamid langsung tancap gas, belok kiri. Di pertigaan Sicincin dia belok kanan menuju kota Padang .

“Nah ini sekolah saya dulu,” kata saya menunjuk ke Gedung SMP Negeri Sicincin, tempat pernah setahun saya
sekolah di situ.
“Ah, kamu itu kan tak jelas sekolahnya dimana. Selalu pindah-pindah. Sekarang di sini, besok entah dimana,” katanya.
Ya, Hamid benar. Karena orangtua kami sering berpindah-pindah membuat saya tak pernah menetap di satu sekolah. Saya lahir di Palembang, TK di Jakarta, SD sampai kelas dua di Jakarta, kemudian pindah ke Kotombambang, kemudian pindah lagi ke Ulak Karang Padang, terus tamat di Kotomambang.

SMP juga 3 kali pindah–Sicincin – Jakarta – Padang –dan tamat di Naggalo Padang , terus SMA juga pindah-pindah. Hanya kuliahnya yang menetap di Jakarta . Begitu dapat kerja, saya juga sempat dapat bea siswa untuk belajar selama 3 tahun di luar negeri.

“Tersinggung ya!?,” kata Hamid mengagetkan saya.
“Nggak lah. Tapi benar juga ya. Karena saya hampir nggak pernah pulang kampung, saya jadi nggak dikenal di kampung. Saya seperti orang asing,” kata saya.
Hamid coba menghibur.
“Itulah hidup,” katanya.
“Tapi kamu keterlaluan. Seharusnya kamu belajar pada orang-orang Cina. Meski merantau sejauh apapun, dan sudah jadi warganegara manapun, namun mereka selalu ingat leluhurnya. Saya yakin, kebanyakan dari mereka itu, meski nggak kaya, akan berkunjung ke kampung halamannya, bergaul dengan keturunan mereka yang ada di sana.
“Ya, itu bukan salah saya,” kata saya.
Hamid memalingkan wajahnya pada saya.
“Ah,” dia lalu tersenyum.
“Nggak usahlah mikiran itu. Yang penting sekarang, setelah kembali ke Jakarta , kamu sekali-sekali perlu pulang
kampung. Bawa anak istri, jangan sendiri-sendiri saja. Istrimu orang Padang kan?, biar mereka kenal kampung halaman,” katanya.

Lubuk Alung telah dilalui, dan ketika melewati pabrik CocaCola di Duku, pada Hamid saya berkata; “Didekat sinilah rumah mertua saya.”

Kami memasuki kawasan Tabing, Padang.
Selepas rel kereta api saya melihat plang sebuah SMPN di sebelah kanan jalan.
“Di sini istri saya sekolah dulunya,” kata saya lagi.
Hamid hanya tersenyum.
“Seharusnya istrimu juga diajak pulang kampung. Dia kan juga ingin merasakan suasana kampung. Apalagi anak-anak mu,” katanya.

Tadinya saya dan Hamid sepakat akan nonton di Bioskop Mulia, dekat Padang Theater, di tempat saya sering nongkrong waktu SMP dulu, baca komik. Tapi akhirnya kami justru memilih Bioskop Raya. Namun dalam bioskop itu saya sama sekali tak tertarik dengan film yang diputar. Bukan tak menarik, tapi pikiran saya jauh melayang. Saya ingat anak istri. Saya ingat Noni.

“Yang penting usaha,” kata saya.
Hamid menoleh. “Apa kata mu,” balasnya.
“Ah nggak, filmnya bagus,” kata saya.
Dia diam lagi.

Ya, saya akan ajak anak istri saya pulang kampung, sekali setahun. Sekali dua tahun pun boleh, pikir saya. Ini
perlu. Pernah suatu ketika anak saya bertanya, suku itu apa sih pa. Saya coba menjelaskan, suku itu sama dengan marga kalau di Batak sana . Kalau di Padang, suku itu mengikuti ibu, kata saya lagi.
“Kok nggak ikut Papa,” katanya.

“Baguskan filmnya?,” tanya Hamid setelah kami melaju di atas mobil yang dikendarainya. Saya hanya mengangguk.
“Jadi kamu kembali ke Jakarta siang besok?,” katanya lagi. Saya juga menjawabnya dengan anggukan.

***

“Mid, sampaikan salam saya pada Noni ya. Soalnya saya nggak sempat menemuinya,” kata saya.
Mata Hamid terbelalak.
“Apa kamu bilang?,” katanya.
“Sampaikan salam saya pada Noni. Apa kurang jelas,” kata saya.
“Lu mimpi kali ya?,” katanya.
“Loh, kok tersinggung? Ada apa Mid,” saya mulai curiga, jangan-jangan Hamid ada apa-apanya dengan Noni.
“Aduh. Lu benar-benar nggak tahu?,” katanya.
Giliran saya yang tak habis pikir.
“Ya sudah. Keterlaluan, berarti lu benar-benar nggak tahu. Noni sudah lama nggak ada. Dia sudah meninggal, hanya setahun sejak hubungan kalian tidak direstui bapaknya,” kata Hamid.

Saya terpana, tak percaya.
“Jadi!?, ya sudah Mid, terimakasih.”
“Dia meninggal ketika kamu dapat tugas belajar di luar negeri,” katanya.
Dia, kata Hamid, dijodohkan dengan seorang insinyur pilihan orang tuanya. Namun sebulan sebelum nikah dia sakit kemudian meninggal.

“Yang saya dengar, dia sempat beberapa kali menggigau menyebut namamu, sebelum dia pergi untuk selamanya,” kata Hamid lagi.

Aliran darah saya sepertinya berhenti, otak saya tak bisa menerima. Kepala terasa berat. Kenapa tak satupun
mengabari saya?
Lalu siapa yang saya sapa di samping rumah orang tua saya itu. Siapa yang naik mobil itu? Apa mungkin itu orang asing? Hamid kelihatannya bingung.

” Ada apa,” katanya.
“Nggak, nggak ada apa-apa,” kata saya.
“Ya sudah, tuh pesawat mu sudah mau berangkat. Udah ya,” katanya.
“Terimkasih,” kata saya, kamipun berpisah.
“Maafkan saya Noni.” Tak sadar, begitu duduk di kursi pesawat saya berguman. Rasanya baru kemarin saya dan Noni bersepeda beriringan menuju pemandian alam Lubuak Bunta di Kapalo Ilalang waktu SD, saya masih terbayang ketika kami duduk-duduk di Pantai Muaro Padang ketika kami sama-sama di SMA, dan saya ingat ketika orang tuanya tak menginginkan saya jadi menantunya.

Saya terbangun, ketika pramugari mengumumkan pesawat akan mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Ah, sebentar lagi pasti para calo angkutan atau taksi-taksi gelap yang akan silih menawarkan jasa di luar ruang kedatangan Bandara.

Saya juga langsung ingat akan kemacetan Jakarta .
“Oh, Noni. Kasihan. Semoga arwahmu damai di alam sana ,” kembali saya bergumam begitu berada di atas Bus Damri menuju Blok M.***

April 2003

*Niang = Uniang, kakak
*bako, keluarga dari pihak ayah
*lauk baniek, ikan peliharaan di sungai lepas yang bila dicuri akan membuat pecurinya bisa celaka/sakit.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru