Saturday, April 20, 2024
Home > Cerita > Liar dan Tak Ada Yang Peduli, Cerpen Djunaedi Tjunti Agus

Liar dan Tak Ada Yang Peduli, Cerpen Djunaedi Tjunti Agus

ilustrasi foto bmkg.go.id

“Goblok. Jangan begitu!”

“Terus gimana Njing?

“Bodoh! Itu aja lu nggak bisa,…..”

Penggalan percakapan antara anak-anak berusia belasan tahun itu bagi sebagian orang mungkin dianggap biasa. Tapi bagi Pak Rachmat sesutu yang membuat dia galau, risau. Bagaimana tidak,  anak-anak yang usia SD dan SLTP, juga SLTA itu dengan mudahnya melontarkan kata-kata yang tidak pantas dia ucapkan. Kuping rasanya risih, reflek dibersihkan dengan ujung jari. Mana tahu ada kotoran yang mengganjal.

Kata-kata goblok, bodoh, anjing, babi dan nama-nama penghuni kebun binatang lainnya dengan mudahnya terlontar dari mulut mereka ketika duduk-duduk di depan rumah warga, pos ronda, bahkan di halaman masjid. Mereka tak peduli pemilik rumah atau warga terganggu, karena suara berisik mereka. Anak-anak perempuan seusia mereka kerap ikut bergabung, bahkan suara beberapa anak perempuan ada yang lebih keras dibanding anak laki-laki.

“Bagai suara ember pecah sedang dipukul,” kata tetangga yang keberisikan karena ulah anak-anak tersebut, kepada Pak Rachmat.

Mereka juga tidak sungkan meneriakan kata-kata porno, hubungan pria wanita, atau mengumbar kata-kata alat penting wanita atau pria. Naudzubillah Min Dzalik.

Entah anak-anak siapa saja yang berkumpul bebas itu. Yang pasti salah satu anak perempuan adalah putrinya tentangga yang tinggal beberapa rumah dari tempat mereka kerap berkumpul, dan satu anak laki-laki adalah anak tetangga di jalan lain, tak jauh dari tempat kumpul. Mereka berkumpul berpindah-pindah, jika sudah agak malam lebih sering di tempat remang-remang, di bawah pohon atau lainnya.

Mereka, anak-anak itu biasanya mulai berkumpul beberapa saat menjelang azan ashar berkumandang dari sejumlah masjid sekitar. Hampir bersamaan dengan terdengarnya azan mereka mulai berbincang, kadang ada yang sambil main gitar. Itu berlangsung hingga menjelang magrib. Bahkan tak jarang hingga isya atau lebih. Jika sampai malam begitu terlihat di keremangan cahaya lampu ada yang mengisap rokok. Apakah orang tua mereka tak peduli? Wallahu a’lam bish-shawabi.

Menyaksikan anak-anak yang berkumpul dan tak peduli mengganggu banyak orang, Pak Rachmat ingat ucapan seorang ustadz dalam suatu pengajian; “Banyak orang tua tidak peduli kenapa anak-anak mereka belum pulang, meski sudah malam. Ayam, kambing, atau sapinya tidak pulang mereka cari. Tetapi anak-anak, anak gadisnya tidak pulang, mereka tidak peduli.”

Ya, menyaksikan banyak anak-anak yang berkumpul di depan rumah orang, atau di depan rumah temannya, di pos ronda, atau lainnya, apa lagi sampai malam,  membuat Pak Rachmat berpikir; apakah mereka tidak diurus oleh orang tua mereka. Apakah orang tuanya tahu bahwa anak perempuannya berkumpul di tempat-tempat tertentu bersama teman laki-laki sebayanya dengan mengenakan celana pendek yang amat minim sebatas pangkal paha. Apakah para orang tua anak-anak tersebut tahu anak-anaknya bebas merokok. Pertanyaan lain; apakah anak-anak tersebut memiliki orangtua? Punya ayah?, terlantar?

Pak Rachmat tahu, pengurus rukun tetangga (RT), beberapa warga, sudah sering mengingatkan agar anak-anak jangan berkumpul di depan rumah warga, mengganggu kenyamanan lingkungan, namun mereka tak peduli. Alasan saat ini ada wabah menular virus corona atau COVID-19 dan tak satupun diantara mereka yang menggunakan masker tidak mereka pedulikan. Diusir dari sutu tempat mereka pindah ke tempat lain, namun tetap saja mengganggu, karena tak jarang mereka ngobrol bersuara keras, tertawa terbahak-bahak, bahkan bernyanyi ramai-ramai sambil memainkan gitar dan memukul gendang.

“Ah, rasa kesal kerap muncul. Namun apa daya, lingkungan memaksa kita harus menerima situasi begitu,” Pak Rachmat bergumam sendiri.

***

Ada empat orang sekaligus yang diketahui positif terinfeksi virus corona di RW tempat Pak Rachmat tinggal. Tiga dikarantina di rumah sakit dan satu lainnya di rumahnya sendiri. Pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) di lingkungan itu mengingatkan jamaah, untuk semua warga, agar super ekstra menjaga diri agar tidak terdampak pandemik. Setiap orang yang akan masuk masjid suhu badan mereka diukur, diharuskan mengenakan masker, dan membawa sajadah sendiri. Lingkungan dikatakan sedang dalam ancaman. Jangan sampai tertular virus berbahaya tersebut.

Namun adanya warga yang positif tertular, munculnya peringatan dari pengurus DKM, tidak mengubah prilaku anak-anak berkumpul di depan rumah-rumah warga. Mereka tak peduli dengan pegumuman DKM, mungkin mereka tidak tahu karena memang tidak pernah ke masjid. Saat azan berkumandang mereka malah tetap bertahan di tempat nongkrong. Mungkin mereka bukan beragama Islam yang tinggal di lingkungan mayoritas warganya beragama Islam. Allah Yang Maha Tahu. Beberapa anak memang ada yang ke masjid, namun mereka malah sering bikin ribut bicara keras saat jamaah mulai shalat. Mereka baru ikut sholat setelah jamaah lain meyelelsaikan beberapa rakaat.

Yang pasti, wabah virus corona benar-benar mengancam. Nyatanya hanya beberapa hari setelah DKM memberi peringatan, ada lagi satu keluarga yang terjangkit di lingkungan itu. Ada tiga lagi yang masuk rumah sakit karena virus corona. Namun hal itu tak mengubah perilaku umumnya anak-anak di wilayah itu. Tetap liar dan tak ada yang peduli.

***

Entah sejak kapan munculnya anak-anak  memiliki kebiasaan kumpul-kumpul, bergitar, memukul gendang, dan bernyanyi di depan-depan rumah warga. Yang jelas beberapa pendahulu mereka, ada yang telah melakukan pernikahan muda dengan perempuan yang dulunya juga ikut nimbrung di tempat kumpul-kumpul. Sang suami membiayai istri, juga anaknya, dengan hasil ngamen, kepandaian yang mungkin mereka dapatkan waktu kumpul-kumpul.

Memprihatinkan. Kebanyakan dari anak-anak yang memiliki  kebiasan kumpul-kumpul itu mengalami putus sekolah. Entah bagaimana sikap orang tua mereka. Apakah tak peduli, atau memang tidak mampu membiayai sekolah dan mendidik anak-anak. Merekalah yang tahu. Namun  yang jelas beberapa anak-anak, laki-laki dan perempuan, datang ke tempat kumpul mereka dengan mengendarai sepeda motor. Itu artinya orangtua mereka mampu.

“Saya tidak mengerti, tidak menemukan alasan yang tepat mengapa mereka kumpul-kumpul tak karuan. Saya juga pernah remaja, juga pernah kumpul-kumpul dengan teman-teman seusia. Namun kami berkumpul untuk membahas pelajaran sekolah atau mengaji belajar membaca Al Qur’an. Kami juga kadang juga bermain musik, bernyanyi, namun dilakuan di tempat khusus yang tidak mengganggu siapapun. Bahkan di musim libur sekolah kami mengadakan pementasan di lingkungan kami, diselingi tari, lelang kue, yang mendapat dukungan dari tokoh masyarakat. Indah, kenangan tak terlupakan,” kata Pak Rachmat suatu ketika.

“Umumnya kami berhasil dalam menjalani pendidikan. Hanya satu dua yang putus sekolah karena alasan tertentu. Kegiatan kumpul-kumpul itu sambung bersambung, sejak zaman kakak-kakak kami. Kegiatan kumpul-kumpul kami lakukan tanpa mengganggu lingkungan, justru untuk memacu kami agar rajin belajar,” tuturnya.

“Kami selalu mendapat dorongan dari para pendahulu, yang memberi contoh-contoh bahwa sekolah itu penting. Kami juga didorong belajar mengaji, mengikuti acara keagamaan. Sejumlah nama kerap mereka sebut sebagai contoh bagaimana orang-orang hebat itu justru maju berkat pendidian. Zaman dulu pendidikkan menjadi kebutuhan utama. Mereka menyebut sejumlah nama seperti; Soekarno. Mohammad Hatta, Syahrir, dan banyak lainnya.”

“Dulu ketika negeri ini masih dijajah, para pemuda dan pemudinya rajin menuntut ilmu. Masa sekarang , setelah merdeka kalian mau ketinggalan. Jangan sampai putus sekolah. Tuntut ilmu setinggi mungkin, jangan kecewakan orangtuamu. Nanti kamu menyesal. Nasehat seperti ini dulu sering kami dengar,” tutur Pak Rachmat lagi.

Dia, katanya, dulu kerap diajarkan budi pekerti, bagaimana seharusnya bicara dan bersikap. Pelajaran itu tidak hanya didapatkan di rumah dari orangtua, tetapi juga di sekolah karena dulu ada mata pelajaran khusus untuk itu. “Lalu kenapa sekarang anak-anak yang kumpul-kumpul itu seperti tak memiliki adab, apakah mereka tak mendapat pelajaran dari orangtua atau dari para guru?,” ujarnya.

“Menyedihkan. Bahkan ada di antara anak-anak sekarang mengemis untuk jajan, atau mencuri di warung-warung, bahkan di rumah warga. Ada satu dua yang sering tertangap oleh warga, namun selau lolos dari aparat dengan alasan masih anak-anak.”

“Ada juga anak-anak yang punya kebiasaan mencorat-coret dinding-dinding rumah warga dengan kata atau mungkin nama grupnya. Ada pula yang memiliki kebiasaan  menggambar alat kelamin pria. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka.”

“Tak jarang pula ada yang berdua-duaan di lapangan dekat masjid, di keremangan senja. Apakah orangtua mereka memang tidak peduli anak mereka menantang bahaya, termasuk ancaman virus corona? Mereka dibiaran  liar, dan tak peduli,” kata Pak Rachmat, menerawang.***

@Agustus 2020

tjunti@yahoo.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru