“Yang sulit itu ikhlas. Kita harus berpisah.”
“Aku tahu”
“Menerima takdir yang digariskan Tuhan dan kita sebagai manusia harus menerimanya.”
“Iya, aku tahu itu.”
“Karena Tuhan selalu memberikan yang terbaik bagi umatnya, tidak pernah hal buruk. Hanya manusia terlalu sering curiga dan menilai buruk Tuhan.”
“Apa kau yakin kita ditakdirkan tidak bisa bersama..”
“Sebagai manusia tentu akan berpikiran kritis, karena kita dibekali otak dan pikiran untuk menimbang-nimbangnya. Tetapi sebagai orang beriman, aku harus meyakini itu.”
“Lalu kenapa kita jatuh cinta? Dulu…”
“Kan cinta tidak harus bersatu.”
“Maksudmu itu hanya ujian, membuat kita terombang-ambing, seperti dulu menghadapi UTS dari dosen Pengantar Sosiologi yang otaknya ruwet itu?”
“Bisa jadi. Tokh semua manusia selalu menghadapi ujian dalam hidupnya. Ada dalam bentuk kekurangan uang, keluarga yang cekcok terus, ragu-ragu memilih jurusan, apa saja, tergantung dari derajat masing-masing.”
“Lebih baik aku tidak lulus ujian, asal kita tetap bersama..”
“Kok jadi cengeng begitu?”
“Kau juga sebenarnya tidak suka kan?”
“Sebenarnya begitu, tapi kan kita harus melihat kenyataan. Tidak mungkin kita terus bersama. Dan kita harus belajar menerimanya. Harus ikhlas.”
Keduanya memandang bulan, yang terang karena malam itu awan tipis. Bulan yang dulu juga mungkin dipandang Ibrahim ketika dia memutuskan untuk pergi meninggalkan Siti Hajar yang baru melahirkan Ismail karena diperintahkan Tuhan.
“Kau tahu, ikhlas itu balasannya surga. Begitu aku tonton di Youtube beberapa waktu lalu. Kata ustad itu, ikhlas atas takdir katanya bahkan melebihi ibadah apapun, karena orang yang ikhlas sudah menempatkan dirinya sebagai hamba Allah sebagaimana mestinya.”
“Kau tiba-tiba bicara agama.”
“Aku teruskan sedikit, paling tidak untuk kau pikirkan.”
“Terserah.”
“Kadang kita ini munafik. Kemana-mana menunjukkan diri sebagai orang paling alim, paling religious. Tetapi dapat cobaan sedikit, langsung berprasangka buruk pada Tuhan. Padahal sudah berharta banyak, keluarganya bahagia, jabatannya tinggi, dihormati orang. Kemana kata Alhamdulillah yang selalu diucapkannya ketika mendapat nikmat?”
“Ini apa hubungannya dengan kita? Kau ini lucu. Aku sedang sedih malah ceramah..”
“Maksudku, ya susah senang kita tetap harus melihat sebagai rahmat Tuhan. Sekarang mungkin terasa menyakitkan, suatu saat kita akan bersyukur karena mendapat sesuatu yang lebih baik..”
“Iya kalau sempat. Kalau terlanjur mati..?”
Ridwan meneguk kopinya. Rainy menyicip anggurnya. Kentang goreng sudah mulai dingin, hanya tersentuh sedikit. Begitu pula pasta yang terserak di piring lebar.
***
Percakapan yang tak selesai selalu terjadi. Di kedai kopi, di taman, tepi sungai, atau di imajinasi Ridwan. Selalu tidak mampu dia mengakhiri dialog dan mengambil kesimpulan.
Sepuluh tahun lalu, lima tahun lalu, bahkan bulan lalu, dan pagi ini ketika dia menunggu kereta yang akan membawanya ke perpustakaan dan coba merekonstruksi percakapan dengan Rainy, yang dimulai ketika mereka secara tak sengaja “bertemu” lagi.
Tentu saja pada awalnya berjumpa setelah begitu lama terpisah menimbulkan kegembiraan dan sensasi. Ingatan lama bermunculan, menggembirakan, terpercik seperti kembang api yang dipasang kanak-kanak di malam Tahun Baru. Lalu keduanya terpesona, ingin mengulang lagi apa yang dulu dirasakan menyenangkan, bertemu, bercanda, ngobrol tanpa kenal waktu.
Tetapi pada menit berikutnya yang muncul adalah persoalan-persoalan, karena waktu sudah menciptakan skenarionya sendiri. Ibarat di stasiun, penumpangnya sudah bertolak ke tujuan sendiri-sendiri, terpisah, dan menjauh. Dan di kota mereka, masing-masing sudah ada tembok, sekat-sekat yang kuat.
“Aku tidak pernah melupakanmu..”
“Gombal.”
“Sungguh. Apalagi kan kita tidak pernah menyatakan berpisah. Kau menikah, aku menikah. Kau bekerja ke pulau lain, aku sibuk kesana-kemari karena pekerjaan.”
“Iya, tapi kita sudah berubah.”
“Itu benar. Tetapi kan berteman tidak apa-apa. Sekadar mengenang masa kuliah dulu.”
Lalu mereka bertemu untuk bercerita-cerita. Tertawa-tawa untuk menghilangkan rasa suntuk di pekerjaan yang tidak ada habisnya, bergosip tentang suasana politik yang kian panas menjelang pemilu, apa yang viral di media sosial, dan akhirnya masalah pribadi.
Mendadak pembicaraan terputus begitu saja. Ini kerap terjadi karena saat bicara tubuh mereka ada di tempat sedang pikiran mereka beterbangan kemana-mana. Ke sebuah rumah di suatu desa yang sejuk, di sebuah pekuburan yang lapang dan banyak pepohonan, sebuah museum yang tenang dan penuh coretan bersahaja, ke sungai dengan kapal kecil yang dipenuhi wisatawan, ke sebuah ruang besar perkuliahan dengan panggung dan proyektor film.
“Aku pulang dulu ya.”
“Kebetulan, aku juga ingat ada tugas yang belum selesai.”
Keduanya saling mencium pipi. Satu bergerak ke arah kasir untuk membayar, yang satu lagi ke arah pintu dan mencari mobil di parkiran. Malam kian terasa dingin, ada angin semilir, ada sisa hujan yang turun sore tadi membuat konblok basah.
***
“Kita lebih terpukau dengan dunia karena sejak kecil, di sekolah dan di masyarakat kita lebih sering diajari untuk mengejar dunia,” ujar ustadz yang memberi ceramah sehabis subuh itu.
“Kalau ditanya cita-cita, pastilah anak-anak ingin jadi dokter, ingin jadi pilot, ingin jadi pengusaha, jadi atlet kelas dunia, saya tidak pernah dengar ada yang ingin menjadi hafiz penghafal Al Qur’an, juara MTQ, atau menjadi ahli agama, sebab ini warisan turun-temurun. Beruntunglah karena perkembangan zaman, majunya teknologi informasi, informasi-informasi keagamaan semakin tersiar,” tambahnya.
“Bahkan sekarang pesantren ternama menjadi favorit orangtua mendidik anak-anaknya, orang yang pergi Umrah semakin banyak, grup pengajian tumbuh dimana-mana termasuk di kalangan elit dan orang berpunya. Insya Allah ke depan, pemahaman agama akan semakin tumbuh, dan kita lalu mengerti bahwa tujuan hidup di dunia ini sebenarnya agar kita mendapat tempat mulia di akhirat nanti,” katanya.
Pak Ustad yang bergelar magister agama ini menambahkan, orang yang sudah faham agama akan menjadikan semua tindakannya di dunia untuk mendapatkan rahmat Allah SWT, tidak peduli apakah dia akan dihormati atau dinilai aneh. Setelah beribadah dan beramal saleh, dia lalu akan berserah diri pada Sang Pencipta, menerima apapun yang terjadi. Tugas sebagai manusia adalah bekerja dan berusaha sebaik-baiknya, sisanya kehendak Allah SWT.
“Pak Ustad, mengapa sulit sekali untuk ikhlas,” kata seorang jamaah.
“Keihlasan itu dibangun melalui proses, ada tahap-tahapnya seperti kita belajar. Sebagaimana diajarkan dalam kitab suci, pertama tentu memahami posisi kita di hadapan Sang Pencipta. Siapa sih kita ini? Diciptakan dari sperma, menjadi mahluk sempurna, diberi kemudahan untuk hidup, kadang bersyukur saja lupa. Kalau banyak bersyukur lalu kita akan makin sadar peranan Tuhan begitu besar dalam setiap detik kehidupan kita. DIA akan selalu memberi yang terbaik bagi kita, kalau kita berpikiran baik pula,” katanya memberi penjelasan.
“Jadi, ya kita ikhlas saja, karena percaya bahwa apapun yang diberikanNya pasti yang terbaik. Kadang kita merasa itu cobaan yang berat, tapi itu pastilah ibarat Vitamin yang diberikan agar ke depan semakin mantap menghadapi tugas lebih berat. Semua ujian itu dimaksudkanNya untuk meningkatkan derajat seorang manusia. Kadang kita dibuat kekurangan uang, kadang kita dibuat seperti tidak berdaya, kadang kita seperti terhina. Ya, itu ujian agar semakin baik di mata Tuhan,” ujar Pak Ustad, yang membuat si penanya manggut-manggut meski masih coba meyakinkan dirinya untuk menerima penjelasan itu.
***
Sambil berjalan pagi, menghirup udara yang masih segar, Ridwan menyusuri taman di kompleks perumahan besar yang terletak tak jauh dari jalan tol itu. Dia sepakat dengan kata-kata yang disampaikan ahli agama yang mengisi kuliah subuh di masjidnya, dalam pengertian sederhana manusia itu memang harus pasrah, ikhlas, legowo kata orang Jawa, untuk menerima apa yang terjadi padanya. Bukan lalu diam dan menyerah, tidak berbuat apa-apa, tetapi justru setelah melakukan kewajiban kemanusiannya. Mencoba, memikirkan, menjalankan, mencari upaya-upaya terbaik, dan the rest is Yours, Your Almighty.
Dia melihat seorang ibu bersepeda menjajakan kopi, yang kerap disebut Starling, alias Starbuck Keliling, lalu mendekatinya.
“Kopinya bikinkan satu ya Bu,” kemudian duduk di tepi trotoar.
Sambil memandang orang-orang berpakaian olahraga yang berjalan kaki, bersepeda, menikmati pagi yang cerah, Ridwan menikmati kopi panas dalam gelas yang diseduh dari saset. Tiba-tiba telponnya berdering. Dia tekan tombol, ada suara yang dia kenal.
“Aku kira kau benar, Beib. Kita harus ikhlas.” Lalu suara terputus.
“Alhamdulillah.”
oOo
Ciputat 17 November 2022.