Tuesday, March 19, 2024
Home > Cerita > Mengenang Pak Jakob Oetama,  Catatan Hendry Ch Bangun

Mengenang Pak Jakob Oetama,  Catatan Hendry Ch Bangun

Jakob Oetama. (dki.kabardaerah.com)

Ketika saya mulai bekerja di Harian Kompas pada 1 Desember 1984, PK Ojong sudah berpulang sehingga tokoh yang tertinggal hanyalah Jakob Oetama. Foto keduanya terpajang di sejumlah titik di ruang redaksi jadi tetap terasa mengawal saat kita berada di kantor.

Wajah mereka berdua terasa ramah dan hangat, bagi saya yang baru berusia 26 tahun, mereka seperti orangtua. Ditambah lagi para senior yang meskipun punya nama “besar” dan pintar, terasa seperti ngemong, tidak galak apalagi berlagak boss.

Itulah yang membuat saya berhasil “lulus” dan pensiun sesuai peraturan perusahaan di usia 60 tahun, pada akhir November 2018 dengan masa kerja 34 tahun kurang lima hari.

Tapi yang melepas para pensiunan angkatan saya sudah Liliek Oetama, putra Pak Jakob yang menjabat sebagai Pemimpin Umum Harian Kompas yang juga Presdir Kompas Gramedia. Turn over karyawan di KG memang kecil karena karyawan umumnya puas dengan tempatnya bekerja, terutama karena suasana kekeluargaan yang sering digambarkan sebagai “Indonesia kecil” karena keragaman suku, agama, ras, golongan yang bekerja di perusahaan.

Sebagai wartawan olahraga yang lebih banyak di lapangan daripada di kantor saya jarang bertemu Pak Jakob, kecuali ketika dia mulai rajin berolahraga jalan kaki mengitari Stadion Utama Senayan saban sore dan kami wartawan olahraga nongkrong di kantor SIWO PWI Jaya.

Tetapi konon dia mulai agak mengenal saya karena catatan bulutangkis saya dengan judul yang tidak biasa. Ketika Indonesia kalah di semifinal Piala Thomas di Kuala Lumpur dan penentu kalah adalah ganda Liem Swie King/Bobby Ertanto saya membuat ulasan berjudul “The King Can Do No Wrong”.  Pepatah Inggris itu menyiratkan, Raja tidak pernah salah. Tetapi karena kebetulan pemain kita namanya King, judul jadi cocok. Tulisan itu menggambarkan harapan besar penggemar bulutangkis  yang tidak siap menerima kekalahan Indonesia dan sangat yakin King/Bobby menang, King tidak mungkin kalah.

Saya memang suka judul yang agak puitis karena saya lulusan Sastra Indonesia dan suka pula membuat cerpen dan puisi, dan terpengaruh pula tulisan senior Valens Doy yang sering indah. Tapi gara-gara itu saya pernah diomeli bapak Alan Budikusuma, karena begitu peraih medali emas Olimpiade Barcelona 1992 itu kalah dalam kejurnas bulutangkis di Lampung, saya membuat judul “Sialan Si Alan”.

Besarnya perhatian Pak Jakob pada wartawannya saya rasakan sendiri ketika meliput Asian Games di Seoul 1986. Waktu itu pengiriman berita masih dengan faksimil, jadi biasanya sehabis mengirim berita, saya menelpon redaksi di Jakarta untuk menanyakan hasil pengiriman.

Totok Purwanto yang berjaga, suatu malam mengatakan, “Pak Jakob mau ngomong nih.” Saya jawab,” Ah jangan becanda. Mana mungkin Pak Jakob ke kantor malam Minggu.” Selagi ngomong begitu tahu-tahu gagang telpon di Jakarta ternyata sudah berpindah. “Apa kabar Bung. Semua sehat kan?” Dengan setengah gagap saya menjawab,”Sehat, Pak.” Lalu layaknya ayah Pak Jakob memberi nasehat agar kami tidak memforsir tenaga, maklum di multi event, satu orang bisa meliput 5-6 cabang olahraga.

Semasa masih baru menjadi wartawan, rapat redaksi selalu menjadi acara yang ditunggu-tunggu karena akan menjadi kuliah umum. Pak Jakob biasanya memulai dengan mengatakan, “Saya baru saja membaca buku…” lalu sambil menunjukkan bukunya, dia bercerita tentang isi buku. Entah itu buku politik, ekonomi, sosial sehingga tanpa perlu baca garis besar isi buku sudah masuk ke kepala. Pak Jakob dan wakilnya Polycarpus Swantoro memang terkenal penggemar buku, jadi kalau diajak bicara, selalu ada hal baru yang masuk ke kepala para wartawan.

Maka para wartawan banyak yang ikutan jadi kutu buku. Untunglah kalau terbitan Gramedia karyawan dapat diskon 20 persen di toko buku  Gramedia, kalau terbitan lain dapat diskon 10 persen. Kebiasaan lain, kalau ke luar negeri, umumnya mereka beli buku pula. Karakter membicarakan buku dan diskusi terbentuk dengan sendirinya tanpa disuruh. Apalagi di tahun 1980-1990an Kompas sering membuat forum diskusi dengan mendatangkan akademisi dan praktisi ekonomi politik untuk dibuat tulisan tematik.

***

Tahun 1999 ada inisiatif menerbitkan Warta Kota, yang waktu itu selain dimaksudkan untuk memberi pemberitaan yang lebih luas wilayah Jabotabek juga bisa dijadikan sekoci seandainya Kompas dibredel. Isunya kencang karena Kompas dianggap sudah terlalu berani oleh pemerintahan Orde Baru, khususnya karena semakin banyak demonstrasi berbagai kelompok. Koran lokal ini dibidani wartawan dari Kompas dan kelompok majalah serta pers daerah.

Saya berinisiatif gabung karena merasa agak bosan di Kompas karena sudah 15 tahun bekerja dan ingin suasana baru. Rupanya masyarakat itu kejam terhadap sesuatu yang tidak dikenal. Kami jajaran redaksi merasakan, banyak narasumber yang menolak diwawancara, tidak melayani kalau ingin diliput, meskipun sudah mengatakan Warta Kota itu anak kandung Kompas, sebab sahamnya 99 persen milik Harian Kompas. Bahkan pemasang iklan, tidak mau menampilkan produknya dengan mengatakan,”Wah nanti image kami bisa jatuh kalau dipasang di Warta Kota” meski diberi diskon besar. Waktu itu pasang iklan di Kompas masih antre, dibatasi karena jumlah halaman terbit belum bebas.

Beruntunglah setelah lima tahun menderita, Warta Kota mulai untung dan bahkan akhirnya dua tahun berturut-turut mendapat penghargaan “The Best Small Company”  di Kompas Gramedia. Oplah tertinggi Warta Kota pernah mencapai 250.000 eksemplar, yang ketika harganya dinaikkan menjadi Rp 2.000 terkoreksi menjadi sekitar 160.000. Meski demikian Warta Kota masih menjadi koran dengan oplah terbesar di Jakarta setelah Kompas, menjadi salah satu mesin pencetak uang sehingga bisa tampil dengan kepala tegak saat bertemu boss perusahaan lain di kelompok KG.

Suatu saat ada acara terkait perkumpulan karyawan Pak Jakob sambil menunjuk ke arah saya mengatakan, “Saudara Hendry itu bisa dicontoh. Dia mau berkeringat bekerja keras di Warta Kota. Tidak hanya puas dengan kemapanan di Kompas.” Langsung hati rasanya melambung. Senang dipuji pimpinan. Tetapi Pak Jakob memang selalu mengusahakan hadir memberi semangat apabila Warta Kota berulang tahun pada tanggal 3 Mei di kantor kami di Jalan Hayam Wuruk. Padahal acaranya hanya tumpengan, tidak lebih. Kehadirannya pasti menambah semangat redaksi yang masih berjuang keras

Di Warta Kota ini pula, saya pernah melakukan protes keras dengan menulis surat tiga halaman ke Pak Jakob. Masalahnya Pak Jakob menempuh jalan damai dengan wartawan yang diberhentikan karena melakukan pelanggaran, padahal Warta Kota sudah siap fight karena kesalahan wartawan itu jelas dengan bukti-buktinya. Tak lama setelah surat diterima saya dipanggil ke Palmerah.

Begitu membuka pintu dan bertemu, kalimat pertama yang diucapkan Pak Jakob adalah “Saudara Hendry saya minta maaf”. Kontan saya tidak bisa bicara.

Tak lama saya mengatakan, “Saya memahami posisi Bapak. Saya hanya ingin menyampaikan perasaan saya.” Ngobrol kira-kira 15 menit ngalor ngidul tentang perkembangan Warta Kota, eh malah ditanya alamat. Saya jawab, tinggal di Ciputat. Pak Jakob dengan wajah kebapakan mengatakan,”Itu kita punya rumah di Puri. Itu lebih dekat lho ke kantor. Kalau mau, nanti saya suruh disediakan untuk Saudara Hendry.” Saya mengucapkan terima kasih karena masih cocok dengan suasana di rumah saya yang nyaman dan udaranya masih bersih.

Saat saya menuju pintu ruang kerjanya, Pak Jakob sekali lagi mengatakan permintaan maaf yang membuat saya lemas, memikirkan kebesaran hati seorang pimpinan yang luar biasa menghargai anak buah. “Saya yang meminta maaf karena sudah membuat susah,” saya jawab lalu pergi.

Nah ketika saya cerita soal tawaran rumah itu ke pimpinan di Warta Kota, dia bilang,”Bego deh lu. Ditawarin rumah di Puri Kembangan itu mestinya diterima saja.” Saya bilang, saya ini polos saja, karena sudah punya rumah satu buat apa pula memiliki yang lain. Tapi saya tidak menyesali bahkan ketika membuat obituari ini karena Pak Jakob orang baik dan menghargai perbedaan pandangan.

Masih banyak cerita tentang Pak Jakob yang masih tersimpan, yang saya kira begitu pula di benak dan pikiran para wartawan yang pernah dibimbing Pak Jakob – yang lahir di Magelang, Jawa Tengah, pada 27 September 1931.

Saya sendiri merasa beruntung pernah menjadi wartawan Kompas, bekerja di bawah Pak Jakob Oetama. Banyak hal yang membentuk jiwa dan pemahaman saya tentang etos kerja dan memaknai kehidupan, kebersamaan, saling menghargai perbedaan.

Selamat jalan, guru, bapak, dan teladan yang begitu banyak mewarnai jalan hidup saya sebagai manusia. Terima kasih dan saya percaya Tuhan Sang Pencipta sudah menyediakan tempat layak di sisiNya. (Sumber tulisan dari siberindo.co)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru