Ada gitar, keroncong, seruling
Ada botol air mineral diisi pasir
Ada tutup botol terpaku ke kayu kecil
Bahkan mulutpun alat lagu, disambung senandung
Kepasrahan dan keretakan sosial
Serta lagu cinta tentang kehidupan
Ada sulap dan baca puisi
: anak kecil jadi besar
Tapi orang kecil tak bisa jadi besar
Kau mahir merangkai kata
Diksi dan vokalmu pun seperti Rendra di panggung
Yang berang dengan pentas dunia
Seperti Chairil Anwar di rel kereta api
Rambutnya bergerai-gerai, tebal bibirnya berucap:
“aku ingin hidup seribu tahun lagi”
Saking tingginya vitalitas hidup
Kau katakan:
Tak ngiler dengan mobil mewah
Dengan gadis cantik atau seperti pria keren
Tidak juga dengan jabatan selangit
Kau ngiler hanya dengan berbaring miring
Sembari mimpi indah
Bagianmu memang di sisakan hanya untuk mimpi
Itu pun tak selalu menawan,
Kau sebenarnya tak ngiler juga
Ada yang bilang kau sampah masyarakat
Padahal kau inti pemerasan sosial
Ada yang bilang kau pengemis intelek
Padahal kau tak mengemis pakai dasi
Seperti mereka-mereka yang memainkan uang rakyat
Uang mu juga
Sementara hutang negara,
Kau yang disuruh bayar
Lewat pajak dan harga pasar
Yang mendongak kelangit
Rekan
Cepek… cepek lama-lama sepuluh cepek
Sepuluh cepek… sepuluh cepek,
Lama-lama bercepek-cepek
Lewat sebatang rokok
Dan nasi berkuah sepotong tempe
Kau suarakan kembali jeritan rakyat
Yang mendengar rakyat
Hanya berkata :
Betul juga sembari merogoh koceknya
Siapa bilang orang Jakarta buas tak punya nurani,
Padahal cepek itu kan
Karena sentuhan idealis bersatu dengan mu
Ketimbang kau jadi maling dibakar massa
Atau mencongkel spion ditembak polisi.
Pengembaraanku di siang hari
Dari Senen ke Kampung Melayu
Ada tujuh orang seperti mu,
Dari kanak-kanak sampai dewasa
Bermacam ragam senandung,
Dari berang sampai ode cinta
Bersama alat dan sampai mulut saja
Derita rupanya
Melahirkan puisi yang tak perlu dipelajari
Di bangku sekolah
Cukup di atas bis saja
Atau di emperan toko dan halte
Yang terekspresi karena terhimpit hidup
Tapi banyak orang senang juga
Karena ode itu ode semua, kecuali mungkin kondektur
Yang sinar matanya sinis
Karena celah orang kau tempati
Apalagi kau menirunya menengadahkan tangan kepada
Orang-orang yang entah apa di benak kepalanya
Padahal kau ucapkan pula
Semoga selamat sampai tujuan
Doa orang papa yang semoga di dengar Tuhan
Kendati tanpa ayat-ayat yang di turunkanNya
Toh Dia tahu segalanya
Pengembaraanku petang hari
Dari Salemba ke Senayan
Ada anak usia sekolah gagah badannya
Tapi idiot suaranya
Ada cibiran ada kasihan mendengar eluhanmu :
“ngngeh…ngngeh…tos-tos.” Kau ulangi berulang kali
Sembari tanganmu seperti menembak terkadang
Ingin menyuap
Berkali-kali, berlama-lama kau keluarkan plastik kecil
Dan bertingkah seperti kondektur
Entah benar atau tidak,
Tapi kau kacaukan simpati orang untuk mengocek saku
Anak manusia,
Apakah ini sandiwara atau senyatanya
Yang jelas kau sudah tahu cara mencari
Dering-dering logam
Rekan-rekan sebayamu kelak mencari kehidupan
Dengan ilmu di kepalanya
Entah bagaimana kalau kau mencari survivemu
Dengan kelemahanmu
Dan, nanti masih ada iba ?
Masih adakah bis
Ketika orang tinggal di ruang angkasa
Masih adakah langkah
Karena semua diolah di layar kaca
Masih adakah rasa
Karena semua sudah dikunyah massa
Masih adakah masih karena semua tak bersisa
Ribuan pengamen ibu kota dan daerah
Dirikanlah PPI = persatuan pengamen Indonesia
Cari pengurus pusat dan daerah
Cari el es em mendanai kongres dan munas
Jangan mau kalah dengan em pe er dan de pe er
Karena mereka wakil rakyat dan kau rakyatnya
Jadi derajatmu lebih tinggi, seperti raja dan wakil raja
Apakah mereka tak mengerti juga ?
Atau karena rasa sudah tak bersisa ?
***
Jakarta, 2011.