Friday, March 29, 2024
Home > Cerita > Cerita Bale-Bale > Belajar mati, Oleh A.R. Loebis

Belajar mati, Oleh A.R. Loebis

Ilustrasi - Belajar mati. (pakdenulis.wordpress)

Mati kok dipelajari?

“Ya, aku merasa sekarang sedang belajar mati. Bukan aku saja, tapi kita semua.”

“Aku gak ngerti apa yang kamu maksud.”

“Ya gimana mau ngerti. Kamu tidak menghayatinya.”

“Menghayati apa? Kamu ngomong apa sih.  Kok tiba-tiba ngawur.  Temperaturmu berapa?”

“Maksudmu apa?”

“Lho. Saya bertanya, kok kamu balik bertanya. Aku gak ngerti nih. Aku yang bertanya, maksudmu apa, kok tiba-tiba ngomong belajar mati.”

Dialog di atas bukan imajiner,  tapi wawankata kenyataan antara dua orang sahabat, ketika bertemu suatu petang sembari menanti waktu berbuka puasa.

Pembicaraan kedua orang besahabat itu pun berlanjut.

Orang mati itu konon dapat melihat keluarga dan saudara mereka. Nah, aku rasanya sudah seperti mau mati saja. Mosok mau menjenguk keluarga dekat saja gak bisa. Bahkan ibu sendiri pun.  Aku di Jakarta   dan  ibuku di rumah adikku di Bekasi.  Nanti kalo Lebaran gimana. Apa kita gak bisa sungkem ibu, padahal jarak kita amat dekat.

Ya sabar aja kawan. Nanti kan kalo wabah korona itu sudah hilang, kita jadi bebas pergi kemana-mana.

Ya hingga kapan kita bergini. Ini pasti latihan mati untuk tiap orang. Kita latihan mati.

Ini bukan latihan mati. Ini ujian dari Illahi. Ini ujian kesabaran untuk semua orang.  Orang yang beriman.  Apakah kamu takut mati?

Emangnya kamu gak takut mati?

Takut atau gak takut itu kita sendiri yang merasakan. Kan tadi katanya, ujian dari Allah swt itu hanya untuk orang yang beriman!

Imam Ghazali (Mizan Al ‘Amal) menjelaskan, manusia takut kematian, karena ia ingin bersenang-senang dan menikmati hidup lebih lama lagi. Kedua, ia tidak siap berpisah dengan orang-orang yang dicintai, termasuk harta dan kekayaannya yang selama ini dikumpulkan dengan susah payah. Ketiga, karena tidak tahu keadaan mati seperti apa. Keempat, karena takut pada dosa-dosa yang selama ini ia lakukan.

Alhasil, manusia takut karena ia tidak pernah ingat kematian dan tidak mempersiapkan diri dengan baik dalam menyambut kehadirannya. Manusia, kata Ghazali, biasanya ingat kematian hanya kalau tiba-tiba ada jenazah lewat di depannya. Seketika itu, ia membaca istirja’: ”Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”

Namun, istirja‘ yang dibaca itu hanyalah di mulut saja, karena ia tidak secara benar-benar ingin kembali kepada Allah dengan ibadah dan amal saleh.

Menurut Ghazali, ingat kematian akan menimbulkan berbagai kebaikan. Di antaranya, membuat manusia tidak ngoyo dalam mengejar pangkat dan kemewahan dunia. Ia bisa menjadi legawa (qonaah) dengan apa yang dicapainya sekarang, serta tidak akan menghalalkan segala cara untuk memenuhi ambisi pribadinya.

Kebaikan lain, manusia bisa lebih terdorong untuk bertobat alias berhenti dari dosa-dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil. Lalu, kebaikan berikutnya, manusia bisa lebih giat dalam beribadah dan beramal saleh sebagai bekal untuk kebaikannya di akhirat kelak.

Dengan berbagai kebaikan ini, orang-orang tertentu seperti kaum sufi tidak takut dan tidak gentar menghadapi kematian. Mereka justru merindukannya, karena hanya lewat kematian mereka dapat menggapai kebahagiaan yang sebenar-benarnya, yaitu berjumpa dengan Allah dalam ridha dan perkenan-Nya.

Ah kamu kayak ustad aja, ngomong panjang lebar. Apa kamu mengamalkan apa yang kamu ketahui itu?

Saya kan mengulang apa yang saya dengar dari ustad. Saya ingat tentang buku-buku yang say abaca. Jadi saya ulang di depanmu. Karena kau sedang belajar mati.

Musibah demi musibah, bencana demi bencana, datang silih berganti menguji keimanan kita. Gunung meletus, banjir biasa, banjir bandang, longsor, gempa bumi, jalan raya terputus dan yang belakangan terjadi menyebarnya wabah Korona. Ini ujian untuk semua orang di dunia ini.

Ujian kehidupan ini merupakan peringatan bagi kita semua. Ujian kehidupan seperti rasa takut, krisis harta,  krisis jiwa (stres, depresi), krisis sandang,  pangan, dan seterusnya merupakan suatu keniscayaan yang pasti dialami setiap manusia.

“Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. al-Baqarah/2: 155)

Apakah musibah itu merupakan kehendak dan ketentuan Allah atau karena ulah salah tangan-tangan jahil dan jahat manusia? Semua musibah yang terjadi dan menimpa manusia itu pada dasarnya sudah diketahui (menjadi pengetahuan Allah) sejak azali dan sudah ditulis dalam Lauh Mahfuzh.

Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. (QS. al-Hadid/57: 22.

Ah, ngeri juga ya. Semua sudah tertulis tentang perjalanan hidup kita.

Ya iya lah. Ada takdir dan qodo.

Coba kamu bayangin alangkah ngerinya salah satu tanda hari kiamat.

Siang terus menerus selama 24 jam.  Malam terus menerus selama 24 jam

Matahari turun mendekati ubun-ubun.

Kematian dan kehidupan itu amat dekat.

Hanya seberpalingan, ke kiri atau ke kanan.

Sendiri-sendiri atau massal. Korona itu pencabut nyawa?  No, tetap malaikat yang diberi tugas khusus.

Sahabat, apakah wabah Korona itu untuk belajar mati?

Ah, yang pasti untuk melatih kesabaran.

Dan mempertajam doa.

Wollohu a’lam bissowab.

oOo

Ciampea, 09052020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru