Tuesday, March 19, 2024
Home > Cerita > UKW Ternate, danau mistis Tolire dan Batu Angus, Catatan A.R. Loebis

UKW Ternate, danau mistis Tolire dan Batu Angus, Catatan A.R. Loebis

Kami berpose di tepi terjal Danau Tolire. (epok)

Kalau bukan karena UKW, mungkin saya tak akan menyaksikan Danau Tolire yang amat mistis serta Batu Angus, lahar berbentuk batu keras dan hitam hangus, benda peninggalan ledakan Gunung Gamalama pada 1673.

Uji Kompetensi Wartawan (UKW) PWI-Dewan Pers di Ternate berlangsung 26-27 Juli 2022 dan pada hari kedua berlangsung setengah hari – dan keesokan hari baru terbang kembali ke Jakarta – sehingga ada waktu kami untuk berkeliling di kota yang luasnya hanya 162,03 km per segi itu.

“Kalau UKW selesai tengah hari, kita akan pergi lihat Danau Tolire serta Batu Angus,” kata Plt Ketua PWI Maluku Utara, Asri Fabanyo, dengan menambahkan, kedua tempat itu memiliki hikayat masing-masing, yang amat istimewa, sehingga ada ungkapan, belum ke Ternate bila belum mampir di kawasan wisata itu.

Dengan menggunakan tiga mobil, saya bersama penguji dari Jakarta, Firdaus Baderi, Izaac Mulyawan Tulalessy dari Ambon, Yani admin PWI Pusat, serta rombongan PWI Malut, Rabu meluncur ke kawasan danau itu, menempuh jarak 10 km dengan waktu sekitar 30 menit.
Banyak cerita di tengah jalan. Di antaranya, kami diberitahu bahwa rombongan sedang melintasi kawasan berpenghuni mayoritas warga asli Ternate. Ada juga suku terasing di pedalaman Maluku Utara – keturunan moyang Portugis yang pernah berkuasa di kawasan itu. “Kulit mereka putih dan warna bola matanya biru. Mereka terasing dan penduduk masih khawatir bila bertemu mereka,” kata Adnan Ways, sekretaris Plt PWI Malut, yang menemani kami semobil.

“Mereka umumnya bermukim berkelompok di pedalaman Halmahera, ada yang dinamai suku Tobelo Dalam. Hidup mereka berpindah-pindah. Kalau orang luar berpapasan dengan mereka di hutan, mereka minta rokok. Kita harus menyiapkan rokok dan jangan bepergian sendirian,” timpal rekan Erwin Syam, wartawan setempat yang menyupiri mobil kami.

Tak terasa, kami memasuki kawasan danau, parkir mobil. Kami berjalan kaki sepelemparan batu, disambut suara Baikole dan Calaibi, dua jenis burung endemik di Maluku Utara, yang berkicau dari satu pohon ke pohon lainnya. Tiba-tiba… bulu roma terasa berdiri ketika menyaksikan pemandangan terhampar nun jauh di hadapan kami.

Banyaklah sudah saya menyaksikan danau, tapi Danau Tolire yang berada di kaki Gunung Gamalama ini berbeda, entah kenapa suasana terasa beraroma magis, mistis, dibalut misteri.

“Pemandangan indah..tapi seram juga ya,,,” spontan diakui salah seorang teman, yang berpegang erat ke tangan orang di sebelahnya, yang seperti tak hentinya menarik nafas dalam, menyaksikan danau yang dikelilingi pohonan menghijau itu.

Danau yang lokasinya hanya sekitar empat kilometer dari puncak Gamalama yang masih aktif itu dan sekitar 500 meter dari pantai, terlihat seperti lubang raksasa dipenuhi genangan air berwarna hijau pekat.

Angin terasa berhembus kencang, permukaan air danau yang seolah cermin hijau itu beriak halus, apalagi kami berada di tempat tinggi dan tiada pagar pengaman yang memisahkan. Pagar tembok ada di belakang kami. Kami terpana, berdecak kagum, tak berani mendekat ke ujung tanah berbatu pijakan kami.

“Jangan terlalu ke pinggir pijakannya Pak,” diingatkan Adnan Ways, karena selangkah dua ke depan sudah jurang, sehingga pengunjung yang tidak biasa dengan tempat ketinggian bisa saja terjerumus ke bawah, ke arah danau yang menganga itu, yang luas permukaannya menurut masyarakat setempat, sekitar lima hektar dengan kedalaman sekitar 50 meter.

“Hingga kini tak ada orang yang tahu kedalaman pasti danau itu. Gak ada yang berani mengukurnya. Bahkan tak ada yang berani berenang, apalagi menangkap ikan. Danau itu diakui masyarakat sini ada penunggunya,” kata Adnan.

“Hingga kini pun tak ada orang yang berhasil melemparkan batu ke danau itu. Batu seolah berbalik ke arah tepi danau. Wisatawan yang datang ke sini selalu mencobanya dan ada bebatuan untuk melontar yang dijual di dekat pintu masuk,” tambah Adnan.

Pantasan danau ini berbau mistis, ternyata ada ccrita rakyat atau legenda yang melatarinya. Pada zaman Portugis berabad-abad lalu, seorang pemuka desa ketahuan berbuat mesum dengan puterinya sendiri.

Penguasa alam murka, terjadi gempa dan perkampungan itu amblas dihisap air yang muncul dari dalam bumi. Semua orang kena getahnya, mati berkalang tanah dan air, berubah menjadi buaya putih. Puterinya sempat lari, tapi tetap saja dihisap bumi yang amblas dan muncul danau kecil, dinamai Tolire kecil, sekitar 300 meter jaraknya dari Tolire besar.

Ada pengakuan dari beberapa pengunjung, kata Adnan, mereka pernah melihat siluman buaya putih dan buaya putih merupakan lambang di dekat pintu masuk ke kawasan danau di Desa Soela Takomi, di barat laut Pulau Ternate, yang dijuluki juga dengan Tolire Gam Jaha atau “kampung tenggelam” itu.

Legenda ini hidup sampai sekarang, masyarakat sekitar tidak berani berbuat dan bicara kotor apalagi maksiat, hewan yang hidup di wilayah itu dianggap menjaga alam, suasana hidup damai.

Rombongan PWI Malut dan peguji UKW dari Jakarta dan Ambon menyempatkan diri melihat keindahan alam Ternate.

“Berlama-lama di tepi danau itu, kendati hanya melihat kindahannya dari kejauhan, terasa damai, tapi terkadang bisa berubah menakutkan,” kata seorang anggota rombongan kami.

Kami puas berfoto-foto di tempat itu, apalagi ada fotografer bernama Epok, yang terus mengabadikan gerak langkah kami. Pengunjung terlihat hanya beberapa orang sedangkan warung minuman dekat situ tutup. “Sabtu Minggu biasanya ramai juga Pak,” kata warga setempat.

Batu Angus dan air Guraka

Dari Danau Tolire kami berangkat ke Batu Angus yang letaknya hanya sekitar 10 menit perjalanan mobil dari danau mistis itu. Ini wisata batu lahar, bebatuan muntahan Gunung Gamalama pada 1673. Gunung ini masih aktif, sesekali mengeluarkan asap tebal.

“Di sepanjang jalan yang kita lalui ini, dahulu dipenuhi batu-batu. Lama kelamaan habis karena diambil orang, mungkin untuk kebutuhan bangunan atau untuk lainnya,” kata Adnan.

Onggokan batu terlihat masih banyak di sepanjang jalan tepi pantai pesisir Kulaba yang indah dengan air membiru di kaki Gunung Gamalama. Bebatuan itu kelihatan unik dan khas, konon jenisnya sama dengan bebatuan bangunan candi di Pulau Jawa.

Ledakan gunung pada abad ke-17 yang menyebabkan bencana luar biasa di pulau rempah yang saat itu masih dalam kekuasaan Portugis, kini membawa berkah, dengan adanya obyek wisata yang khas dan istimewa serta bermanfaat bagi penduduk sekitarnya.

Saya coba memanjat Batu Angus.

Medio Juni 2022, Menparekraf RI Sandiaga Uno, mengunjungi objek wisata Batu Angus dan mendukung agar kawasan itu menjadi destinasi wisata geopark nasional.
Tak puas-puasnya kami berfoto di kawasan wisata ini, terlebih dengan latar belakang selain batu hangus, juga adanya pemandangan indah berupa air biru lautan luas, di kejauhan tampak membayang Pulau Halmahera dan di sebelah kiri membayang Pulau Hiri.

Perasaan seolah tak ingin beranjak dari Batu Angus dan pantai indah yang melatari berbagai pose kami berfoto, tapi jarum jam terus berjalan, waktu bergulir dan kami pamit undur.

Kemana tujuan selanjutnya?

“Saya sudah tak sabar ingin mencicipi air Guraka,” kata Firdaus.

Guraka adalah sejenis minuman panghangat “mpon mpon” khas Ternate, terbuat dari rempah-rempah termasuk jahe dan serai. Minuman ini disukai masyarakat lokal dan wisatawan, konon dahulu merupakan minuman favorit kalangan bangsawan.

Firdaus tak sabar, karena sehari sebelumnya Izaac pamer foto sedang menghirup minuman khas Ternate itu, dengan caption “wah Guraka..sedaapp”.

Kami meluncur ke tempat biasa orang-orang menghirup minuman itu di kawasan utara kota Ternate, tepatnya ke tepi Pantai Tulang Ikan Dufa-Dufa. Banyak meja-meja kecil dengan jejeran kursi di tepi pantai – tepatnya di tepi jalan – karena pantai tempat kami berada,di bagian bawah jalanan.

Pantai ini termasuk salah satu dari 10 pantai indah di Pulau Ternate, berpasir cokelat dan halus, airnya biru membentang sejauh mata memandang. Di sini ada monument ikan, tempat pengunjung berfoto ria.

Tapi kami tidak langsung ke pantai itu, kami di jalanan umum, berseberangan dengan perkampungan nelayan, yang penghuninya juga menjual berbagai jenis makanan dan minuman. “Kalau air pasang, bisa naik ke perkampungan ini,” kata Adnan, padahal perkampungan itu lokasinya jauh lebih tinggi dari bibir pantai.

Kami menunggu air Guraka di tepi pantai Dufa Dufa.

Air Guraka datang dalam gelas ukuran sedang. Eh..ada pendampingnya, yaitu pisang Mulut Bebek dan Pisang Raja mentah, digoreng pipih tipis, sepintas bentuknya seperti paruh bebek. Rasanya gurih. Wuih, ada juga sambal pedas manis, kemudian ikan teri dinamai ikan ngafi. Di piring kecil lainnya, ada kacang tanah goreng.

Air Guraka terasa masih panas..tak sabar lalu dihirup..cairannya mengalir di leher..terasa aroma rempah menyeruak dan memang…sedaap.

Kemudian, potongan gigitan pisang goreng, sambal, kacang dan ikan teri, bergantian masuk mulut, dikunyah bersamaan, terasa gurih asin, pedas, renyah dan memang…nikmaat.

“Hati-hati kolesterol tinggi dari ikan ngafi itu,” kata Fitriyanti “Anti” Safar, Plt Bendahara PWI Malut, mengingatkan kita yang berulang kali mencaplok teri itu ke mulut.

Kami bersenda gurau di tepi pantai itu. Sinar Mentari mulai susut, petang turun menggantikan siang. Dari waktu ke waktu banyak yang dibicarakan di pantai Dufa Dufa itu.

Obrolan kami, di antaranya, masalah “impeachment” ketua PWI Maluku Utara (Maret 2022), Syafruddin Ganda, yang dianggap tidak menjalankan roda organisasi dengan baik. Ketua Siwo Asri Fabanyo dipilih sebagai Plt ketua umum, dengan sekretaris Adnan Ways dan bendahara Fitriyanti.

“Putera Pak Syafruddin Ganda, Ifan Gusti, menandatangi paling atas alias nomor satu daftar mosi impeachment itu,” kata Asri Fabanyo dengan menambahkan, ia ingin tetap bersahabat dengan semua senior dan mantan pengurus PWI. Ifan Gusti berada di antara kami dalam berwisata ke danau dan batu hangus itu.

Pembicaraan beralih ke masalah keanggotaan PWI hingga ke daerah-daerah, masalah iyuran anggota, masalah kartu pers nomor satu (PCNO), tentang UKW Dewan Pers dengan penguji dari PWI, LPDS dan LSPR, dan berbagai hal lain.

Tak terasa petang dihalau malam, semilir angin mulai menjadi keras, kelap-kelip lampu muncul di perahu-perahu yang terombang-ambing di tepi pantai, riak air semakin keras. Lampu-lampu di rumah penduduk menyala. Tak lama kemudian terdengar azan Magrib berkumandang dan kami berbaur dengan jamaah masjid di tengah perkampungan nelayan itu.

Kami beruntung, UKW membawa berkah, menapak langkah menyaksikan dua kawasan wisata bersejarah di ujung utara Maluku, tempat yang juga bergelar “Jalur Rempah Indonesia” dan “Pulau 1000 benteng” itu. (***)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru