Friday, April 19, 2024
Home > Cerita > Cerita Khas > Tahun Vivere Pericoloso Media Massa Indonesia,  Catatan Hendry Ch Bangun

Tahun Vivere Pericoloso Media Massa Indonesia,  Catatan Hendry Ch Bangun

Hendry Ch Bangun. (mr)

Saya tidak bermaksud menyebarkan pesimisme dengan judul tulisan ini dari pidato Bung Karno pada peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia pada 17 Agustus 1964 itu. Tetapi dari berbagai gejala yang ada, eksistensi media massa di Tanah Air sudah “hidup dalam kondisi berbahaya” atau “menyerempet bahaya”, terserah saja.

Cobalah cari satu indikasi yang dapat membawa kita, masyarakat pers, bersikap optimistis menghadapi tahun-tahun ke depan. Menurut saya, yang ada tinggal semangat untuk bertahan, agar fungsi media yakni memenuhi hak publik atas informasi, menyerap aspirasi masyarakat untuk berpartisipasi, menjadi ruang dialog semua elemen bangsa, dan mengontrol jalannya pemerintahan, masih bisa terlaksana. Di luar itu semua yang tampak adalah pesimisme.

Karena dilahirkan di masa perjuangan mencapai kemerdekaan dari penjajahan Belanda, idealisme masih kental di media arus utama. Mereka belum menjadi si Malin Kundang, yang menghianati ibu pertiwi karena godaan duniawi, berusaha tetap tegar walaupun seperti berjalan di tanah berlumpur yang siap menyeret entah kemana. Tetapi bertahan sampai kapan?

Pers berjalan tertatih, susah payah, sementara di depan yang ada hanya harapan redup. Karena berbagai macam keadaan, di Indonesia kita tidak pernah tahu berapa media massa (cetak, radio, televisi lokal), yang sudah tidak operasional. Organisasi perusahaan pers tidak punya data pasti, tetapi jumlahnya pasti tidak sedikit, bisa ratusan. Kita juga tidak tahu berapa wartawan yang sudah diberhentikan karena pengurangan karyawan, atau pensiun dini, tapi angkanya bisa ribuan. Mereka tetap berstatus wartawan karena sebelumnya karyawan, kini malah jadi Boss, punya media (siber) sendiri karena begitu mudahnya membuat perusahaan pers.

Kesuraman pertama tentu saja karena semakin berkurangnya pendapatan media massa dari iklan yang merupakan penunjang utama agar perusahaan pers bisa sehat. Media cetak yang secara tradisional mendapat sekitar 7-8 persen dari total kue nasional (tahun 2021 sekitar Rp 259 Trilyun), makin terpuruk dan tahun 2022 ini barangkali di kisaran lima persen (dari perkiraan Rp 260-Rp275 Trilyun).  Kenaikan akan terjadi di media digital (30 persen), meskipun itu sebagian besar akan dicaplok platform digital seperti Yahoo, Facebook, YouTube, Intagram, Twitter, ditambah yang sedang naik daun, Tiktok, dan Podcast.

Sebagian besar kue iklan di Indonesia masih dinikmati media penyiaran televisi, khususnya stasiun nasional, yakni sekitar 60-an persen, tetapi diprediksi akan terus digerus. Dan tentu saja kita tidak berharap televisi akan dipenuhi dengan konten berita bermutu–seperti liputan mendalam, liputan investigasi– apalagi prosentase berita di kebanyakan stasiun nasional tidaklah banyak. Kecuali kalau talkshow provokatif, gossip, ghibah, juga dianggap sebagai karya jurnalistik.

Media siber yang tergolong media arus utama, di Indonesia bakal kecipratan sedikit saja dari anggaran iklan perusahaan-perusahaan dari negerinya sendiri, dan itupun jumlahnya tidak banyak, alias dapat dihitung jari. Dari hitung-hitungan di atas, yang mampu mengantongi jumlah pendapatan di atas Rp 1 trilyun (bundling atau tunggal), bisa dihitung jari. Apalagi media siber biasa, yang tidak memiliki konten apik dan dikelola sejalan perkembangan teknologi dan bisnis digital. Paling mengandalkan pendapatan dari anggaran kemitraan provinsi atau kabupaten kota, yang tidak bisa menunjang kehidupan media.

***

Kesuraman kedua adalah rendahnya kualitas konten media massa kita yang tidak lepas dari kondisi keuangan yang tidak sehat. Sulit bagi sebuah media membuat liputan berkualitas apabila anggaran operasional terbatas dan sumber daya manusianya tidak sejahtera, apalagi kalau saat rekrutmen tenaga baru tidak disiapkan melalui pelatihan yang memadai. Idealisme menjadi sesuatu yang mahal, liputan mendalam, investigatif, yang bisa menjadi pembeda, kian jarang dilakukan. Akhirnya sajian media hampir sama, itu artinya tidak jauh berbeda dengan hasil press release, jumpa pers, atau yang disajikan oleh media sosial yang bisa diperoleh gratis.

Kita justru mendapati semakin menggilanya upaya banyak jaringan media siber dalam mencari perhatian dengan topik dan judul sensasional. Topik “pindah agama” dijadikan judul untuk menyentuh sentimen SARA pembaca, meski tidak ada kaitannya dengan prestasi seseorang. Pernikahan, penceraian, ulang tahun, kelahiran bayi, yang sama sekali tidak penting, dimuat jam demi jam—update news—walaupun tingkat kepentingan publiknya sangat rendah. Tema gaib, spekulatif, diangkat meskipun jauh dari logika atau akal sehat, demi klikbaik.

Tentu hal ini akan semakin menjauhkan masyarakat dari media massa karena produknya tidak lagi berbeda dengan apa yang disajikan media sosial. Lalu buat apa mereka harus bayar untuk mendapatkan berita? Ini akan mempercepat kian ditinggalkannya media massa, masyarakat lebih memilih media sosial untuk mendapat informasi pertama, sebagaimana hasil penelitian Dewan Pers bersama Universitas Prof Dr Moestopo tahun 2020.

Kesuraman ketiga adalah semakin berkembangnya teknologi, dan itu harus dibeli, sehingga hanya perusahaan dengan modal besar yang dapat terus beradaptasi untuk bisa bertahan dan bersaing. Dari Konvensi Nasional Media Massa Hari Pers Nasional (HPN) di Kendari, 7-8 Februari lalu, beberapa perusahaan media menyampaikan upaya-upaya mereka untuk, seperti lagu Pance Pondaag, mencari jalan terbaik, menghadapi zaman gunjang ganjing ini. Ada semangat, ada usaha, tetapi itu semua harus ditopang anggaran yang tidak sedikit. Hasilnya pun nasib-nasiban, masih spekulatif.

Ada dua dampak nyata yang terlihat seketika. Yaitu harus ada efisiensi manusia karena sebagian besar pekerjaan sudah bisa ditangani teknologi. Perencanaan, pemasaran, yang berbasis data, tidak perlu sedikit orang. Artinya harus banyak yang diberhentikan. Kedua, jurnalistik tidak lagi menjadi mahkota sebuah perusahaan media, dia bisa jadi nanti hanya bonus dari sebuah perusahaan pers, karena yang lebih penting justru kemasan dan cara  menjualnya. Sebagus apapun tulisan, kalau tidak diketahui dan kemudian dibaca orang, tentu tidak ada gunanya.

Banyak media siber kecil bergabung dalam jaringan, yang boleh  saya sebut sebagai “seolah-olah” perusahaan media massa padahal dia sebenarnya tidak mengandalkan wartawan untuk mendapatkan peminatnya tapi content creator. Tidak perlu faham kode etik jurnalistik, tidak perlu mengerti tugas, fungsi, peran dari pers, yang penting bisa membuat “berita” yang diklik sekian puluh ribu audiens.

Tugas mereka bukanlah membuat berita dengan pedoman sebagaimana ditulis Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam Elements of Journalism. Yang penting membuat berita sesuai dengan informasi yang sedang viral, menjadi tren, pembicaraan di media sosial. Dari A sampai Z informasi tentang orang atau hal yang sedang viral itu, diupdate terus menit demi menit. Maka jangan heran, kalau ada atlet yang menjadi juara segala sesuatu diekspos: orangtua, sekolahnya, pacarnya, hobinya, sampai agamanya. Tidak beda dengan media sosial. Artis yang mati bunuh diri pun dieskploitir sehingga kita sampai jijik membaca beritanya karena jenazah yang hancur pun diinformasikan.

Kalau media kecil tidak melakukan itu, klik yang didapat dari produknya tidak sesuai target, maka dia akan tenggelam.  Pendapatan media akan kecil, otomatis pekerjanya pun tidak sejahtera.  Dan yang media ini terancam diputus karena dianggap tidak memenuhi perjanjian, tidak memberikan manfaat bagi grup yang sudah keluar banyak uang memberikan fasilitas alat, atau aplikasi gratis, atau sewa jaringan.

***

Kesuraman keempat adalah kurangnya perhatian dan bantuan pemerintah.  Pers selalu disebut sebagai pilar keempat demokrasi, berperan besar dalam menjaga marwah negara demokrasi khususnya untuk mengontrol kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Lebih dari itu, pers berperan dalam membentuk opini publik yang sehat, yang berbasiskan fakta dan data, berlandaskan budaya dan kearifan lokal, serta partisipasi seluruh elemen bangsa.

Dalam kondisi sempoyongan seperti sekarang, apakah pers dalam menjalankan perannya sendiri? Pasti tidak. Negara dan masyarakat harus membantu pers.

Dari sisi regulasi, upaya membuat aturan—apapun bentuknya—yang sudah dibicarakan di Hari Pers Nasional di Banjarmasin tahun 2020, sampai Maret ini wujudnya baru berbentuk draft yang diserahkan masyarakat pers ke Kementerian   Kominfo sebagai leading sector. Molor dua tahun dan ini pun belum tahu kapan masuk ke dalam rel untuk disahkan dan berlaku. Seperti tidak ada rasa terburu-buru dan urgen dari kalangan pers sendiri, padahal ibarat tenggelam, air sudah di leher. Sementara dari pemerintah, juga hanya menunggu diumpan.  Tidak ada keinginan untuk menjemput bola. Regulasi harus secepatnya jadi agar sedikit banyak bisa menolong perusahaan media di Indonesia yang semakin terjepit oleh  dominasi platform global yang menggurita.

Di sisi lain, pemerintah kalau memang menganggap penting media massa—sebagaimana ditunjukkan saat menjadi sumber informasi  vital  bagi masyarakat di masa awal pandemi Covid-19—harusnya tidak usah ragu membantu. Pemerintah perlu campur tangan karena keadaan sudah darurat, soal hidup mati. Jangan lagi anggap bantuan bagi media sebagai intervensi atas independensi, entah itu dalam peningkatanan kompetensi dan kesejahteraan wartawan ataupun menyokong daya hidup perusahaan media.

Sistem demokrasi kita sekarang tidak akan bisa membuat siapapun mengangkangi media massa dengan kekuatan atau kekuasaannya sehingga bantuan haruslah dianggap sebagai turunan dari kemitraan strategis untuk menjaga negara dan bangsa ini tetap di jalur demokrasi yang benar.

Masyarakat pun harus turun tangan. Bantulah pers agar mereka dapat hidup sebagai media yang setia pada kualitas dan peran-tugasnya sebagaimana diminta Undang-Undang. Informasi bermutu memang tidak murah dan harus dibeli, maka hargailah karya jurnalistik berkualitas dengan berlangganan.

Semakin banyak karya jurnalistik bermutu diserap, dibaca, dan menjadi acuan utama informasi masyarakat, maka ruang publik akan sehat. Diskusi sesama anak bangsa juga akan sehat. Sementara apabila informasi dari media sosial mendominasi, maka wacana yang berkembang juga makin ngawur dan tidak jelas arah serta tujuannya. Bangsa ini juga yang rugi.

Memang tantangan bagi pengelola media massa dan orang yang memilih wartawan sebagai profesinya akan semakin berat. Betul-betul tahun yang menyerempet bahaya.  (Penulis adalah wartawan senior / wakil Ketua Dewan Pers. Tulisan ini dimuat di buletin Etika Dewan Pers).

***

Jakarta, 1 Maret 2022

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru