Friday, March 29, 2024
Home > Cerita > Sang Pahlawan, Cerpen Djunaedi Tjunti Agus

Sang Pahlawan, Cerpen Djunaedi Tjunti Agus

Ilustrasi bola (Foto: Prediksibolaprofesional.blogspot.com)

Ilustrasi bola (Foto: Prediksibolaprofesional.blogspot.com)

Sang Pahlawan

Cerpen: Djunaedi Tjunti Agus

Telah lebih satu bulan Indonesia menyandang gelar juara Piala Dunia 2038, belum ada tanda-tanda puja dan puji terhadap tim nasional bakal surut. Kancang Piliang, salah seorang pemain depan, menjadi bintang utama. Setiap tim nasional diarak di berbagai kota, dia paling banyak mendapat perhatian. Padahal empat tahun lalu, ketika Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia 2034, Kancang paling dibenci karena akibat gol bunuh dirinya, Indonesia terlempar di perempat final, dikalahkan wakil Afrika, Kamerun.

Kancang tidak hanya dibenci masyarakat, tapi orang-orang dekatnya juga menjauhinya. Bahkan tunangannya, Santi, secara vulgar di depan banyak media menyatakan memutuskan cintanya. Tapi, kini semua berubah seratus delapan puluh derajat.

“Hasil yang diraih Indonesia saat ini bukan perjuangan saya sendiri. Ini perjuangan tim, keberhasilan pelatih, berkat doa seluruh rakyat Indonesia. Yang paling berjasa adalah Sang Presiden. Karena dukungan penuh, kehebatan, dan ketegasan beliau, maka kita mampu meraih Piala Dunia untuk pertama kali,” kata Kancang.

“Saya seharusnya paling berterima kasih. Berkat hasil Piala Dunia 2038 ini nama saya bisa dipulihkan. Saya bangga bisa diterima kembali secara penuh sebagai warga negara Indonesia,” kata Kancang. Ucapan itu kerap dia ulang setiap tim nasional disambut di berbagai kota. Jika sudah begitu, air matanya pun mengalir, suasana pun berubah jadi haru.

Seperti dikatakan ujung tombak tim nasional itu, Indonesia kali ini memang paling solid. Berkat keuletan dan pengalaman pelatih asal Jerman, tim Indonesia dalam delapan tahun terakhir berprestasi sangat mengagumkan.

Pada Piala Dunia kali ini Indonesia tidak hanya menggasak “saudara tua” Jepang, tapi juga menghempaskan tim Oranye Belanda, setelah di babak penyisihan menaklukkan tim “Paman Sam” Amerika Serikat. Di final prestasi spektakuler melengkapi kejayaan Merah Putih, menghentikan “tarian” samba Brasil.

Kancang di Piala Dunia 2038 menjadi bintang lapangan. Seperti pada babak kualifikasi, dia juga selalu mencetak gol setiap Indonesia main di putaran final. Suksesnya dimantapkan dengan perolehan sepatu emas sebagai pemain terbaik Piala Dunia. Wajar jika dia menjadi pusat perhatian bak dewa, walau sebenarnya suksesnya tak lepas dari peran pemain lainnya.

Tim Indonesia bertabur bintang, diikat rasa kebersamaan sangat erat, disiplin terhadap tugas masing-masing. Tak ada rasa iri. Itulah yang membuat tim yang mewakili hampir seluruh provinsi ini tak terkalahkan.

Ke-23 pemain anggota tim memiliki kemampuan hampir sama. Di depan (forward), selain Kancang, ada Ligat Purba, Kilat Santoso, Penjuru Korwa, Akurat Sadikin, dan Tepat Sopacua. Di barisan tengah (midfielder) diisi Pengumpan Sembiring, Cegat Marwoto, Tubagus Penerobos, Gede Nyali, Kuat Al Betawi, Teuku Cerdik. Pemain belakang (defender), Hambat Mattalata, JT Bangun, Ambek Sikumbang, Sikat Borneo, Kukuh Gunawan, Nekat Cun Lie, Palang Lantang, dan Cegat Supardi. Penjaga gawang selain Lengket Poniman, ada Jangkung Sigap, dan JR Laba Laba.

Haru biru terjadi di mana-mana. Besar kecil, kakek, nenek, yang kaya dan yang biasa-biasa saja, pejabat, petani, bangsawan, dan rakyat biasa-hanyut dalam kegembiraan. Semua berebut ingin menyaksikan sosok para pahlawan Piala Dunia. Itu wajar karena dalam waktu tak terlalu lama, para pemain akan kembali ke klub masing-masing.

Ada yang bermain di Liga Inggris, Jerman, Italia, Spanyol, dan Australia. Satu-dua saja yang bermain di Liga Indonesia. Pesta pora tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara Asia. Sebagai negara Asia pertama yang menjuarai Piala Dunia, pemain anggota tim nasional Indonesia seolah menjadi milik Benua Asia. Masyarakat Jepang yang sebelumnya kecewa karena tim kebanggaan mereka dikalahkan Indonesia, kini berbalik memuja pemain Indonesia.

* * *

Prestasi spektakuler tim sepak bola nasional bukan ujug-ujug, bukan datang tanpa rencana. Itu adalah hasil kerja keras dan buah kejujuran. Adalah Sang Presiden kunci sukses Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan. Presiden yang akan mengakhiri masa kepemimpinan periode keduanya tahun 2039 mendatang tidak saja mampu meningkatkan perekonomian rakyat setara bangsa Singapura, China, dan negara-negara makmur lainnya, tetapi dia pun mampu membuat Indonesia tidak tergantung lagi pada utang luar negeri.

Presiden yang lebih senang disebut dengan panggilan Sang Presiden ketimbang nama aslinya, menaikkan pamor Indonesia. Suksesnya memimpin dua periode, 2029-2034 dan kini 2034-2039, tidak membuat Sang Presiden haus jabatan. Dia menolak keras ketika ada yang mewacanakan mengamandemen atau melakukan perubahan UUD 45 dengan adendum-adendum bahwa presiden berhak dipilih untuk beberapa periode, bahkan tanpa batas, jika dinilai mampu. Bukan dibatasi hanya untuk dua periode.

“Saya tidak gila jabatan. Masa tidak ada pemimpin lebih baik, lebih muda, lebih hebat di antara tiga ratus lima puluh juta rakyat Indonesia yang ada saat ini?” kata Sang Presiden dalam pidato kenegaraan HUT Kemerdekaan di Istana Negara.

“Kondisi negara kita sudah kokoh. Ekonomi stabil, keamanan terkendali. Saya berterima kasih pada pendahulu saya, presiden periode 2024-2029, yang telah menetapkan fondasi kuat bagi negara dan bangsa. Dia sukses, tapi merasa cukup memimpin negeri ini hanya satu periode. Dia lebih memilih menjadi bapak bangsa.”

Sebelum terpilih untuk periode pertama 2029-2034, Sang Presiden memang sudah dibekali dengan berbagai aturan dan revisi UUD 1945 oleh pendahulunya. Pemberlakuan asas pembuktian terbalik dan hukuman mati untuk memberantas korupsi, misalnya, membuat beliau punya kekuatan tak terpatahkan.

Begitu kabinet terbentuk, beliau langsung melakukan gebrakan. Institusi kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung yang telah bersih dari tangan-tangan kotor, dan Komisi Pemberantasan Korupsi yang tak lagi mempan digertak, membuat Sang Presiden betul-betul berwibawa.

Sang Presiden tidak saja didukung dan dipuji rakyat, tetapi juga oleh DPR, pengusaha, juga oleh bangsa-bangsa asing, ketika dia menolak grasi seorang mantan pejabat negara yang dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) setelah terbukti korupsi.

Hukuman mati terhadap tiga koruptor-termasuk seorang mantan pejabat, di samping pengusaha yang terbukti menyuap pejabat, dan seorang lagi aparat penegak hukum yang menerima suap pada awal kepemimpinan Sang Presiden, membuat Indonesia kebanjiran simpati dan investor.

Berikutnya hukuman mati yang dijatuhkan kepada bandar narkoba, serta seorang kurir narkoba warga negara asing, kemudian hukuman kerja paksa terhadap berbagai penjahat-pemadat, perampok, penodong, pemerkosa-menjadikan negeri ini berubah aman.

Wanita tak lagi takut berjalan di malam hari, angkutan umum tidak saja nyaman tetapi juga aman. Imbauan Sang Presiden agar koruptor sukarela mengembalikan hasil penjarahannya, dengan imbalan pengampunan, membuahkan hasil luar biasa. Dari harta kekayaan yang dikembalikan para koruptor, Indonesia mampu membayar lebih dari separuh utang luar negeri.

Dan, pada periode pertama kepemimpinannya itu pula Sang Presiden mampu meyakinkan dunia bahwa Indonesia pantas menjadi tuan rumah Piala Dunia 2034. Sebetulnya dipilihnya Indonesia merupakan “kecelakaan” karena kesiapan negeri jiran yang telah ditunjuk sebelumnya dinilai FIFA meragukan. Hasilnya, Indonesia tidak saja sukses sebagai tuan rumah Piala Dunia 2034, tapi juga mampu memajukan tim nasional ke perempat final, sebelum akhirnya dikalahkan Kamerun.

“Jadi, jangan rusak lagi apa yang telah terbentuk di negeri ini,” kata Sang Presiden.

Kinerja Sang Presiden mencengangkan dunia. Negara yang tadinya berada pada titik nadir berubah menjadi makmur, aman, damai, dalam arti sesungguhnya. Dengan modal aturan atau undang-undang yang tegas dalam segala sektor, Sang Presiden mengubah wajah bangsa dan negara.

Tak ada lagi pemimpin yang hanya sibuk memperkaya diri sendiri dan keluarga, melakukan korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), membiarkan rakyat makin menderita, lapar, dan miskin papa, angka pengangguran makin besar, seperti yang terjadi sebelum 14 tahun terakhir.

Tak ada yang mengira Indonesia bisa seperti sekarang. Sebab, negeri ini sempat berada di ambang perpecahan. Jeritan muncul di mana-mana. Beberapa provinsi meminta lepas, mendirikan negara sendiri.

Para pengambil keputusan, politikus, pengusaha, pengamat di berbagai bidang sibuk berdebat, pengemis bergerombol di berbagai penjuru kota, petani tak sanggup lagi bertani karena apa yang dia dapatkan tidak sebanding lagi dengan pengeluaran yang amat besar. Pejabat dan pengusaha berkolusi menggerogoti negara. Beruntung semua itu bisa dikikis habis Sang Presiden, sosok yang sebelumnya tak begitu dikenal.

* * *

Sukses tim nasional di Piala Dunia 2038 merupakan puncak hasil kerja keras Sang Presiden. Perekonomian rakyat betul-betul sempurna. Rakyat miskin sangat susah dicari, pengemis, pengamen, pedagang asongan tinggal kenangan. Di seluruh kota besar Indonesia tak ada lagi kemacetan, sehingga siapa pun sulit mencari-cari alasan apabila terlambat datang di kantor, di tempat pertemuan.

Ibu Kota Negara Jakarta yang mengalami pemekaran-setelah masuknya Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi-berjalan penuh kedamaian, aman, tanpa gangguan. Transportasi umum yang tiap harinya melintasi jalan layang bertingkat-tingkat dan berliku, menjadi pilihan utama.

Sangat jarang orang menggunakan kendaraan pribadi untuk bekerja karena seluruh angkutan umum bebas dari segala gangguan dan beroperasi 24 jam penuh setiap hari. Tidak ada lagi pedagang kaki lima yang bebas berjualan di trotoar, pengendara sepeda motor, pengemudi mobil pribadi, dan kendaraan umum menerobos lampu merah. Juga tak ada pemborong “cepean” yang menimbun lubang di tengah jalan dengan sepengki puing, lalu menampungkan kaleng roti untuk minta belas kasihan pengendara yang lalu lalang.

Di kota-kota provinsi kondisinya hampir sama, tak ada lagi orang bebas merokok di mana-mana. Preman dan aparat tidak lagi berebut upeti. Birokrasi terburuk sedunia yang pernah disandang Indonesia akibat tak adanya koordinasi antara satu kementerian dan kementerian lain, tinggal cerita.

“Semua yang kita capai merupakan hasil kerja keras semua anak bangsa. Dan, apa yang diraih para pemain kita di Piala Dunia 2038 merupakan pembuktian kepada dunia bahwa Indonesia bukan lagi negara terbelakang. Karena itu, kita harus hargai perjuangan para pemain. Mereka adalah sang pahlawan, pahlawan bangsa,” kata Sang Presiden dalam acara perpisahan dengan anggota tim nasional di Istana Negara.

Sang Presiden sesaat menyapukan pandangan ke seluruh ruangan. Kemudian menatap satu per satu para pemain yang ada di bagian tengah ruangan, bertempelan erat dengan pasangan masing-masing-dengan pacar, dengan istri, dan ada pula yang menggendong bayi.

“Saya berterima kasih atas pengorbanan para keluarga pemain selama ini, sampai akhirnya kita mendapat hadiah luar biasa, juara Piala Dunia.”

“Oh ya, atas nama bangsa, saya juga mengucapkan terima kasih kepada kapten tim, Kancang Piliang, yang akhirnya bersedia melakukan resepsi pernikahan di Indonesia. Kita akan gelar pesta sangat meriah. Seluruh anggota tim nasional diharapkan bisa datang. Kita ramaikan dengan pesta rakyat,” katanya.

Kancang tersenyum. Gadis yang ada di sampingnya terus bergelayut di bahunya. Dialah gadis pilihan Kancang. Dia bukan Santi, yang memilih meninggalkan Kancang empat tahun lalu. Mirna, itulah gadis yang beruntung, yang dikenal Kancang di Sydney, Australia, dalam suatu acara perkumpulan orang-orang Indonesia.

Empat tahun terakhir Kancang memang tinggal di Sydney, bergabung dengan salah satu klub Liga Australia. Senyum Mirna merekah. Santi yang menyaksikan lewat layar kaca siaran langsung di rumahnya di pinggiran kota menangis menyesali diri.

Tiba-tiba saja seluruh anggota tim nasional-diselang-selingi istri, kekasih, anggota keluarga membuat lingkaran besar, mengurung Sang Presiden dan Ibu Negara. Presiden, terlebih para pengawal, terkesima. Tiba-tiba lagu “Selamat Ulang Tahun” berkumandang dari mulut para pemain dan keluarganya. Kue ulang tahun dalam bentuk Piala Dunia pun masuk. Mata Sang Presiden berkaca-kaca setelah dia baru menyadari hadiah itu dipersembahkan untuk dirinya.***

* Jakarta, Juli 2010
*Dipersembahkan bagi pecinta kejujuran dan kedamaian
*Cerpen ini pernah dibuat di Harian Suara Karya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru