Buku antologi puisi wartawan Pintu Langit yang diterbitkan pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2022 luar biasa, ada 18 wartawan mengirim karya mereka, dengan jumlah total sebanyak 121 untai puisi.
Para wartawan itu adalah Amir Mahmud NS, Asril Koto, Ardiansyah , Alwi Karmena, Djoko Tetuko, Djunaedi Tjunti Agus, Hendry Nursal, Kurnia Effendi, Kabul Budiono, Nofrialdi Nofi Sastra, Mohammad Nasir, Syarifuddin Arifin, Sawir Pribadi, Taufik Effendi, Yusuf Susilo Hartono , Wina Armada , A.R. Loebis dan Zulfadhli.
Pada penerbitan kumpulan puisi HPN 2020 dengan judul Menatap Tubuhmu di Belukar Bakau, ada 121 judul puisi, berasal dari Ahmad Istiqom , A.R. Loebis, Dheni Kurnia, Djunaedi Tjunti Agus, Kunni Masrohanti, Maria Andriana, Syam Irfandi, Temu Sutrisno, Yusni Fatimah dan Zulfadhli.
Antologi puisi wartawan di HPN pertama kali terbit pada HPN 2017 di Maluku, dengan judul Sajak Kepada Presiden & Presiden Bebek, menurunkan karya Djunaedi Tjunti Agus, A.R. Loebis, Artini Suparmo, Iman Handiman, Maria D Andriana dan Nia S Amira.
Pada HPN 2018 di Padang dengan judul buku Wajah Tua Menikam Malam, ada 116 puisi yang lahir dari tangan Ahmad Istiqom, Ayid Suyitno PS, A.R. Loebis, Djunaedi Tjunti Agus, Edy Supriyanta Sjafei, Edi Purnomo, Imam Handiman, Maria D Andriana, Ramon Damora, Ress Yasin, Willy Hangguman dan Yusuf Susilo Hartono.
Pada 2019 dengan judul antologi Negeri Yang Tercabik, hadir puisi ciptaan Ayit Suyitno, A.R. Loebis, Djunaedi Tjunti Agus, Maria D Andriana dan Yusuf Susilo Hartono.
Nah, Pintu Langit merupakan ejawentah dari karya teman-teman wartawan dengan tema bangkit dari pandemi.
Ini dirasa amat dekat dengan kedirian kita masing-masing, yang pernah merasakan betapa nelangsanya kehidupan ini – ketika setiap hari bunyi ditandai dengan sipongang suara sirene ambulans, saling bersahutan.
Pintu Langit dipenuhi nuansa batiniah tentang situasi pandemi, mengajak pembaca agar bersikap dan bangkit, -fisik mau pun semangat- baik secara personal mau pun massal (masyarakat dan negara) , sehingga banyak kata berbalut simbol, yang intinya berupa hakikat tentang kebangkitan.
Judul Pintu Langit dipilih karena umumnya para wartawan yang mengirimkan puisi mereka sedang berinteraksi dengan jiwa dan Yang Maha Pencipta lewat lapis makna yang terdapat dalam hampir semua karya mereka.
Beberapa judul puisi itu adalah: Harus dengan Kematiankah Kita Mendekat Kepada Hikmah dan Kita dipersatukan Dengan Diceraiberaikan. Dua karya Amir Mahmud ini begitu intuitif. Ia tidak lagi berbicara tentang pandemi, melainkan beyond pandemi, tentang keberadaan manusia, mengingatkan perlunya rasa syukur serta hubungan antarpersonal yang terpisah tapi tetap bersatu.
Djoko Tetuko menulis Vaksin 1 hingga Vaksin 5 serta Wajah Corona, tetapi bukan menggambarkan tentang vaksin melainkan melebar berbicara tentang politik, pejabat, pedagang sementara Djunaedi Tjunti Agus bersenandung tentang sujud panjang, Mengetuk Pintu langit dan berdoa semoga pandemi segera berlalu.
Hendry Nasrul memohon agar Indonesia Sembuh, kemudian dilanjutkan dengan Tunggu, Tersenyumlah Negeri, sementara Kurnia Effendi menjabarkan tentang Menuju Normal Baru dan Taufik Effendi menyatakan mari kita Bangkit di Langit.
Syarifuddin Arifin menulis puisi dengan judul Di Pintumu Aku Terpaku, Sawir Pribadi mengawali karyanya dengan judul Penjajah Itu Tak Nyata, sementara Yusuf Susilo Hartono menulis Sajadah di antara sembilan karyanya dan Zulfadhli mengirim Masker di antara enam judul puisi yang dikirimnya.
Asril Kota mengimbau agar manusia melakukan “tobat massal” melalui puisinya Khawatir, sedangkan Kabul Budiono “melapor” kepada Allah SWT, menangisi kematian orang-orang yang dicintai dan berusaha mengetuk hatinya sendiri. Mohammad Nasir dalam puisinya menyebutkan betapa hebatnya pengaruh pandemi, sehingga orang membuat jarak dalam ibadah berjamaah, bahkan Ka’bah pun menjadi sepi pengunjung.
Namun belakangan ia begitu bahagia dapat kembali menghirup udara segar karena Covid sudah pergi.
Kalau Nofrialdi Sastra memohon ampun kepada Allah SWT lewat karya Telahkan Usai Hukuman Ini?, maka Wina Armada meminta agar manusia teguh menghadapi ujian apa pun juga. “Mati adalah takdir..” kata Wina, yang intinya memberi tahu bahwa hidup hanyalah sementara dan takdir hidup mati manusia sudah digariskan Yang Maha Kuasa.
Pintu Langit dan Sajadah.
Ada tiga kata pintu, dua kata langit dan dua kata sajadah dalam antologi ini. Siratan makna dalam kata itu adanya keinginan bertemu dengan dzat Illahiah, keinginann bertemu berwawankata, melaporkan sesuatu, sekaligus memohon pertolonganNya.
Kita mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dalam mencari hikmah (istilah Amir Mahmud), senyatanya bukan dengan kematian. Melainkan mendekatkan diri dan bersyukur dalam setiap saat, setiap kesempatan. Manusia selayaknya terus mengetuk pintuNya, senantiasa bermakrifatullah.
Para wartawan yang mengirimkan karya puisi mereka memaknai kebutuhan batin itu, terus menerus mengetuk pintuNya, sehingga saya tergetar untuk membuat judul antologi puisi ini dengan ungkapan Pintu Langit.
Pintu Langit itu begitu mendasar dalam kehidupan manusia yang mampu memaknai dan menalarnya. Banyak pintu-pintu di langit (QS Al Hijr: 14-15) , yang dibuka pada waktu tertentu. Langit adalah bangunan kokoh yang dipenuhi materi dan energi dan tidak mungkin diterobos kecuali dengan membuka pintunya.
Pintu Langit mayoritas memainkan imaji tentang (keinginan) membumbungnya manusia ke alam batas pandang alias ke langit dan yang dituju adalah pintu-pintuNya dalam usaha bermuwajahah kepada pemiliknya secara transenden.
Djunaedi dalam Di Pintumu Aku Mengetuk, mengatakan : // Hanya Dia harapan, tiada lain memberi ampunan//, //menerima taubat menutup lembaran kelam//. Djunaedi berdoa, berbicara dengan Yang Maha Esa sebagai orang ketiga.
Sedangkan Syarifuddin Arifin dalam Di Pintumu Aku Terpaku membuat pernyataan : //di pintu yang benderang itu//, //aku disergap kemilau sinarmu, //yang membakar baying-bayang//, //menghanguskan dosa dan rindu//.
Taufik Effendi bergumam dalam Bangkit di Langit dengan frasa //tak pelak, kita mesti tegak di langit//, //Begitulah Corona mengajarkan sakit//. Manusia tak bisa lagi melakukan hal biasa, virus sudah semena-mena, tanah kuburan sudah penuh, kita harus meminta perlindungan kepada Sang Pencipta.
Membaca 121 judul karya wartawan dalam antologi puisi HPN 2022, rasanya tak cukup sesaat atau hanya semalaman. Kalau dilihat sepintas, kita hanya membaca, namun bila kita berinteraksi dan berapresiasi pada tiap karya, maka kita dipersilahkan penulisnya untuk memamah kata-kata mereka.
Penulis puisi handal, akan merenungkan totalitas makna puisi, bersikap pada pokok pikiran dalam tema dan makna puisinya, sekaligus bersikap kepada pembacanya.
Penulis puisi menuntun pemahaman pembaca secara ekstrinsik, bahkan sebenarnya ia sudah berkata : Inilah latar belakang saya. Inilah keadaan masyarakat saya. Inilah warna sosial dan politik saya. Inilah adat istiadat di lingkungan saya. Inilah cinta saya. Ini lah akibat pandemi. Inilah doa saya.
Pengamat atau pembaca puisi, melakukan penafsiran dan ini memainkan unsur subyektivitas, pengalaman dan pengetahuan serta latar belakang sosial budaya, untuk merumuskan makna puisi. Ketika puisi itu sudah memasuki ruang transenden, bisa jadi hanya si penulis puisi yang memahami maknanya.
Lho, kalau begitu apa gunanya puisi bagi kita para pembaca? Dibutuhkan pemahaman tentang tema, pokok pikiran dan makna puisi. Diperlukan pemamahbiakan makna puisi, sehingga, puisi tertentu tidak hanya “digigit” tapi “dimamahbiak” – agar dapat dicerna, untuk mengupas lapisan maknanya.
Dalam Pintu Langit, tentu ada puisi yang ditulis secara sederhana, ada pula yang menukik ke balik kata. Akhirnya, semoga pandemi membawa banyak orang berpaling ke pintu langit, karena serangan virus itu sebenarnya salah satu ibroh atau nasihat dari langit untuk penghuni alam semesta. (arl)