Tuesday, March 19, 2024
Home > Cerita > Gampang tersinggung,  Catatan A.R. Loebis

Gampang tersinggung,  Catatan A.R. Loebis

Entah kenapa, banyak orang gampang sekali tersinggung.

Suatu saat, seseorang mengingatkan penjual gado-gado di kawasan Bogor, agar mengenakan masker yang tergantung di leher.

“Tolong maskernya dipakai bu, apalagi ibu sedang ngomong.”

“Kalau ibu tidak mau, ya gak usah beli gado-gado saya,” jawabnya ketus.

Tambah runyam, karena lawan penjual gado-gado ngomong – seorang ibu paruh baya yang berdiri di sebelahnya – dengan nada sinis membela si pengulek bumbu itu, mengatakan, “Biar gado-gadonya saya bayar. Di rumah ada aja orang yang mau makannya.”

“Maaf bu, masker itu tempatnya bukan di leher. Kalau ibu memakainya, ibu sudah menolong orang agar terhindar dari virus,” kata istri saya, “Apalagi dagangan ibu kan tidak lagi dipanaskah, melainkan langsung dimakan.”

Seorang pedagang pelindung muka (face shield) di kawasan Jatinegara, tidak mengenakan masker, padahal kita ingin membeli dagangannya. “Saya jamin sehat bu, kan gak ada gejalanya,” kata pemuda itu saat diingatkan harus mengenakan masker. Ia mungkin tidak faham dengan istilah OTG.

Para ibu pengajian di salah satu masjid besar, janjian bertemu di salah satu rumah teman pengajian. Pengajian di masjid itu sudah menggunakan zoom, tapi beberapa ibu tak sabar ingin kumpul-kumpul. Nah, disebarlah foto mereka yang sedang berkumpul, makan-makan, tanpa masker dan tanpa jarak. Ketika diingatkan via wa, dijawab, “Kalo gak mau ikut ya udah. Gak usah parno lah.”

Gampang tersinggung dan payah disiplin. Padahal mengingatkan adalah untuk kebaikan bersama, bukan “parno”, istilah now untuk orang yang dianggap “penakut.” Beberapa hari kemudian, seorang di antara ibu itu mengirim wa: Badan gue meriang nih, apa obatnya ya?

Di pintu rumah Pak RW di salah satu wilayah Jakarta Pusat, tertulis “Dilarang bertamu bila tidak mengenakan masker”.  Namanya Pak RW, tidak saja di kantor erwe, ke rumahnya pun banyak orang yang datang. Banyak yang tidak pakai masker, kendati bicara dibatasi pintu pagar. Awal September 2020, Pak RW positif Covid 19, dirawat ke wisma atlet, beberapa hari kemudian isterinya menyusul.

Apa inti potongan-potongan kisah kejadian ini?

Pertama, orang gampang tersinggung bila diingatkan. Kedua, susah menegakkan disiplin. Bahkan untuk diri sendiri pun dan keluarga.

Akibatnya, Covid 19, musuh bersama tanpa bentuk itu, semakin senang dan meraja-lela, levelnya naik terus dari waktu ke waktu.

Pada 14 September 2020, Gubernur Anies Baswedan kembali memberlakukan PSBB sementara di daerah lain trendnya pun sama, umumnya di derah Pulau Jawa.  Bahkan, berdasar informasi berita, sudah lebih dari 50 negara yang menutup kedatangan orang dari Indonesia. Salah seorang pejabat Malaysia mengatakan, Indonesia kini seperti bom waktu!  Ini dibuktikan dengan berita hari ini (10/9/20) yang menyebutkan seluruh rumah sakit dan ICU sudah nyaris penuh dan kamar di wisma atlet semakin sempit. Bahkan lahan kuburan pun sudah hampir tak meninggalkan ruang kosong.

Permintaan pemerintah hanya tiga: pakai masker, jaga jarak, cuci tangan pakai sabun.

Tapi di pasar tradisional, seperti tak ada jarak, di antara pembeli dan pedagang masih banyak yang tidak pakai masker. Cuci tangan di depan pasar dan toko swalayan atau di samping rumah ibadah, sudah kering, bila ada pun airnya, hanya satu-dua ada yang menggunakan. Tempat sabun pun sudah kosong. Sudah kerontang, sedih melihatnya.

Nah, kendati wabah mematikan ini menyerang seluruh dunia dan menakutkan bagi semua orang, tapi ternyata tak bisa mengalahkan emosi serta karakter sebagian manusia Indonesia, buktinya: cepat sekali tersinggung dan payah benget menegakkan disiplin.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru