Saturday, April 20, 2024
Home > Cerita > Cerita Pendek > Nenek, Cerpen A.R. Loebis

Nenek, Cerpen A.R. Loebis

Ilustrasi - Nenek. (duniasanteri)

Amril sedang bingung alias pusing kepala, karena ibu mertua atau si nenek beranjak pikun. Suatu malam, usai solat Isya, kami duduk santai di pelataran masjid dan ia bercerita kepada saya dan Fuad.

Sebenarnya sudah beberapa kali Amril mengatakan kegalauan pikirannya itu, tapi baru kali ini bercerita panjang lebar.

Biasanya usai solat Isya, kami selalu langsung bubar dan saya biasanya sambil lalu saja menjawab keluhan Amril dengan kata-kata, “Ya biasa lah itu Am..namanya saja sudah nenek-nenek.”

“Menurut saya sih si nenek sudah lama pikun, tapi belakangan ini sepertinya tidak seperti  biasa,” kata Amril membuka pembicaraan pada malam itu.

Fuad mengipas-ngipas badannya dengan kain sorbannya. Cuaca beberapa bulan ini memang cukup terik. Perasaan gerah sejak pagi hingga tengah  malam.  Sesekali angin berhembus semilir di pelataran masjid itu. Ada satu dua bintang berkelap-kelip di udara.  Kelelawar sesekali  seperti melayang menembus kelam malam.  Musim kemarau.

Di pojok pelataran, beberapa anak remaja sedang bercerita antar sesama mereka. Sesekali mereka cekikikan. Kalau sedang tidak ada aktivitas mereka, memang begitulah, pada ngrumpi versi anak remaja, mungkin.

“Tidak biasa seperti apa Am,” tanyaku., “Eh usia nenek itu berapa sih.”

“Usianya kata istri saya mencapai 83 atau 85. Gak tau benar atau tidak, kan orang dulu tidak ada kartu   tanda lahirnya,” kata Amril.

“Apa KTPnya tidak ada. Ah sudah lah..lanjutkan aja ceritamu.”

“Aku pernah lihat KTPnya, lahir tahun 30-an kayaknya.”

“Tadi pagi istriku meradang tinggi. Sudah lah mulai sekarang tidur saja di kamar mandi,” katanya.

Wah, aku mulai tertarik dengan cerita in i.

“Am, kita tidak boleh menghardik ibu kita, tolong bilangin ama istri kamu,” kata Fuad.

Amril menjawab, “Ya itu sih kita sudah tahu dan istriku pun sudah tahu. Bahkan istriku selalu bilang, ibunya alias si nenek itu merupakan salah satu pintu surga. Kalau ia tiada, aku akan kehilangan salah satu pintu surgaku. Istriku itu perasa dan penghiba. Kalau sudah bicara tentang ibunya, maka matanya pun selalu basah.”

“Ngomong-ngomong kenapa kok disuruh tidur di kamar mandi,” tanyaku.

“Soalnya ia terus berulang ke kamar mandi. Mau kencing katanya, tapi kok bisa tiap 10 atau 15 menit. Yang memegangi dia ke kamar mandi tidak bisa tidur semalaman.  Orang yang kita bayar untuk menjagainya sudah pulang kampung. Ia bertahan hanya  10 hari,” kata Amril.

Amril, pria asal pulau seberang, menikahi istrinya blasteran dari ibu Jawa dan ayah Sunda sekitar 30 tahun lalu dan kini sudah memiliki dua cucu dari dua putrinya, sedangkan putri satunya sedang menekuni semester akhir di salah satu perguruan tinggi Ibukota.

Si nenek, sudah beberapa kali masuk rumah sakit karena sesak nafas.  Ia baru keluar dalam dua minggu ini dari rumah sakit. Semula, ia tidak bisa lagi bangkit dari tempat tidur, tutur Amril, tapi dalam semingu ini kesehatannya membaik dan ia dapat berjalan pelan-pelan ke kamar mandi.

“Tapi anehnya,” kilah Amril, ”Nenek tidak mau terjaga sendirian. Ia membanguni  orang di dekatnya agar tetap bangun.  Ketika ia masih kuat berjalan pun, ia tidak mau tidur sendirian. Jadi setiap saat, sejak dahulu, harus ada orang yang menemani dan menjagainya. Bila tidak ada yang bangun, maka ia berteriak-teriak.”

“Adik istri saya yang tinggal dekat rumah pun selalu bengkak matanya pada pagi hari, akibat tidak tidur sepicing pun menemani ibunya yang susah tidur. Adik istri itu pun ya jadi selalu ngomel..karena ia pun punya kesibukan sendiri di rumahnya,” Amril sesaat menarik nafas panjang.

“Ia jadi seperti anak kecil lagi ya,” kata Fuad.

“Ya, bahkan sudah seperti bayi. Hebatnya lagi, tiap saat minta makan. Entah masuk ke mana tuh   makanan. Ini jadi susah, karena ia kalau makan terus ya harus minum, sedangkan dokter membatasi air yang masuk ke perutnya untuk mempertahankan ketahanan ginjal dan paru-parunya.”

Fuad melanjutkan, “Kondisi mentalnya menurun sejalan dengan menurunnya level kesehatan tubuhnya. Itu istilahnya Alzheimer. Penyakit tua atau pikin, tapi belakangan ini bisa juga menyerang kalangan usia menengah, 40-50-an.”

“Ya, ia selalu seperti berfantasi atau bermimpi. Suatu hari ia mengatakan bertemu dengan suaminya almarhum. Terkadang ia tersenyum sendiri tapi terkadang seperti orang marah, membentak siapa yang ada di dekatnya,” sela Amril seperti tidak mendengarkan komentar Fuad.

Aku terbayang wajah si nenek. Aku kerap melihatnya, karena rumah kami hanya dipisahkan tiga rt, tidak jauh dari mesjid. Ia selalu duduk di kursi di dekat pintu masjid, nongkrong petang hari sendiri sembari melihat anak-anak kecil bermain. Ia beberapa kali menggoda anak yang bermain dan mengajak mereka ngomong. Anak-anak hanya sekilas melihatnya, kemudian kembali asik bermain.

Terkadang ia mengisap rokok. Aku pun terbayang ketika ia kehabisan rokok dan memintanya kepada anak muda yang lewat di depannya. Si anak muda berhenti berjalan, ketika si nenek memanggil dan mendekatkan jari tengah dan telunjuk ke mulutnya, memberi gambaran orang sedang merokok.  Ada terkadang yang memberinya sebatang rokok, tapi kebanyakan jalan terus.

Beberapa waktu sebelum ia sakit dan dirawat di rumah sakit, si nenek sudah jarang duduk di tepi gang di dekat pintu masjid. Tapi sesekali ia datang juga, dituntun cucunya. Rambutnya sudah pendek dan putih. Ada yang mengatakan, rambutnya pernah dibotakin anaknya karena banyak kutunya.  Jalannya gontai dan pandangannya tidak lagi seperti ketika ia meminta-minta rokok itu.

Dagingnya pun mulai susut. Di dekat siku lengannya, ada sisa daging menggelembar-gelembir alis bergoyang-goyang lembut.  Ini mungkin yang menyebabkan ada pepatah ‘seperti kulit membalut tulang”, karena lemak dan dagingnya yang semakin menyusut.

Padahal dulu si nenek, seperti pernah diceritakan anaknya, menjadi rebutan ketika masih remaja. “Dulu mertua saya itu jadi rebutan di kalangan pemuda,”kata Amril suatu saat.  Aku masih ingat, Amril pernah bercerita, si nenek pernah diruqiyah tahun lalu, karena keluarganya curiga ia menggunakan susuk, tapi si nenek tertawa saja dan tidak ada pengaruh apa pun seusai ruqiyah.

oOo

Oh kok aku mau pipis terus ya. 

Orang-orang pada kemana sih..sepi banget,,aku jadi ngeri. Ah..astaghfirullah..siapa itu yang ngintip-ngintip. Kok aku seperti nglindur ya. 

Itu jam kok kagak bunyi-bunyi ya. Jarumnya gerak gak sih. Ah aku mau pipis lagi, padahal baru aja pipis. “Eh kucing..bangun.  Nenek mau pipis nih,” teriak Nenek, yang selalu mengistilahkan dirinya nenek kepada siapa pun ia berbicara. Ia pun selalu memanggil orang “kucing”.

Ya Allah..kakiku bengkak, susah berdiri, susah jalan. Begini nih rasanya jadi orang tua. Gimana rasanya mati ya..aku pengen mati, tapi aku takut. Oh orang-orang kok pada tidur semua sih. “Hei bangun..hei kucing..bangun, sudah pagi. Wah kok kagak bangun juga ya. 

Ah semua orang pasti mati..suamiku sudah pergi..anak lelakiku mendahuluiku, entah dimana mereka sekarang. Mereka rajin salat, pasti mereka sudah bertemu dengan Allah dan mereka bersenang-senang di sana. 

Aku ingin bertemu dengan mereka, apakah aku dapat bertemu dengan mereka, apakah aku dapat bertemu dengan mereka-mereka yang lain.

“Orang akan bertemu lagi dengan sanak keluarga yang dikasihinya di surga. Tentu saja bila kita menyiapkan diri untuk masuk surga. Caranya?  Tetap solat, puasa, naik haji bila mampu.  Berbuat baik pada orang lain,” ia teringat ucapan guru ngajinya. 

Ya Allah aku sudah beberapa hari tidak solat. Kakiku ini bengkak, sembuhkanlah ya Allah. Anak cucuku semoga tetap menunaikan solat dan mendoakan aku ya Allah.  Nenek kemudian lagi-lagi membangunkan orang-orang karena minta ditemani ke kamar mandi. Ia paling tidak suka bila dipakaikan pembalut.

Tapi adakah Tuhan, dimana dia, seperti apa wujudnya, benarkan suami dan anakku sudah bertemu dengan Dia? Aku berdosa ya Allah. Ayah dan ibuku dimana engkau  sekarang. Aku terbayang ketika engkau menggendongku di antara desingan peluru. Oh, serdadu itu..kejam, bengis, kasar. Muka mereka kusam berminyak tak  ada cahayanya.

Ya Allah begini rasanya jadi orang tua. Anak-anak sudah pada tidur, aku masih terjaga. Betapa enak dan tenangnya bila bisa tidur. Mungkin kencing ini yang membuat aku tidak bisa tidur. Nah..aku mau kencing lagi. Aku harus membangunkan si kucing itu. Hei…bangun kucing. Kok dia diam saja sepertinya harus kusiram dengan air ini. Ayo pegangi nenek ke kama mandi. 

Ah rasanya lega sesaat. Kok tulangku pada sakit semua ya. Berdiri  sakit. Duduk sakit. Rebahan sakit. Apakah semua orang tua seperti aku?Rasanya aku seperti ngantuk nih..alhamdulillah. 

Tempat ini sungguh amat indah. Cuaca cerah udara semilir angin pun amat harum. Banyak rumah besar seperti istana. Alangkah enaknya mungkin bila istirahat di dalamnya. Oh orang-orang amat ramah, pada tersenyum. Kok mereka semua pada berpakaian putih ya. Mungkin di sini tidak ada warna. Putih itu mungin bukan warna. Tidak ada istilah warna di sini. Serba putih. 

Tiba-tiba nenek sudah di dalam ruang besar, juga putih sekelilingnya sampai ke atapnya. Indah, adem, banyak anak-anak bercengkerama tapi orangtua kok tidak ada sih.  Aku lapar dan haus eh tiba-tiba sudah ada minuman dan makanan di depan nenek. Rasanya enak, nenek belum pernah mekan seperti ini, sedangkan air minumnya sepertinya rasa susu. 

Aku  melayang ke luar ruangan dan berjalan di jalur amat bersih. Di satu taman, ada melihat banyak orang. Dari kejauhan aku seperti melihat suami dan anakku. Kupanggil-panggil tapi mereka tidak menoleh. Aku mendekati mereka, menyentuh tubuh mereka, tapi seperti meraba bayangan. Mereka tidak bisa melihat aku. 

Aku juga melihat banyak saudara dan tetanggaku di taman itu, entah apa yang mereka kerjakan tapi kayaknya tidak ada yang menyibukkan mereka, semua santai. Di taman ini baru aku melihat hijau dedaunan dan kembang aneka warna. Semua indah, subhanallah. 

Melayang lagi ke bagian lain bangunan yang banyak di tempat itu, aku terperanjat  alang kepalang, karena melihat seseorang mirip wajahku di salah satu kursi putih seperti batu pualam. Tapi aku tak bergerak, duduk mematung dengan mata terpejam. Kuraba tapi seperti memegang asap.  Ya Allah dimana kah aku? Apa yang terjadi denganku? Jangan-jangan aku sudah mati.   

Seperti ada yang menuntun, aku melayang lagi berputar-putarke beberapa tempat yang cukup indah, kemudian terbang lagi ke bagian lain yang hawanya mulai  panas. Semakin mendekat semakin panas. Aku duduk di batu yang melonjor ke bagian terpanas di kawasan itu, tapi aku tak terbakar. Aneh sekali perjalanan ini..entah kenapa aku punkali ini  tak ingin kencing. 

Masya Allah. Dari kejauhan aku melihat banyak orang yang lidahnya menjulur panjang, kemudian dipotong oleh seseorang. Lidah itu tumbuh lagi. Dipotong lagi.  Darah mengucur. Mirip dengan cerita guru ngaji ketika menjelaskan betapa hebatnya siksaan bagi orang yang suka berdusta. 

Aku melihat di antara mereka seseorang mirip Pandi dan Nitih, tetanggaku yang sudah meninggal dan memang suka menceritakan kisah buruk orang lain. Kelihatan wajah mereka memendam rasa amat perih..kasihan.  Aku tak tahan menyaksikan pemandangan ini dan aku. Aku berpaling. Aku ingin kencing. 

Kucing..kucing..bangun..eh aku mengucek mata dan merasakan kasur sudah basah.  Tak seorang pun bangun. Anak cucuku begitu nyenyak tidur. Entah mengapa aku selalu spontan memanggil mereka kucing. Guru ngaji mengatakan, bila seseorang akan dipanggilNya, maka ada yang ditunjukkan tempatnya di alam lain.Kalau tak salah, ulama menyebutnya maqom manusia.

 Apakah aku akan dipanggil Allah Yang Maha Kuasa dan Pencipta?  Ih, betapa enaknya ketika aku berada di tempat pertama. Mungkin itu surga dan lidah lidah berdarah itu pasti di neraka. 

Aku mendengar jejak langkah di luar rumah. Ada ketukan pada pntu. Ada langkah yang masuk ke dalam rumah. Ada suara yang berujar, “assalamu’alaikum warokhmatullah,apakah ibunda sudah siap?”.  Aku bergetar, entah  mengangguk atau menggeleng. Waktunya  sudah tiba, kata orang itu. Apakah ia orang atau bukan, aku tak tahu. 

Aku ingin menggerakkan badanku tapi tak bisa. Aku ingin berteriak-teriak memanggil anak dan cucuku, juga tak bisa. Lidahku kelu. Rasa ingin kencing menghilang.  Aku mau dibawa kemana? Ah ini panggilan yang tidak bisa ditolak. Biarlah.

 Selamat tinggal anak-anak dan semua cucuku. Selamat tinggal semua saudara dan handai tolan.

Tapi, apakah aku bisa melihat semua anak-anak dan cucuku?

“Aku menjalankan tugas ibu, tak bisa ditunda lagi.”

Tamu itu meletakkan kain hijau di sampingku, harum baunya. Duduklah di sini, kata tamu yang tinggi besar. 

Aku mengucap syahadat dan badanku enteng terangkat ke angkasa.  Aku bahagia sekali. Rasa ngeri itu hanya sesaat. Aku tak merasakan sakit.Tak lama kemudian kulihat anak-anak menangis di sisi jasadku. Aku ingin mengatakan..sudahlah..ini perjalanan paling enak yang tidak kurasakan di dunia.

Jangan menangis, sayangku. Banyak air mata mengalir,kubelai kepala mereka satu persatu, tapi mereka tidak merasakannya.

oOo

Usai subuh bertepatan pada Hari Maulid Nabi Muhammad pada 11 Desember 2016, terdengar pengumuman dari masjid:  Innalillahi Wainna Ilaihi Rojiun..Telah meninggal dunia Ibu…….

Aku terpana mendengar pengumuman itu. Ia sudah pulang. Nenek sudah tiba di stasiun terakhir dari perjalanan hidupnya.  Betapa bahagianya nenek. Selamat beristirahat panjang Nek.

oOo

Jakarta,  11 Desember 2016.

(pernah dimuat di MR 2019)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru