Betapa sering kita menyesal. Niatnya mengerjakan sesuatu, lupa, lalu tidak jadi. Begitu waktunya lewat, menyesal. Inginnya mencapai sesuatu, karena kurang persiapan, gagal, menyesal. Berangan-angan melakukan sesuatu, karena tidak diupayakan, tidak tercapai, menyesal.
Marilah kita tanya pada Harry Kane, Marcus Rashford, atau Southgate, pasti ada banyak sekali penyesalan setelah Inggris gagal di final Euro 2020. Kenapa saya gugup? Kenapa saya terburu-buru? Kenapa saya membuat keputusan begini dan bukan begitu? Seandainya saja… itulah yang akan terus menghantui mereka di hari-hari ke depan. Padahal mungkin merasa sudah melakukan persiapan sebaik-baiknya.
Ya, bersiap dengan baik, belum tentu berhasil. Apalagi tidak bersiap sama sekali.
Begitu pula hidup. Cobalah tengok ke belakang, betapa banyak keinginan atau cita-cita kita yang tidak tercapai karena kita tidak serius. Kenapa sih saya dulu begadang sehingga ketika ujian meja hijau skripsi jeblok dan hanya dapat nilai C. Kenapa sih saya malu untuk meminta maaf sehingga sampai sekarang silaturahmi saya dengan keluarga itu terputus?
Penyesalan banyak diungkapkan lewat lagu. Coba dengarkan “Untuk Sebuah Nama” Ebit G Ade tentang pemuda yang ragu dan tidak mengungkapkan cintanya sehingga gagal dan menghibur diri dengan kesimpulan “memang cinta bukan untuk bersatu”. Akhirnya malah “biar kucumbui bayangmu..” bukan orang sebenarnya, akibat dari ketidakberaniannya.
Kata orang, kesempatan hanya datang satu kali sehingga kita harus memanfaatkannya begitu kesempatan itu tiba. Apabila kita tidak siap, apabila kita tidak berani ambil keputusan, apabila tidak yakin, hilanglah peluang itu.
Kesempatan itu adalah waktu, yang tidak akan kembali. Sekali dia lewat, pergilah dia. Waktu itu berjalan lurus dan searah.
Ada yang bilang selama kita masih hidup dunia, masih akan kesempatan memperbaiki diri. Ya tentu ada benarnya ungkapan itu.
Inggris kalau lebih mempersiapkan diri dengan baik, membina pasukan sepakbolanya dengan pemain-pemain yang hebat dan kompetisi yang mendukung, bisa jadi akan menjadi juara Eropa. Tetapi siapa yang menjamin.
Gagal dengan gadis idaman, bisa jadi kemudian seorang pemuda mendapatkan seorang yang lebih cantik, berpendidikan tinggi, keluarganya kaya raya, dst, kalau dia meningkatkan juga nilai dirinya. Namun, siapa yang bisa memastikan itu bisa tercapai?
Tetap saja akan ada penyesalan.
***
Dalam pandemik Covid-19 ini kesiapan untuk menghadapi waktu harus kita tingkatkan, karena taruhannya sudah menyangkut kehidupan. Hari demi hari kita mendapat kabar kematian. Teman, kerabat, tetangga, selebritis, tokoh-tokoh, meninggal dunia. Tidak tahu kapan berhenti.
Mereka yang sudah dipanggil keharibaan Allah Swt ini, kalau bisa hidup barang sedetik, pasti akan menyampaikan ke kita, “Jangan ceroboh, Covid-19 itu mematikan.” Atau “Jaga diri, penularan bisa datang darimana saja.” Atau barangkali dia ikut berkampanye, “Taati protokol kesehatan, Virus Covid-19 itu benar ada. Tetapi mereka tidak bisa kembali hidup, walau sekejap. Semua yang dia lakukan sudah terjadi, sudah tercatat.
Ulama mengatakan, mereka yang sudah di alam barzah itu tidak ada yang tidak menyesal, begitu menengok lagi ke dunia. Yang beramal dan beribadah banyak menyesal, dia merasa masih kurang karena dia ingin setiap helaan nafasnya menjadi ibadah kepada Sang Pencipta. Tidak pernah berhenti setiap saat. Yang amal ibadanya sedikit lebih menyesal, mengapa dulu ada uang kok tidak menyisihkan ke orang miskin, tidak menyumbang ke panti asuhan yatim piatu, kok salatnya bolong-bolong, kok puasa tidak pernah genap, kok ke tetangga tidak pernah menyapa, dsb.
Yang tidak peduli dengan ibadah, yang malas beramal, yang lebih senang dengan gemerlap dunia, dan merasa dia akan hidup selamanya, amat sangat menyesal. Seandainya tahu bahwa ada kehidupan lain sesudah kematian, dia akan bersiap diri, akan menghambakan diri sepenuhnya kepada Sang Pencipta.
Sesal kemudian tiada berguna. Ya penghuni alam barzah ini masih bisa mendapatkan pahala dari dunia yakni, dari sedekah yang dia berikan, doa anaknya yang saleh, dan ilmu yang bermanfaat.
Tentu ketiga pahala ini kalau kita perhatikan, hanya akan diperoleh orang yang bersiap tadi. Dia siap untuk hidup di alam baka, sehingga rajin bersedekah, dia menyiapkan keturunannya menjadi orang-orang yang saleh dan salehah, dan dia menyumbangkan gagasan dan pikirannya secara positif sehingga memberi manfaat bagi khalayak. Orang-orang yang menata hidupnya dengan baik dan terencana.
Kita tidak tahu seberapa lama waktu akan kita miliki. Covid memberi hikmah bagi manusia bahwa kematian itu dekat. Kalau selama ini hanya kitab suci, tokoh-tokoh agama, yang menyuarakannya kini informasinya datang dari mana-mana dan setiap saat.
Kita harus melihat kematian sebagai tantangan untuk memandang Covid-19 sebagai hal nyata yang mesti dihadapi dengan serius. Menaati petunjuk yang sudah disampaikan ahlinya. Berpikir dan bertindak agar terhindar darinya. Dan memohon kepada Allah Swt agar diberi keselamatan jiwa dan raga. Walau tentu, apapun takdir itu semua tetap terpulang kepadaNya.
Dan oleh karena itu pula masuk akal, mulai kini kita seharusnya terpacu untuk beramal ibadah secara maksimal. Agar tidak menyesal.
***
Ciputat 13 Juli 2021