Saturday, July 27, 2024
Home > Berita > Habis Gelap Terbitlah Terang

Habis Gelap Terbitlah Terang

Habis Gelap Terbitlah Terang. (wikipedia)

MIMBAR-RAKYAT.com (Jakarta) – Kehidupan siapa pun, atau apa pun yang dialami seseorang, tidak akan gelap sepanjang masa, suatu saat pasti ada terangnya, ada sukanya, ada berhasilnya.

Falsafah kehidupan ini dirasakan Kartini, lahir di Jepara 21 April 1879 dan meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904, dan ia dikenal sebagai tokoh emansipasi wanita.

Pada Kamis 21 April 2016, namanya disebut-sebut di seantero Tanah Air dan gambarnya memenuhi berbagai media cetak dan daring (online).  Anak-anak sekolah dan di kantor-kantor pun diwarnai Kartini dengan hadirnya siswa dan pekerja mengenakan baju kebaya, atau berbagai ragam kostum adat Indonesia.

Kartini meninggalkan kenangan tak terlupakan bagi rakyat bangsa ini, lewat bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang, merupakan buku kumpulan surat-suratnya.

Nah, seperti dilansir wikipedia, Habis Gelap Terbitlah Terang merupakan buku kumpulan surat yang ditulis oleh Kartini. Kumpulan surat tersebut dibukukan oleh J.H. Abendanon dengan judul Door Duisternis Tot Licht

Setelah Kartini wafat, J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. 

Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda, dan buku yang diterbitan diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. 

Buku kumpulan surat Kartini itu diterbitkan pada 1911.  Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini. Kartini mendapatkan inspirasi dari kalimat kitab suci ‘mina dulumati ila nuur’.  

Pada 1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka, Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, tercatat sebagai salah seorang penerjemah surat-surat Kartini ke dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Ia pun juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara.

Pada 1938, buku Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam format yang berbeda dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku terjemahan Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda.   

Armijn Pane menyajikan surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian tersebut ia lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau perubahan sikap dan pemikiran Kartini selama berkorespondensi. 

Pada buku versi baru tersebut, Armijn Pane juga menciutkan jumlah surat Kartini. Hanya terdapat 87 surat Kartini dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang”. 

Penyebab tidak dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis Tot Licht, adalah terdapat kemiripan pada beberapa surat. 

Alasan lain adalah untuk menjaga jalan cerita agar menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane, surat-surat Kartini dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi salah satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam lima bab pembahasan.

Pada surat-surat Kartini tertulis pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi.

Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar.

Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (kemanusiaan) dan nasionalisme (cinta tanah air).

Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle “Stella” Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa.

Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.

Nah, sejak masa rentang waktu 1800-an hingga saat ini 2016, sudah sampai mana level emansipasi wanita? Adakah ukurannya?  Ada yang sudah jadi presiden, menteri negara, polisi, tentara, pedagang, profesor, kondektur, bahkan astronout dan berbagai pemangku jabatan lain.

Sesuai dengan falsafah kehidupan tadi yang seperti ban berjalan, – habis gelap terbitlah terang – maka suatu saat dalam hal apa pun, akan terjadi lah habis terang terbitlah gelap.  Entah itu dalam perekonomian publik, atau dalam peta politik, atau dalam hal apa pun, yang menyangkut kehidupan manusia. Wallahu’alambissawab.  (arl)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru