“Aku berhenti saja berdoa. Semua doa-doaku sepertinya tidak dijawab Tuhan. Aku sampai capek dan bosan. Percuma, tidak ada perubahan,” kata temannya ketika Hasan sedang ngopi di kantin belakang tempat kantornya berada.
Mereka beda perusahaan, tetapi berkantor di gedung yang sama. Maka keduanya suka bertemu kala makan siang, jadi saling kenal dan sering terlibat pembicaraan sampai hal-hal pribadi. Padahal dia tidak tahu apa dan bagaimana keluarga Sakti, termasuk tempat tinggalnya.
“Lho maksudmu bagaimana?”
“Istriku sakit, tidak sembuh-sembuh. Malah kemarin diperiksa dokter katanya penyakitnya bertambah parah. Uang habis karena BPJS saja tidak cukup. Kehidupan kami terganggu karena harus ada yang berkunjung setiap hari ke rumah sakit. Anak-anak jadi stress, karena bergantian menjaga ibunya,” lanjut Sakti.
“Padahal tiap malam aku salat tahajud, setiap pagi terus salat Dhuha. Aku juga terus membaca Al Quran. Berzikir. Kurang apalagi,” ujarnya nyerocos. Wajahnya terlihat keruh. Seperti orang tidak tahu harus berbuat apa.
Hasan berdiam, tarik nafas. Lalu dia memegang bahu Sakti.
“Ujian hanya datang kepada orang beriman yang kuat. Kalau tidak kuat tidak akan diberi cobaan. Ada ayatnya tuh di surat Al Baqarah. Tidak mungkin melebihi kemampuan seseorang,” katanya.
“Tapi aku sudah tidak kuat,” kata Sakti. “Sampai kapan begini nasibku.”
“Tuhan akan memberikan apa yang paling baik bagi orang yang berdoa. Sepantasnya, sesuai dengan kemampuan manusia itu.”
“Kadang orang meminta kekayaan, karena Tuhan sayang sama dia, tahu bahwa orang itu malah akan lalai, tidak lagi rajin beribadah kalau banyak uang, maka tidak semua permintaannya itu dikabulkan. Ibaratnya ada yang kuat punya Innova, minta Mercedes. Kita punya mau, tetapi Tuhan yang tahu batas kita. Kecuali Allah tidak sama kita. Dibiarkan kita terjerumus..”
“Tapi aku hanya ingin istriku sembuh, tidak berlebihan.”
“Menurut aku permintaan yang wajar. Tapi mungkin Tuhan memiliki rencana lebih baik buat keluargamu, buat kamu.”
Keduanya berdiam diri. Sakti mengisap rokok dalam-dalam. Hasan mencoba memikirkan apa yang disampaikan Sakti. Kalau hanya main akal, sepertinya apa yang kawannya itu hadapi menemui jalan buntu. Tetapi dia yakin sekali, rencana Tuhan adalah rencana terbaik.
“Mungkin akan berhenti berdoa. Tetapi aku tetap salat wajib dan sunnah. Agar aku tidak kecewa karena berharap berlebihan,” kata Sakti.
“Menurut aku kalau menurutmu itu yang bagus, nggak apa-apa. Sekalian refleksi diri. Melepaskan diri dari rutinitas, berpikir, merenung. Dan melihat dalam spektrum yang lebih luas,” kata Hasan. “Ibaratnya, coba kita seperti keluar dari bumi. Naik ke luar angkasa. Dan melihat dari atas sana, supaya terbuka semua kemungkinan pemikiran.”
“Aku kira juga iya. Selama ini aku memang terlalu fokus meminta. Padahal itu hak Allah,” kata Sakti. Ketegangan dan putus asa di wajahnya agak berkurang.
***
Dalam pengamatan Hasan, soal doa ini sangat banyak pendapat ahli agama. Di Istagram misalnya ada yang bilang, agar doa mudah terjawab, ucapkan kalimat ini itu. Misalnya doa Nabi Musa saat dia hampir putus asa, dikejar-kejar tantara Firaun, sementara di depannya adalah laut yang tidak mungkin diterabas. “Rabbi inni anzalta ilayya min khairin faqir.
Ada lagi yang bilang gunakan doa Nabi Nuh yang kecewa terhadap ummatnya yang tetap tidak percaya bahwa akan ada banjir besar yang melumat manusia. Atau doa Nabi Yunus yang akhirnya dikeluarkan dari perut ikan paus. “La ilaaha anta, subhaanaka inni kuntu minadh dholimiin”
“Doa itu seperti ibaran jalan lebar yang telah dibukakan para Nabi. Kita menggunakannya karena kalimat-kalimat yang jelas terbukti manjur,” kata seorang ulama.
Tetapi ada juga ulama mengatakan, kalau kita orang Indonesia, ucapkan saja doa dalam Bahasa Indonesia. Tuhan itu maha mengerti, tahu apa yang kita ucapkan. Bahkan apa yang kita pikirkan.
“Kalau ibadah, memang harus berbahasa Arab, sesuai yang tertulis Al Quran. Kalau doa, silakan pakai bahasa yang dikuasai,” katanya.
Tetapi sebenarnya Hasan sependapat bahwa doa itu adalah bentuk komunikasi seorang mahluk dengan penciptanya. Kalau sering berkomunikasi, merasa dekat, tentu saja hasilnya akan baik, dibanding orang yang jarang berkomunikasi. Kalau sudah dekat, menyapa dengan bahasa atau diksi yang akrab, tentu lebih intens juga komunikasinya. Dalam hal Allah, masuk akal juga kalau manusia berdoa dengan panggilan yang disukai Sang Pencipta, nama yang khusus, doanya akan lebih terperhatikan. Ketimbang diksi atau istilah umum, yang digunakan semua orang.
Kalau salat saja selalu terlambat, tidak menyegerakan diri, bagaimana berharap doa kita cepat dikabulkan? Kalau kita mengutamakan, mendahulukan kepentingan Allah, seperti salat, tentu Dia juga akan secepat mungkin menjawab permintaan kita.
“Soal ini aku tidak tahu bagaimana kondisi Sakti,” katanya dalam hati. Intensitas hubungan personal antara manusia dengan Sang Khalik, tentu hanya yang bersangkutan yang tahu. Apa sekadar menjalankan kewajiban, tanpa ketulusan atau keikhlasan hati, sekadar prosedur seperti sering terdengar istilah demokrasi prosedural, itu jelas akan memberikan hasil yang berbeda.
“Semoga semua doanya akan diijabah,” kata Hasan. *
***
Bertahun-tahun kemudian mereka bertemu lagi. Hasan sempat bertugas ke daerah, sebelum kemudian bekerja di kantor pusat. Kantin masih menjadi tempat reuni.
“Bagaimana kabarnya,” Hasan bertanya.
“Kabar baik. Semua terjadi begitu saja dalam tiga tahun terakhir. Alhamdulillah semua harus disyukuri apapun yang terjadi,” katanya.
“Alhamdulillah,” balas Hasan.
Sakti lalu bercerita panjang. Kira-kira 5 bulan setelah pertemuan mereka, istrinya meninggal dunia. Dia sangat sedih, kekecewaan terhadap Tuhan semakin mendalam. Dia merasa diperlakukan tidak adil. Terdzolimi. Dia marah dan terus tidak mau berdoa karena merasa sia-sia, Tuhan tidak menjawab doanya.
Dia tidak mau menikah pada awalnya. Ingin terus menduda. Memelihara dua anaknya dengan penuh kasih sayang agar kehilangan ibu tidak mempengaruhi secara psikis. Kehidupan seperti normal kembali. Stressnya berkurang. Dalam keadaan seperti itu dia melihat ke dalam dirinya sendiri.
“Aku berpikir, kalau istriku dulu sembuh dari penyakitnya, tetapi tetap seperti itu sehingga harus diperhatikan agar bertahan, suasana rumah tidak akan normal. Pekerjaanku akan susah karena separuh memikirkan istri yang sakit. Anak-anak akan tertekan karena harus memikirkan ibunya padahal sangat membutuhkan konsentrasi agar berhasl dalam belajar. Apakah suasana seperti itu ideal untuk sebuah keluara? Pasti tidak,” katanya bercerita.
“Ketika istriku wafat, aku marah, tetapi ternyata itu jalan terbaik bagiNya, tidak perlu lagi menanggung penderitaan. Kami pun dapat menjalankan peran masing-masing dengan normal. Lepas dari beban pikiran, perasaan, bahkan biaya kehidupan. Itu hikmah yang aku petik.”
“Di tahun ketiga aku berhenti marah. Menikmati takdirNya. Aku menilai apa yang aku dapat ternyata memang lebih baik. Dulu aku tidak faham dan menuduh Tuhan berbuat zalim, kini sadar bahwa rencana Tuhan itu jauh lebih baik.”
“Oh iya. Kebetulan kita bertemu. Ini di tasku ada undangan pernikahanku dua minggu lagi. Aku harap kau bisa datang dan mendoakan kami,” kata Sakti.
Hasan membuka undangan itu. Sederhana tapi terlihat dua wajah yang bergembira menjelang akan dan resepsi pernikahan, di sebuah gedung di pinggir kota.
“Insya Allah aku datang, “kata Hasan. Maha benar Allah dengan segala nikmatNya. *
***
Ciputat 11 Mei 2025