Thursday, March 28, 2024
Home > Cerita > Cerita Khas > Suka Duka Menulis Elon Musk Versi Ashlee Vance,  Catatan Widodo Asmowiyoto

Suka Duka Menulis Elon Musk Versi Ashlee Vance,  Catatan Widodo Asmowiyoto

Widodo Asmowiyoto. (mr)

Terus terang, buku tebal tetang sosok Elon Musk itu sudah lama terselip di antara deretan banyak buku di rumah. Banyak isu baru lebih aktual yang membuat saya nyaris jarang membuka lagi buku yang saya beli awal 2018 tersebut.

Tetapi tiba-tiba saya teringat lagi buku itu, setelah pertengahan Mei lalu banyak media nasional memberitakan pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Elon Musk di lokasi fasilitas produksi roket SpaceX di Boca Chica, Amerika Serikat.

Membaca lebih jauh isi buku tersebut tentu saja semakin relevan, karena menurut Menteri Investasi / Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, pemilik industri mobil Tesla, Elon Musk, pada November 2022 akan berkunjung ke Indonesia. Hal itu terkait dengan keinginan Musk untuk menanamkan modalnya di Indonesia. (KumparanBISNIS, 19/5/2022)

“Tesla Insyaallah akan masuk ke Indonesia. Dia akan masuk ke dua bagian investasi besar, yang pertama adalah tentang ekosistem baterai mobil, yang kedua adalah mobilnya,” ungkap Bahlil saat konferensi pers di Solo, Rabu (18/5/2022).

Jika rencana investasi dan kedatangan “super-konglomerat” ke Indonesia itu nanti menjadi kenyataan, maka masuk akal bilamana Elon Musk akan semakin akrab dan popular di sini. Masuk akal pula jika masyarakat pers nasional juga harus semakin tahu tentang profil orang terkaya di dunia itu. Majalah bisnis dan finansial AS, Forbes, mencatat Elon Musk kini merupakan orang terkaya di dunia dengan hartanya senilai USD 207,3 miliar atau sekitar Rp 3.041 triliun. Kekayaan Musk sebesar itu bersumber dari dua bisnis utama, yakni perusahaan mobil listrik Tesla dan perusahaan roket luar angkasa SpaceX. (Kompas.com, 23/5/2022)

Perjalanan sosok Elon Musk sejak kecil hingga sekarang, setidaknya hingga tahun 2017 telah tergambar secara rinci dalam isi buku yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tersebut.

Judul aslinya Elon Musk: Tesla, SpaceX, and the Quest fo a Fantastic Future karya Ashlee Vance, wartawan The New York Times. Buku yang diterjemahkan oleh Niken Fitria Aspriani setebal 441 halaman itu diterbitkan oleh Penerbit Kaifa PT Mizan Pustaka, Bandung. Judul buku dalam bahasa Indonesia menjadi Elon Musk Pria di Balik PayPal, TESLA, SPACEX, dan Masa Depan yang Fantastis; The New York Times Best Seller.

Suka duka Ashlee Vance

Sebagai wartawan saya –mungkin juga Anda—sangat tertarik dengan suka duka Ashlee Vance dalam menulis buku tentang sosok Elon Musk ini. Ternyata sangat tidak mudah untuk meyakinkan pria cerdas kelahiran Pretoria 28 Juni 1971 yang pada masa kecilnya menjadi kutu buku itu. Pretoria adalah sebuah kota yang   berada di bagian timur laut Afrika Selatan, hanya berjarak satu jam perjalanan dari Johannesberg.

Mengawali bukunya, Ashlee Vance menulis begini, “Musk mengajakku makan malam untuk satu negosiasi. Delapan belas bulan sebelumnya, aku memberitahukan rencanaku untuk menulis buku tentangnya dan saat itu juga dia mengatakan bahwa dia tidak mau bekerja sama.

Walaupun penolakan tersebut tersasa menyakitkan, hal itu justru mendorongku menjadi seorang wartawan yang tahan banting. Aku bertekad untuk tetap mengerjakan buku tersebut walaupun tanpa bantuan sang tokoh utama. Mantan pekerja di perusahaannnya, Tesla Motor dan SpaceX, pasti akan angkat bicara dan memberiku informasi. Selain itu, aku juga sudah mengenal banyak teman Musk. Setelah proses wawancara terhadap lebih dari 200 orang yang berlangsung selama berbulan-bulan, tiba-tiba aku kembali mendapatkan kabar dari Musk. Dia mengundangku ke rumahnya dan menyampaikan bahwa terdapat dua alternatif yang mungkin dilakukan, yakni dia akan mempersulit hidupku atau dia akan membantuku menyusun buku tentangnya. Dia mau bekerja sama dengan syarat dia dipebolehkan membaca buku yang telah kutulis sebelum dipublikasikan dan menambahkan catatan kaki jika diperlukan”.

“Dia tidak akan mengusik tulisanku, namun dia menuntutku untuk memberikannya kesempatan agar dia bisa memperbaiki bagian yang dianggapnya tidak akurat. Aku dapat memahami keinginannya tersebut. Musk menginginkan kontrol terhadap kisah hidupnya. Layaknya para ilmuwan, mentalnya akan menderita ketika menyaksikan kesalahan terhadap suatu fakta. Suatu kesalahan pada satu halaman cetak akan selamanya menggerogoti jiwanya. Walaupun aku dapat memahami sudut pandang dan posisi Musk, sayangnya, aku tidak dapat memenuhi keinginannya tersebut, baik untuk alasan profesional, alasan pribadi, maupun alasan praktis. Musk memiliki versi kebenarannya sendiri yang terkadang tidak sesuai dengan versi kebenaran yang dianut oleh orang-orang pada umumnya. Dia cenderung bertele-tele, bahkan ketika menjawab pertanyaan paling sederhana sekalipun. Bukan tidak mungkin jika keinginannya dikabulkan, dia akan menulis catatan kaki sepanjang 30 halaman. Namun, kami tetap sepakat untuk bertemu dan makan malam bersama sambil membicarakan masalah ini”.

“Butuh waktu beberapa saat untuk mengalihkan Musk dari perbincangan mengenai ‘akhir zaman yang suram karena kecerdasan buatan’ ke bahasan yang menjadi alasan utama pertemuan kami. Ketika kami mulai beralih ke bahasan utama, Musk mulai mengamati gerak-gerikku sembari menyelidiki maksud dan alasan mengapa aku menulis buku tentangnya. Sesungguhnya pertanyaan itulah yang aku tunggu sehingga aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Dengan andrenalin yang mulai mengalir dan tercampur dengan koktail di dalam tubuhku, aku mulai menyampaikan ‘ceramah empat puluh lima menit’ mengenai semua alasan mengapa Musk harus mengizinkanku untuk menggali hidupnya secara mendalam tanpa memperoleh kontrol yang dia inginkan sebelumnya. Namun, kusampaikan bahwa hal itu akan mengancam integritas jurnalistikku. Dan secara tidak terduga, Musk memotong pidatoku setelah beberapa menit dan hanya berkata, ‘Oke’.

Ternyata, Musk memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang pantang menyerah dan tetap melakukan usahanya walaupun telah mendapat kata tidak. Sebelumnya, lusinan jurnalis lain telah meminta Musk untuk bekerja sama dalam menulis buku tentangnya, namun hanya aku yang tetap nekad walaupun di awal telah ditolak oleh Musk, dan sepertinya dia menyukai tekadku tersebut”.

“Makan malam tersebut berakhir dengan percakapan yang cukup menyenangkan dan Musk pun mengabaikan diet rendah karbohidratnya. … Telah diputuskan bahwa Musk memberikan akses kepadaku terhadap seluruh eksekutif di perusahaannya, teman-temannya, dan keluarganya. Setidaknya dia akan menemuiku untuk makan malam sebulan sekali. Untuk pertama kalinya, Musk mengizinkan seorang wartawan melihat ke bagian terdalam dari dunianya”.

“Dua setengah jam setelah kami bertemu dan memulai makan malam, Musk meletakkan tangannya di meja, berdiri, dan kemudian berhenti sejenak. Dia menatap mataku dan menyampaikan pertanyaan yang luar biasa: ‘Apakah menurutmu aku gila?’ Momen yang aneh tersebut membuatku terdiam beberapa saat, namun simpul sarafku terangsang untuk berpikir apakah pertanyaan tersebut merupakan sebuah teka-teki, dan jika demikian bagaimana caranya agar aku bisa menjawabnya dengan cerdik. Setelah akhirnya aku menghabiskan banyak waktu bersama Musk, aku menyadari bahwa pertanyaan tersebut sebenarnya bukan ditujukan untukku, namun lebih ditujukan kepada diri Musk sendiri.

Musk berhenti sekali lagi dan menunjukkan keraguan apakah aku adalah orang yang bisa dipercaya, kemudian dia menatap mataku dan membuat keputusannya sendiri.

Beberapa detik kemudian, kami berjabat tangan dan Musk menjauh dengan mobil sedan –Tesla Model S— berwana merah.*** (Penulis adalah wartawan senior tinggal di Bandung)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru