Dia menapaki peron stasiun yang agak padat, mencari posisi paling baik nanti di dalam gerbong. Bukan waktu naiknya, tetapi supaya ketika sampai di Stasiun Tanah Abang, dia tidak perlu terlalu lama mencapai eskalator.
Harus agak taktis karena kalau kejauhan antrean akan panjang dan bisa memakan waktu 10 menit untuk sampai di lantai atas stasiun transit itu. Soalnya dia lalu harus turun lagi untuk kenaiki kereta jurusan lain.
Ini memang seni naik KRL. Oleh karena itu gerbong-gerbong tertentu akan penuh sesak dan gerbong lain agak longgar. Semua penumpang sudah menghitung kala naik. Taktik berbeda kalau turun di Stasiun Kebayoran, Palmerah, atau Tanah Abang. Sama seperti meletakkan sendal jika masuk masjid, disusun sedemikian rupa agar waktu pulang nanti mudah mencarinya dan siap dipakai tanpa perlu membalikkan badan.
Walau hampir pukul 10.00 masih banyak calon penumpang di stasiun. Dia heran juga, mereka itu sebenarnya pekerja apa, masuk kantor atau tempat kerjanya jam berapa. Puncak padatnya penumpang dulu biasa terjadi antara pukul 06.00 sampai 07.30, berikutnya pukul 07.30 sampai 08.30. Jam kerja normal orang kantoran. Kecuali di bulan Ramadhan yang setiap saat ramai ke Tanah Abang karena banyak orang membeli aneka pakaian dan asesoris untuk dijual kembali.
Dia segan bertanya, karena pekerjaan adalah urusan pribadi. Apalagi saat ini, lebih dari separuh penumpang udah sibuk. Ada yang main game. Ada yang memakai headset untuk mendengarkan musik atau apa saja dari ponselnya. Agak beda dengan pengalamannya naik kereta di Tokyo belasan tahun lalu, lelaki banyak yang baca buku menuju tempat kerja.
Sepanjang yang dia alami terkadang ada penumpang membaca, hanya terjadi kalau dia naik KRL trayek Manggarai-Bogor. Baik saat berdiri atau duduk. Mungkin karena di jurusan itu ada kampus Univesitas Indonesia, Universitas Pancasila, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Guna Darma, dll. Jadi penumpanya relative banyak mahasiswa atau dosen.
Sudah berapa lama dia naik KRL? Lama juga. Sejak berkantor di kawasan Palmerah, yang lebih efektif naik KRL ketimbang bawa kendaraan sendiri apalagi mobil karena macetnya ampun-ampunan. Dia masih ingat bagaimana kalau menunggu di stasiun di musim hujan, penumpang sering basah kuyup karena atap peron sangat terbatas. Mesti pakai payung, celana bisa ikut basah kalau hujan disertai angin.
Kini stasiun Palmerah menjadi salah satu yang termegah di Jakarta dan sekitarnya. Ada banyak kios makan, minum, tempat duduk menunggu di lantai atas yang cukup untuk puluhan orang. Bisa juga duduk merenung di mushola yang luas. Untuk spot foto juga bagus. Langit-langitnya yang tinggi melengkup membuat stasiun ini sering juga dijadikan tempat foto atau syuting. Memandang ke arah Utara atau ke Selatan, terbentang jalur kereta yang enak dipandang.
***
Rangkain kereta dari Serpong datang. Alhamudillah, ucapnya, ada banyak ruang di antara para penumpang yang berdiri. Agak beda kalau naik KRL rangkaian dari Rangkas Bitung, yang relative akan padat karena mengambil penumpang-penumpang mulai dari Maja, Tigaraksa, Tenjo, Parung Panjang, Cisauk, Serpong dst.
Di jalur ini memang ada rangkaian yang hanya sampai di tujuan tertentu. Terjauh ya Rangkas Bitung, kemudian ada yang ke Maja, ada yang Parung Panjang, ada yang dari Serpong. Kalau pagi, ada yang diberangkatkan dari Sudimara untuk menampung puluhann ribu penglaju yang bekerja di Jakarta. “Anak Kereta” pasti sudah tahu jam-jam yang membuat dia dapat terangkut di pagi hari. Karena di jam sibuk, hampir selalu overload, banyak yang tidak mampu menembus penumpang yang sudah berdesakan dalam gerbong.
Dia melihat ponsel, dia tahu ada pesan penting. Lalu dia membalas beberapa pesan yang ada.
“Ini sedang OTW menuju Tanah Abang,” tunggu sekitar setengah jam ya, ketiknya.
Dari Tanah Abang, tersedia angkutan umum yang murah. Ada Transjakarta jurusan Kampung Melayu, apabila dia ingin ke Cikini, Salemba. Ada jurusan Blok M apabila dia ingin ke Kawasan Jalan Thamrin atau Sudirman. Ada jurusan Senen. Ada jurusan Gondangdia. Atau kalau sekadar ke Jalan Kebon Sirih. Praktis dan murah. Hanya tentu harus bersabar karena ada jadwal keberangkatan dari Halte Tanah Abang.
Dia memuji transportasi umum di Jakarta yang relatif baik dan menjangkau ke banyak tempat. Dan jenisnya beragam. Selain KRL ada MRT, ada LRT, ada TransJakarta, dan JakLingko, semua dengan tarif terjangkau kantong rakyat. Tidak seperti dulu. Ketika menjalani pendidikan sekolah menengah di Kawasan Lapangan Banteng, dia harus berdesak-desakan naik Metro Mini yang rawan copet. Bis nya kecil dan tempat duduk terbatas. Atau kalau di ingin ke Kawasan Tanjung Priok atau Cililitan, Blok M, harus naik mikrolet dulu untuk mencapai jalurnya.
Hanya dalam waktu 23 menit KRL yang dia tumpangi sudah tiba di Tanah Abang. Seketika kereta berhenti, penumpang berhamburan menuju tangga jalan dan tangga statis. Dia lalu ke luar menuju Halte Transjakarta. Sudah ada bus yang menunggu. Dia tap kartu dan langsung masuk, sudah duduk di bangku yang empuk dan dingin. Jauh lebih nikmat dibandingkan udara di KRL yang agak panas karena terlalu banyak orang dalam gerbong.
“Ok jadi kita ketemu di kedai kopi sekitar Sabang saja ya. Paling 10 menit sampai kalau bus sudah berangkat. Nanti kita tinggal jalan kaki ke kantor,” katanya menghubungi teman yang tadi dia kirimi pesan.
Lalu dia melihat bayangannya di layar ponsel. Dia sudah melepas masker dan topi yang dia pakai di KRL untuk mengurangi polusi udara masuk ke paru-parunya, sekaligus untuk menyamarkan diri dari orang lain. Mestinya sih wajar. Tapi kadang dia malu juga kalau ditegur orang yang mengenali dia. Padahal di Swedia sana Perdana Menteri pun naik KRL. Di Belanda sana Perdana Menteri malah naik sepeda ke kantor. Maklumlah, Jakarta agak beda. Jabatan kadang dikaitkan langsung dengan fasilitas yang digunakan sehari-hari.
“Sudah berapa umurmu?,” katanya bertanya pada diri sendiri. “Entahlah. Umur itu relatif. Muda kalau sakit-sakitan dan menganggur, ya pasti tidak nyaman. Tua kalau masih aktif dan memiliki teman-teman baik, ya hidup terasa nikmati,” katanya menjawab dalam hati.
Dia lalu ingat cucunya yang dulu masih sering digendong-gendong,, tapi sekarang tingginya sudah hampir sama dengan dia. Padahal baru berusia 12 tahun. Dia melihat uban yang menghias kepalanya, dan keriput di lehernya. Semua masih seperti kemarin. Merasa masih muda dan bisa bergerak lincah kemana-mana. Sekarang untuk naik tangga saja, dia harus bergerak dengan agak pelahan khawatir kalau keseleo bila buru-buru. Sebab kata orang untuk orang yang berusia di atas 60 tahun, setiap gerak harus dilakukan terencana, ada ancang-ancangnya.
Di perasaan kita masih merasa seperti dulu. Mau naik gunung, malam dipikirkan, subuh langsung pergi ke terminal Cililitan menuju Bogor. Rindu bertemu teman SMA yang berada di Yogyakarta, tinggal siapkan ransel dan sorenya bergerak ke Stasiun Senen untuk naik kereta ekonomi.
Diri semakin menua. Teman-teman juga sudah berumur. Syukur kalau bisa bertemu dalam keadaan sehat. Ada yang sudah berpulang. Ada yang kini berjalan pincang. Ada yang rutin kontrol ke rumah sakit.
“Segar sekali wajahnya. Luar biasa,” katanya saat bertemu kawan kuliah di depan kedai kopi di kawasan Jalan Sabang itu.
“Ayo kita di dalam saja sambil menunggu Dharmawan dan Marno,” kata Teguh sambil menarik tangannya.
Dalam hati dia bersyukur. Masih bisa jumpa teman lama. Teman semasa di kampus. Sahabat saat bekerja. Berbincang apa saja melupakan dunia dan negara yang dibilang orang sedang tidak baik-baik saja.
Nikmat apalagi yang kau ingkari?
***
Ciputat, 1 Mei 2025.