Saturday, November 8, 2025
Home > Berita > Editorial: Tak Terima Anak ‘Ditegur’ Guru, Silakan Didik Sendiri

Editorial: Tak Terima Anak ‘Ditegur’ Guru, Silakan Didik Sendiri

Nanggalo

Kalimat yang menjadi judul editorial atau tajuk ini kini begitu populer. “Tidak Terima Anak Ditegur Guru, Silakan Didik Sendiri.” Ya, sejumlah pejabat, tokoh masyarakat, para ustadz, juga para pendidik menyuarakan kalimat tersebut. Para content creator pun menjadikan topik itu sebagai “barang dagangan” yang laris manis.

Peristiwa ditamparnya seorang siswa SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, Jumat 10 Oktober lalu,  oleh guru yang juga kepala sekolah bernama Dini Pitri, karena siswa itu kedapatan merokok di area sekolah ketika teman-temannya gotong royong membersihkan sekolah, menjadi pemicu muculnya kalimat agar orang tua murid mendidik putra/putrinya sendiri jika tidak menerima anaknya dijatuhi sanksi di sekolah.

Kepala sekolah bersangkutan sempat dikenakan sanksi, karena ibu si murid tidak menerima perlakuan tersebut dan melaporkannya kepada aparat. Gubernur Banten, Andra Soni, dikabarkan mengambil langkah, ketika memberi keterangan kepada wartawan, beliau menyatakan menonaktifkan sementara Kepala SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak itu. Keputusan itu akhirnya dibatalkan setelah kasus tersebut viral di media sosial.

Masalah terkait, akibat hubungan tidak harmonis antara guru dan murid, sebelumnya juga dialami Kepala Sekolah SMP Negeri 1 kota Prabumulih, Sumatera Selatan, Roni Ardiansyah, September 2025.  Dia diyatakan dicopot akibat menegur salah satu murid perempuan yang membawa mobil ke sekolah dan parkir tidak pada tempat semestinya.

Bapak si murid yang seorang pejabat tidak bisa menerima teguran itu, lalu menginstruksikan agar kepala sekolah dinonaktifkan. Namun setelah viral, keputusan itu dianulir. Dari kabar yang beredar, pejabat dimaksud adalah Wali Kota Prabumulih, Arlan. Satpam sekolah, Ageng, juga kembali bekerja, setelah sempat dinyatakan dipecat, karena menegur anak pejabat tersebut.

Kedua peristiwa penonaktifan guru akibat memberi sanksi atau menegur murid yang melanggar ketetuan di sekolah hanya contoh kecil betapa sulit dan berisikonya para guru menegakkan disiplin di sekolah. Guru tidak bisa lagi mencubit, memukul dengan mistar, melempar kapur atau penghapus kepada murid yang dianggap membuat ulah seperti zaman baheula, karena bisa dilaporkan orangtua murid ke kekepolisian, dengan alasan melanggar HAM. Pejabat setempat pun bisa menjatuhkan sanksi.

Khawatir terhadap risiko yang ada, tidak heran bila ada guru-guru yang cenderung tidak memperdulikan bila medapatkan ada muridnya melakukan hal-hal tidak wajar, seperti membuat keributan, berkelahi dengan teman, bahkan menantang guru itu sendiri. Latar belakang keluarga para murid itu juga sangat berpengaruh, misal anak seorang pejabat merasa harus mendapat keistimewaan di sekolah, harus dihargai murid-murid lain dan oleh para guru. Seorang anak kepala sekolah bahkan bisa berbuat sadis, membuli atau mengania teman sekolah yang tidak dia sukai.

Apa yang salah di sektor pendidikan di Indonesia? Peraturan, penghargaan atau sanksi terhadap para murid, juga kepada para guru harus jelas. Mana yang boleh dilakukan mana yang tidak, mulai dari teguran sampai pada pemecatan. Jika murid melakukan pelanggaran, harus jelas batas-batas sanksinya. Bolehkan seorang guru menampar, memukul, mecubit muridnya yang salah, atau tidak. Apakah tindakan fisik ditiadakan sama sekali? Lalu diganti dengan sanksi administrasi, seperti peringatan tertulis, denda, atau pemecatan. Atau mungkin perlu diterapkan pegiriman murid-murid nakal untuk dibina di barak militer. Di sana mereka mendapatkan pendidikan karakter hingga bela negara, seperti diterapkan Gubernur Jabar.

Ucapan Dini Pitria, kepala sekolah SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak yang diaktifkan kembali setelah sempat  dinonaktifkan, pantas menjadi salah satu renungan untuk memperbaiki peraturan di sekolah. “Apa yang saya tanamkan (adalah) untuk mencetak karakter. Karena tanpa karakter yang baik, tidak akan dihasilkan sesuatu yang baik,” ujarnya menjawab pertanyaan wartawan.

Ya, murid, juga guru harus diatur hak dan kewajiban mereka secara rinci. Tidak hanya sekadar megajar bagi guru, serta belajar bagi para murid. Yang tidak kalah pentingnya, pemerintah, dalam hal ini kementerian yang membawahinya, harus rajin menganalisa apakah mata pelajaran yang ada di kurikulum sudah pas atau masih perlu penyempurnaan. Apakah itu mata pelajaran wajib atau mata pelajaran pilihan.

Semisal, apakah mata pelajaran pendidikan agama dan budi pekerti tetap digabung, atau perlu dipisah kembali agar mata pelajaran budi pekerti benar-benar mampu membentuk murid-murid bersopan santun, dan pelajaran agama pun jadi lebih fokus. Budi pekerti memang perlu mendapat perhatian serius, karena dalam keseharian kerap kita temukan anak-anak usia sekolah bangga dengan panggilan tak semestinya, semisal dipanggil atau memananggil teman dengan nama-nama binatang. Mereka juga tak sungkan megucapkan kata-kata jorok saat beriringan menuju atau pulang sekolah, atau saat kumpul-kumpul.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru