Tunjukkan aku jalan ke Surga
Cerpen Djunaedi Tjunti Agus
“Susah bisa khusyuk. Baru takbiratul ihram mengikuti imam, terdengar teriakan anak-anak. Di luar, dengan suara kencang mereka silih beganti memanggil-manggil temannya, di depan rumah tak jauh dari masjid. Nah, baru satu rakaat, tiba-tiba seseorang yang masbuk melempar segepok kunci di latai tanpa karpet atau tanpa sajadah, sebelum dia memulai sholat. Itu yang terjadi hampir setiap waktu,” kata Razzaq mengeluhkan bagaimana perjuangan yang dia hadapi setiap sholat.
Razzaq, mengaku telah melakukan berbagai cara. Misal, coba menutup kuping dengan cara konsenetrasi penuh, tapi tak berhasil. Bahkan setiap mengikuti ragkaian sholat Jum’at dia kerap jengkel. Sejak awal, saat khotib melakukan khotbah Jum’at, saat sholat, dan pada akhir sholat anak-anak berisik, tertata-tawa, berlari-lari di dalam dan di luar masjid. Terakhir, ketika imam baru melakukan salam pertama, sebagian besar sudah kabur ngantri untuk mendapatkan pembagian makanan Jum’at barokah.
“Saya sudah lakukan saran kamu, pindah-pindah masjid. Eh kodisinya tak jauh berbeda. Ada memang yang tertib, DKMnya berhasil menertibkan keadaan, sehingga sholat terasa nyaman dan khusyuk. Tapi itu jauh dari rumah,” katanya pada saya.
Telah berkali-kali Razak, demikian dia kerap dipanggil, mengemukakan masalahnya ini. “Kadang saya ingin sholat di rumah saja. Tapi saya rugi, karena menurut hadis sholat di masjid itu bagi laki-laki nilainya 27 derajat lebih baik dibanding sholat di rumah. Kan sayang,” katanya.
Seorang ustadz yang kerap mengisi kajian di masjid lingkungan kami meyarankan pada dia agar memusatkan hati dan pikiran sebelum takbir.
“Upayakan menutup telinga, fokuskan hati dan pikiran utuk sholat, menghadap Tuhan,” kata Ustadz Abdullah.
Razak coba melakukan itu. Tapi akhirnya gagal juga. Itu kerap akibat anak-anak yang berteriak-teriak di luar masjid itu dan masuk ke masjid dengan pura-pura berlari, menghentak-hentakkan kaki, kemudian bicara apa saja, berbisik saat menggelar sajadah, ketika sholat sudah memasuki rakaat kedua atau ketiga.
Di masjid dekat rumah itu, seseorang yang membawa segepok kunci tersebut selalu masbuk. Tidak perah sholat sunnah; tahiyatul masjid, rawatib (qobliyah atau badiyah). Dia kerap datang pada rakat kedua setelah sholat dimulai. Lempar segepok kunci, sholat, lalu pulang. Tak pernah bertugur sapa dengan jamaah lain. Selalu begitu.
“Seharusnya dia kan bisa mengantongi kunci-kunci itu. Atau menaruhnya digulunggan sarungnya, di bagian pinggangnya. Bukan melempar begitu saja. Apalagi masjid tidak pakai karpet,” kata Razak.
Tak mudah memang untuk bisa khusyuk. Itu dialami hampir oleh semua orang saat sholat berjamaah, seperti dialami Razak. Terlebih saat sholat magrib, isya, dan subuh, seorang tua selalu berteriak amat keras saat mengucapkan amin, hingga cukup mengagetkan. Teriakkannya melebihi teriakan anak-anak.
Gangguan telah terjadi sejak jamaah hendak masuk masjid. Dua remaja atau lebih yang telah datang duluan bukannya langsung masjid dan melakukan sholat sunnah, tetapi malah ngobrol di teras masjid atau dekat tempat wudu dengan suara cukup keras. Percakapan, tertawanya kedengaran sampai ke dalam, hingga mengganggu yang sholat sunnah.
Sulit bagi Razak untuk konsentrasi penuh, khusyuk. Bahkan ketika sholat sunnah rawatib qobliyah, dia pernah memutuskan menghentikan sholatnya karena terganggu oleh suara seorang tua yang berdoa atau bersalawat dengan suara keras.
“Mungkin iman saya masih lemah. Pertahananan saya lemah, hingga mudah terganggu,” katanya.
“Keyakinan saya sepertinya belum bulat, baru setengah hati, meski telah diikrarkan dengan lidah. Padahal saya sudah berusaha keras melakukan pengamalan dengan sepenuh kemampuan,” katanya.
Saran Ustadz Abdullah juga dia lakukan. Pindah-pindah masjid untuk sholat berjamaah. Cara itu sedikit menolong, karena bila sholat di masjid lain dalam pikiran tak ada lagi teriakan anak-anak, juga tak lagi mucul dalam pikiran tentang kehadiran jamaah masbuk yang kemudian mejatuhkan serentengan kunci sebelum memulai sholat.
Suara musik pengiring odel-ondel, suara pedagang keliling yang berteriak kencang saat melintas di sekitar masjid tak begitu mengganggu Razak, karena itu tidak rutin terjadi. Dia bisa lumayan kosentrasi.
***
Entah ke mana Razak, sudah lebih dua pekan ini dia tak muncul di masjid lingkungan. Saya juga coba sholat beberapa kali di masjid yang agak jauh dari rumah, tempat yang kerap kami datangi pula, namun dia juga tak di sana. Saya datang ke rumahnya, namun tak ada yang keluar saat saya beberapa kali meneriakkan salam.
Razak bagai di telan bumi. Kata tetangganya, Razak dan istri pergi. Tapi nggak tahu ke mana. Rumahnya dituggui salah seorang anaknya, namun jarang di rumah karena sibuk kerja.
Tak ada yang tahu Razak di mana. Sampai dia muncul kembali di masjid kami, setelah tiga bulan lebih menghilang. Penampilannya berubah seratus delapan puluh derajat. Dia tak lagi pakai sarung dan kemeja lengan pedek setiap ke masjid, tapi selalu dengan celana sirwal atau yang populer dengan sebutan celana cingkrang dibalut gamis atau baju koko yang dalam. Sesuai arti namanya dalam Islam, Razzaq yang berarti Hamba Allah yang setia, dia memang setia terhadap Allah. Selain taat beribadah, Razak meski sudah berusia di atas 50 tahun juga terlihat masih tampan, dan semakin baik.
“Saya coba berguru, kepada salah seorang ustadz di kampung kami, sambil melepas rindu di kampung halaman yang telah lama saya tinggalkan. Udara segar yang masih asri. Selain alamnya masih idah, sedap dipandang, udaranya pun masih segar. Apa lagi di pagi hari. Dingiiin, meski tanpa ac,” kata Razak.
Kawan kami ini jauh berubah setelah menghilang. Tidak hanya dalam berbapakain, tutur katanya pun menyejukkan. Dia tak segan-segan mengingatkan kami, jika pembicaraan mengarah ke berghibah, seperti kerap dilakukan sebelumnya, terkait bannyak hal. Soal DKM masjid, soal jamaah, lingkungan, dan banyak lainnya.
“Ghibah membakar pahala kita. Dipindahkan kepada orang yang kita ghibahi. Bahkan kita bak memakan bangkai orang yang kita ghibahi,” katanya.
Peringatan Razak kami tangapi dengan senang hati. Apa lagi nasehat itu disampaikan saat sarapan pagi di teras masjid, dengan sugguhan pesanan Razak di sebuah warung.
Sejak pulang kampung kawan kami ini benar-benar berubah. Bicara, tingkah laku, suka membantu, selain masih tampan. Tak heran jika ada ibu-ibu bertanya, apakah Razak masih punya istri atau duda?
***
“Tunjukkan aku jalan ke surga,” itu yang dikatakan Razak kepada Ustazd Abdad.
Ustadz Abdad yang dikenal Razak semasa kecil, di sebuah kampung di dekat Pasar Desa, di kampung halamannya itu, sesuai arti namanya, memang tekun beribadah. Dia banyak mendidik santri-santri muda yang akhirnya sukses dalam perjalanan hidup, termasuk Razak.
Itulah alasan Razak kenapa dia harus berguru lagi kepada Ustadz Abdad, ketika dia mengalami kesulitan khusyuk dalam sholat.
“Bersihkan dirimu, bersihkan hatimu, bersihkan otakmu.”
Itu perkataan tegas yang langsung ke luar dari mulut ustadz. Razak nggak kaget, karena Ustadz Abdad selain taat beribadah, jujur, dia selalu bicara tegas. Langsung pada masalah.
“Apa saja yang kamu lakukan sepanjang hidup mu. Dosa apa yang telah engkau perbuat. Siapa yang telah kamu sakiti. Bersihkan semua. Minta ampunlah kepala Allah, bertaubat. Minta maaf kepada oran-orang yanng pernah kamu sakiti.”
Razak tercenung. Pikirannya mengelana ke mana-mana.
“Saya akan sholat berjamaah bersama ustadz setiap waktu, selama saya berada di kampung,” katanya tiba-tiba.
“Kapan saja kamu sempat. Insya Allah saya selalu berada di masjid ini,” kata ustadz.
***
Banyak yang muncul dalam pikiran Razak, begitu dia kembali ke rumah peninggalan orang tuanya usai sholat subuh tadi.
Yang paling sering melintas adalah soal perceraian dengan istri keduanya. Dia merasa bersalah besar, telah memutuskan hubungan perkawinan dengan istrinya itu, karna desakan istri pertama. Padahal istri keduanya tidak salah apa-apa.
Razak melepaskan istri keduanya dengan berat hati, setelah medengar kajian bahwa laki-laki yang tidak bisa berbuat adil kepada istri-istrinya, di akhirat, di Padang Mahsyar, akan berjalan miring. Dia yakin itu akan menimpa dirinya, karena dengan kodisi yang ada, dia tidak bisa adil terhadap kedua istrinya.
Dia masih merasa bersalah. Tapi bagaimana cara mengatakannya kepada mantan istri keduanya itu. Dan apa perlu? Namun dia tetap berharap, mantan istri keduanya memaafkannya.
Banyak hal lain yang mucul silih berganti. Dari soal meminjam uang ke bank, utuk membeli rumah, mobil, sepeda motor, dan lainnnya lewat kredit bank. Selain masalah riba, juga soal hubungan bermasyarakat, yang kadang meyakiti orang lain. Belum lagi soal judi, meski hanya kecil-kecilan, yang kerap dia lakukan ketika muda, juga soal perempuan yang tersakiti karena janji-janji kosong.
***
Dari pekan ke pekan jumlah teman-teman Razak yang megikuti langkahnya, mengadiri pengajian di berbagai masjid, makin banyak. Jika sebelumnya hanya saya yang menjadi penumpang tetap di mobilnya, saat ini mobilnya sudah penuh sesak. Bahkan ada satu mobil teman lain yang membawa teman-teman setiap kami pergi menghadiri ceramah agama.
Seperti pengakuan Razak, saya juga merasakan, dari hari ke hari ilmu agama yang dimiliki terasa kurang. Malu rasanya mengaku sebagai orang Islam, sementara cara sholat dan apa yang dibaca dalam sholatnya tidak tahu, tidak mengerti.
“Kita tak perlu megaku-ngaku ahlu sunnah wal jama’ah. Yang penting mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi. Kita harus tahu cara beribadah, tahu halal, haram. Kita beriman kepada Al-Qur-an,” kata Razak.
Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam melalui malaikat Jibril sebagai petunjuk bagi umat manusia. Hadis adalah segala perkataan atau sabda, perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam yang dijadikan landasan syariat Islam.
Razak akhir-akir ini semakin lancar dalam menjelaskan beberapa hal terkait agama. Dia juga kerap terlihat khusyuk dalam berdoa.
“Saya ingin termasuk dalam satu-satunya kelompok yang selamat dari 73 kelompok yang ada dalam Islam. Mudah-mudahan Allah menunjukkan jalan yang benar,” katanya.
Kami memang baru saja menghadiri ceramah yang mengupas banyaknya kelompok dalam Islam. Macam-macam, namun hanya satu yang benar.
“Saya ini belum ada apa-apanya. Mudah-mudahan Allah membukakan jalan, jalan menuju kebenaran.”
Selain rutin menghadiri kajian agama Islam, saya kerap diajak Razak menemui famili, teman, serta orang-orang yang pernah akrab dengannya.
“Ziarah itu peting. Maksud saya mengunjungi orang-orang yang pernah kita kenal itu peting. Selain menyambung hubungan, kesempatan itu bisa kita manfaatkan untuk minta maaf. Mana tahu kita punya salah,” katanya.
Razak merupakan sahabat yang patas jadi panutan.
“Ampuni hamba ya Allah,” Razak kerap melafalkan itu, di manapun dia berada. Di jalan-jalan, di rumah, di masjid, atau lagi sendiri.
“Tujukkan hamba jalan ke surga, ya Allah,” bisiknya.***
@September 2021