Thursday, April 18, 2024
Home > Berita > Pengamat: Dulu Perempuan di Belakang, Kini di Garis Depan Lakukan Aksi Terorisme

Pengamat: Dulu Perempuan di Belakang, Kini di Garis Depan Lakukan Aksi Terorisme

Karopenmas Polri tunjukkan kerusakan di lokasi ledakan bom Sibolga. (ist)

MIMBAR-RAKYAT.Com (Jakarta) – Husain alias Abu Hamzah terduga teroris di Sibolga, Sumatera Utara ditangkap hidup-hidup oleh Densus 88 Mabes Polri pada penggerebekan, Selasa (12/3) lalu.

Ironisnya, dalam upaya penggeledahan di rumahnya, sang istri tak mau menyerahkan diri. Malah, bersama kedua anaknya memutuskan untuk meledakkan diri.

Abu Hamzah mengakui, apabila istrinya tersebut lebih ekstrem terpapar paham radikalisme ISIS. Sehingga tak mau menyerah dan pilih meledakkan diri bersama kedua anaknya di rumah sebelum polisi berhasil meringkus.

Padahal, Densus 88 maupun Polda Sumut bekerjasama dengan seluruh tokoh masyarakat yang ada di Sibolga sudah melakukan pendekatan persuasif kepada istri Hus alias AH. Negosiasi sudah berlangsung kurang lebih 10 jam.

Pakar terorisme dari UIN Jakarta, Zaki Mubarok melihat, ideologi radikal yang dimiliki perempuan bukan hal baru. Bahkan di Indonesia, sudah sering ditemukan seorang perempuan nekat melakukan aksi teror.

Dia menjelaskan, dalam 3 tahun terakhir banyak perempuan yang terlibat dalam gerakan jihadis. Pada 2016 misalnya, Dian Yulia Novi, juga merencanakan bom bunuh diri di Istana Negara. Tapi berhasil digagalkan.

“Tahun lalu, istri Dian Aprianto dan anak-anaknya juga terlibat dalam aksi bom bunuh diri di gereja di Surabaya,” jelas Zaki saat dihubungi merdeka.com, Kamis (14/3).

Zaki melanjutkan, sejumlah perempuan juga tercatat berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan Daulah Islamiyah ISIS. Jadi memang, menurut dia, telah terjadi proses radikalisasi yang menyasar perempuan.

“Bila duluanya mereka ada di garis belakang, saat ini perempuan-perempuan sudah ada di garis depan dalam melakukan aksi-aksi teror. Istri Abu Hamzah hanya salah satu contoh saja, masih banyak yang lain,” tutur Zaki.

Dia menduga, jumlahnya sampai ratusan para perempuan yang siap melakukan aksi teror. Sebab, dia melihat, doktrin tentang kewajiban jihad sebagai fardhu ain masih hidup di Indonesia. Maka potensi-potensi kekerasan oleh perempuan-perempuan jihadis ini juga masih menjadi ancaman.

Zaki menambahkan, kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan JAD ini mencontoh praktik jihad ISIS yang mulai banyak melibatkan perempuan dan anak-anak untuk melakulan bom bunuh diri saat mereka dalam posisi terdesak.

Dia mengungkap, pasca bom Surabaya tahun lalu, hampir sekitar 300 pendukung JAD, pendukung ISIS, yang telah ditangkap. Dari sini, potensi meluasnya paham radikal menyasar para perempuan di Indonesia.

“Mereka kan punya istri atau anggota keluarga yang perempuan yang seideologi dengan suami atau saudara mereka yang mendukung ISIS. Hanya saja saat ini sebagian mereka tampil di garis depan,” jelas Zaki.

Pemerintah Kalah Langkah

Pemerintah, diminta memperluas pengawasan kepada anggota-anggota keluarga termasuk istri pelaku teror. Karena mungkin saja jaringan jihadis terus berjalan melalui istri atau anggota keluarga lainnya setelah suaminya tertangkap atau dipenjara.

Dia melihat selama ini, deradikalisasi yang dilakukan oleh pemerintah hanya sebatas pelaku teror saja, belum mencakup keluarga para pelaku. Terlebih, ada jihadis yang ogah ikut program deradikalisasi. Ditambah, strategi pada jihadis dalam memperluas jaringan membuat pemerintah ketinggalan langkah.

“Insentif-insentif ekonomi dan sosial bagi keluarga teroris, supaya mereka mampu memutus jaringan, nyaris tidak berjalan. Sebaliknya, sejumlah kelompok teror justru memberikan santunan-santunan kepada para janda teroris dan keluarga yang bapaknya di penjara atau ditangkap supaya tetap bersama gerakan jihadis. Sebagian berasal dana fa’i (rampokan). Mereka juga aktif membina jaringan melalui anggota keluarga terdekat. Pemerintah kalah langkah. Jadi ini sangat ironis,” kata Zaki lagi.

Solusinya, Zaki melihat, pemerintah harus serius menjalankan program deradikalisasi sampai pada tahap pemenuhan kebutuhan ekonomi para keluarga teroris. Juga pemahaman tentang agama kepada para keluarga penting dilakukan.

“Ya itu dengan insentif ekonomi, sosial, pendidikan yang melibatkan keluarga teroris. Selain juga dengan pendekatan-pendekatan konvensional yang sudah berjalan. Reorientasi pemahaman Islam. Jadi pendekatan harus bersifat holistik. Perlu strategi dan planning yang lebih matang, termasuk pemetaan-pemetaan mereka pada level radikal seperti apa, sehingga pendekatannya juga bervariasi,” tutup dia. (M/d)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru