(Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.– Batavia 28 Oktober 1928)
(No Standing Any Time).
“Pusing!”
Itulah barangkali tanggapan banyak orang Indonesia ketika harus bergelut setelah usia agak lanjut dengan bahasa Inggris, termasuk yang digunakan di Australia.
“Malas ah!” adalah reaksi lainnya. Maksudnya malas mempelajari bahasa Inggris.
Karenanya lebih baik keluar uang sedikit, pasang parabola, dan 24/7 nonton televisi Indonesia. Banyak sinetron, banyak acara hura-hura yang membuat orang lupa akan segala cobaan atau beban kehidupan.
Namun ini bukan berarti bahwa bahasa Indonesia mereka lantas menjadi tambah baik.
Bagaimana bisa bertambah baik kalau yang didengar setiap hari adalah “destinasi pengunjung (apa salahnya dengan kata tujuan?); warning kepada pemerintah (ke mana kata peringatan?)…” “Jangan pernah…” bukankah seharusnya “Jangan sekali-kali..”, “Hak prerogatif …” “bukankah prerogatif sudah memadai kalau memang tidak ingin menggunakan kata hak, atau silahkan menggunakan ungkapan ‘hak khusus, hak istimewa.
Dalam bahasa aslinya “prerogative” digunakan secara tunggal (sendirian tanpa disandingkan dengan kata hak). Oh, bagaimana dengan pemberitaan ini: “Kaum buruh menuntut remunerasi yang lebih layak…” Apa yang salah dengan kata upah yang sudah lebih dahulu mengakar di Indonesia. Coba camkan nyanyian untuk menidurkan anak di kalangan masyarakat Melayu/Indonesia ini:
Pok amai amai
Belalang kupu-kupu
Tepuk biar ramai
Nanti malam UPAH susu
Susu lemak manis
Santan kelapa muda
Anak jangan nangis
Nanti UPAH tanduk kuda.
(Ataukah “Nanti remunerasi tanduk kuda?”)
Dalam kaitan lagu di atas kata upah punya makna tersirat sebagai suatu balas jasa. Namun apa hendak dikata, kaum buruh harus mendapat remunerasi yang layak, mungkin karena upah sudah dianggap tidak lagi memadai, atau telah usang dan ketinggalan zaman.
“Pokoknya gue ngerti apa maksud lu!” Itu yang penting, saling memahami.
Pada hal ketika masih kecil, bukan saja ketika di sekolah, melainkan juga di rumah pun, kami diajari bahwa “ di mana bumi dipijak disitu langit dijunjung.”
Macam-macam peribahasa Indonesia yang telah diciptakan oleh para pendahulu kita sebagai petuah atau nasihat bagaimana agar kita pandai-pandai membawa diri terutama di kampung atau di rantau orang.
Sebab bisa-bisa nanti orang asing salah sangka bahwa kita merupakan cerminan dari semua kaum kita. Artinya kalau kita bikin salah – biar pun karena tidak tahu (ignorance of the law is no excuse for breaking it – ketidaktahuan tentang hukum tidak dapat dijadikan dalih untuk melanggarnya)) – maka orang akan menyangka kesalahan itu memang merupakan bagian melekat dari kaum kita.
Makanya dianjurkan “masuk kandang kambing mengembik, masuk kandang ayam berkokok.” Jangan sebaliknya. Agar jangan sampai “rusak susu sebelanga karena nila setitik.” Artinya kita memberikan anggapan yang keliru kepada orang lain bukan saja tentang diri kita melainkan juga kaum kita.
Misal saja bersendawa di depan umum, atau di depan orang lain. Sangat dipantangkan di Australia; meludah seenaknya, meski ketika berpuasa, juga sangat ditentang di Australia karena dianggap kotor dan dapat menyebarkan penyakit; makan dengan mengeluarkan bunyi/suara yang menghebohkan karena kedua bibir tidak ditutup, kurang disukai di Australia.
Akan halnya bersendawa, dalam buku riwayat hidup “Tengku Amir Hamzah” penulis NH Dini mengatakan, keluarga Sultan Langkat (Sumatera Timur / Utara) suka menjamu para tamu dari Timur Tengah, terutama Mesir.
Biasanya para tamu selesai makan suka bersendawa secara keras agar terdengar oleh mereka yang di dapur, yang akan merasa bangga karena masakan mereka sakin lezatnya telah disantap sabanyak mungkin oleh para tamu istimewa itu hingga mereka, mungkin sakin kekenyagannya, bersendawa dengan keras.
Di Australia kalau terlanjur bersendawa harus segera minta ma’af. Suatu kali Rasulullah (saw) ketika memberi “tausiyah” dalam suatu majeleis bersama sejumlah sahabat, tiba-tiba mendengar ada seseorang bersendawa dengan keras.
Rasul (saw) langsung berhenti, dan berpaling ke arah sumber bunyi sendawa tersebut dan langsung memberi tausiyah: “Jangan isi perut engkau hingga penuh dengan makanan!” (Sepertiga makanan, sepertiga minuman dan sepertiga udara). Gejala wabah obeisitas belakangan ini juga adalah gegara makan yang berlebihan.
Bagaimana pun harus diakui bahasa Inggeris memang sulit, rumit, pelik, berbelit-belit, tidak menentu seakan tidak punya aturan yang baku atau punya pola yang masuk akal. Yang ingin menggelutinya memang harus berjuang mati-matian, termasuk penulis sendiri yang boleh dibilang saban hari menemukan sesuatu yang baru mengenai bahasa ini.
Bagaimana bahasa ini berhasil menjadi “bahasa Umat Manusia” merupakan teka-teki yang sangat memukau. Satu dari tiap-tiap empat orang di bumi ini bisa berbahasa Iggeris.
Itulah makanya ketika banyak mahasiswa dari Indonesia mendapat bea siswa Rencana Colombo pada 1950-an dan 1960-an, beredar lelucon tentang sejumlah mahasiswa kita yang baru tiba di Melbourne.
Ketika menunggu bus di pinggir jalan, semuanya duduk di bibir kaki lima, karena di halte bus itu ada maklumat “No standing any time” yang secara harfiah artinya memang dilarang berdiri kapan pun, meski makna sesungguhnya adalah “kendaraan bermotor lain (kecuali bus resmi) tidak boleh berhenti hatta sesaat pun di tempat itu.”
Jadi kita maklum saja ketika ada orang Indonesia yang tersinggung berat sewaktu bertanya kepada tuan rumah orang Australia yang akan menjamunya apakah “Shall I open my shoes?”, mendengar jawaban “Oh don’t bother to take off your shoes.”
Kalau kepanasan “Can I open my shirt?” dijawab “Sure, you may take off your shirt”, kalau sekadar hendak buka kancing baju “Can I open my buttons?” dijawab “Sure you can unbutton your shirt”. Kalau kehausan bertanya “Can I open the tap?” dijawab “Sure you can turn on the tap”; kalau lagi suntuk ingin curhat lalu bertanya “Can I open-open (buka-bukaan) with you?” dijawab “Sure you can cry on my shoulder”; kalau akan buka puasa “Can I open my fast at your house?” dijawab “Sure you can break your fast at my house”.
Ini baru sebagian kecil dari “kegilaan” bahasa Inggeris. Jadi tidak terlalu mengherankan kalau banyak orang asing (termasuk warga Indonesia) yang “malas ah” belajar bahasa Inggeris.
Nonton TV Indonesia
Pokoknya asal bisa dipahami dan memahami sudah cukup, selebihnya nonton televisi Indonesia saja, supaya kalau lagi “ngerumpi” dengan temen-temen (bukan teman-teman) tidak merasa ketinggalan kereta api dalam soal-soal selebritas ini dan itu yang sedang bergelut dengan masalah dahsyat ini dan itu.
Lagi pula sekarang ini (jaman NOW?) kita perlu mengikuti perkembangan di Tanah Air karena kita memang sudah memasuki Tahun Politik, seperti Pilkada.
Kita sebagai para calon pemilih perlu mendapat siraman penjelasan , semoga yang obyektif dan membangun, agar dapat menentukan siapa yang akan dicoblos. Dalam hal ini hanya media di Indonesia – yang semoga berpegang pada asas “memberitakan tanpa rasa takut dan pilih kasih” – yang dapat memberikan wawasan yang seluas-luasnya bagi kita agar kita dapat dengan arif dan bijaksana menentukan pilihan. Wallahu a’lam.#
NB: Menteri Luar Negeri Malaysia mengarahkan kepada semua duta besar maupun diplomat Malaysiadi di dalam dan luar negeri agar senantiasa memulai pidato / ceramah / sambutan mereka dengan “Salam Sejahtera” dan mengakhirinya dengan “Terima Kasih” demi menggalakkan penggunaan “Bahasa Kebangsaan”. (Nuim Khaiyath, mantan penyiar RadioBBC Inggris dan ABC Australia, bermukim di Melbourne, Australia)