Friday, March 29, 2024
Home > Berita > Radikalisme dan Terorisme Berawal dari Kekecewaan dan Ketidakadilan

Radikalisme dan Terorisme Berawal dari Kekecewaan dan Ketidakadilan

Mendagri Tjahjo Kumolo dan Kepala BNPT Komjen Pol. Suhardi Alius . (Foto: Humas Kemendagri)

Mendagri Tjahjo Kumolo dan Kepala BNPT Komjen Pol. Suhardi Alius . (Foto: Humas Kemendagri)

Mimbar-Rakyat.com (Jakarta) – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo, menegaskan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mendukung penuh upaya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam mencegah terorisme dan aksi radikalisme di seluruh wilayah Indonesia.

“Salah satunya, dengan pemanfaatan data kependudukan KTP elektronik (KTP-el) berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) tunggal,” . kata Tjahjo usai penandatanganan nota kesepahaman Penanggulangan Terorisme antara Kemendagri dengan BNPT di Hotel Aryaduta, Jakarta, Senin (12/3/2018), seperti dilaporkan website Kemendagri, www.kemendagri.go.id.

“Sebagai negara yang besar, tantangan yang dihadapi negara ini tidak hanya hal-hal yang berkaitan dengan area rawan bencana. Ada masalah yang berkaitan dengan radikalisme dan terorisme. Hal inilah yang jadi concern Bapak Presiden dan sudah ditelaah, dipetakan, serta dijabarkan BNPT,” kata Mendagri.

Salah satu bentuk dukungan yang diberikan Kemendagri kepada BNPT, kata Tjahjo,  memberikan data dan informasi terkait pengawasan perbatasan negara. Selain itu, melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), Kemendagri akan memberikan data dan informasi kependudukan yang membantu BNPT dalam pengawasan intelijen dan penanganan terorisme sesuai peraturan yang berlaku. Saat ini, katanya lagi, terdapat 262 juta lebih warga yang wajib melakukan perekaman KTP- el. Di mana 160 juta lebih diantaranya sudah memiliki KTP-el.

Kepala BNPT Komjen Pol. Suhardi Alius mengatakan, masalah keamanan dalam negeri terkait pencegahan dan penanggulangan terorisme bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau BNPT. “Seluruh komponen wajib lawan aksi radikalisme. Radikalisme dipacu ideologi, penjajahan, neoliberalisme, ketidakadilan global kalau dari pengaruh luar negeri. Sedang pengaruh di dalam negeri berawal dari kekecewaan, ketidakadilan,” kata Suhardi.

Mantan Kabareskrim Polri itu mengatakan, tak selamanya penanganan masalah terorisme bisa dilakukan dengan metode hard approach (pemberantasan dengan penangkapan). Namun juga perlu upaya-upaya lainnya.

“Kerja sama dengan Kemendagri bisa mengantispasi semua pergerakan mantan napiter (napi terorisme) dan returnis (WNI yang terlibat aksi teror di luar negeri, misal Suriah) yang kembali ke daerah asal mereka. Tolong jangan dipersulit ke depannya jika ada mantan napiter yang akan membuat KTP-el,” kata Suhardi.

Keberadaan atau aktifitas mantan napiter, lanjut Suhardi, bisa dideteksi dengan kepemilikan data kependudukan yang berbasis KTP-el. Terlebih saat ini NIK pada KTP-el sudah terintegrasi dengan data nomor telepon seluler setiap individu.

Untuk meminimalisir terulangnya aksi terorisme, BNPT menurut dia, sudah menyerahkan daftar nama 600 lebih mantan napiter kepada Kemendagri. Kebijakan itu guna memetakan posisi dan aktivitas mantan napiter agar tidak kembali ke jaringan kelompok terorisme.***(edy t)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru