Berbagi Cinta
Cerpen: Djunaedi Tjunti Agus
Sejak subuh tadi pikiran Zabran kembali tertuju pada ucapan istrinya Raihana Karima yang disampaikan menjelang tidur tadi malam. Raihana menyuruh dia kawin lagi dengan wanita lain, asal wanita itu bersedia dimadu, menjadi istri kedua.
“Apakah ini tidak kebalik,” pikirnya.
“Biasanya yang diminta kesediannya dimadu itu justru istri pertama,” kata batinnya.
Tadi malam dia telah menyatakan tidak ingin memiliki istri kedua. Apapun alasan. Belum punya anak, apalagi baru tiga tahun pernikahan bukan berarti harus kawin lagi. Namun Raihana tetap bersikukuh agar suaminya mencari wanita lain. Dia beralasan, tidak ingin perintah mencari istri kedua itu datang dari ibu mertuanya, ibunya Zabran, dengan alasan dia tak kunjung memberi keturunan.
Tidak seperti biasanya, kali ini usai sholat subuh dia agak lama berdoa. Minta petunjuk pada Allah Azza Wa Jalla. Apakah memang harus beristri dua. Kalo masih juga belum diberi keturunan bagaimana? Apa harus kawin lagi, sampai kapan?
Saat melangkah pulang dia belum menemukan keputusan apa-apa. Padahal istrinya telah menawarkan beberapa nama. Ada gadis yang sudah mandiri, bekerja, ada janda tanpa anak namun usianya dua tahun di atas Zabran, dan ada pula gadis anak teman istrinya yang baru tamat SMA berusia 18 tahun. Ketiga calon itu menurut istrinya berpeluang punya anak, karena ibu, juga saudara-saudara mereka banyak anak.
“Lah, ibu kamu kan juga punya beberapa anak. Mungkin kita belum saatnya saja,” kata Zabran.
Namun istrinya tetap bersikukuh, alasannya beberapa dokter spesialis kadungan menyatakan dialah yang kurang subur. Sementara suaminya gak masalah.
“Percayalah, saya tidak akan apa-apa. Insya Allah saya kuat dimadu, jangan khawatirkan saya,” tutur istrinya sebelum tidur tadi malam.
Zabran bingung, dia meganggap istrinya memiliki kelainan. Orang lain, beberapa kenalannya, justru si suami yang ngotot minta kawin lagi, namun istrinya tidak mengizinkan. Bahkan mengancam. Malah ada yang nekat nikah siri, dengan alasan seorang laki-laki tidak harus minta izin pada istrinya bila hendak kawin lagi.
“Apa ini mimpi?,” dia coba mencubit pipinya.
“Tak mungkin itu saya lakukan, tak mugkin,” kata hatinya.
Dia benci dengan laki-laki beristri lebih dari satu. Itu karena pengalamannya sendiri yang memiliki ayah beristri empat. Ibunya adalah istri pertama, tapi karena tak kunjung punya anak, ayahnya kawin lagi. Dengan istri kedua ayahnya lansung dapat anak, namun tiga tahun kemudian ibunya juga dapat keturunan, bahkan rapat empat anak, termasuk dia yang anak kedua.
Meski punya anak dengan istri pertama dan kedua, ayahnya masih kawin lagi, juga dapat dua anak. Selanjutnya masih menambah satu istri. Namun dengan istri keempat tidak punya anak.
Dalam perjalan hidup, ayahnya menceraikan tiga istrinya. Zabran sering melihat kakak-kakaknya satu ayah kerap datang ke rumah, minta uang jajan. Kadang-kadang dia yang diminta menyampaikan pada ayahnya. Pengalaman di masa kecil, punya saudara-saudra seayah yang tidak diurus oleh ayahya membuat dia trauma.
“Saya tak ingin-anak saya mengalami nasib seperti saya dan saudara-saudara tiri.”
“Lagian, jangan-jangan jika saya kawin lagi malah istri pertama yang hamil,” kata hati Zabran.
Sesampai di rumah, istrinya terlihat sudah rapi. Meski sudah berganti pakaian, namun yang dia kenakan baju tidur yang seksi. Lekuk-lekuk tergambar jelas. Tubuh istrinya tercium wangi.
“Oh ya, hari ini Sabtu. Saya kan libur,” pikirnya.
“Mau langsung sarapan sayang? Apa baca-baca dulu, tidur-tiduran?”
Zabran sudah tahu apa mau istrinya jika sudah berpenampilan dan bicara begitu. Dia meraih tangan Raihana dan mengandengnya ke kamar tidur.
“Mudah-mudahan membuahkan hasil,” doanya.
***
“Saya siap memberi keturunan, jika Mas bersedia. Saya rasa istri Mas tidak salah pilih. Yakinlah, saya tidak akan menyakitinya.”
Dia tidak tahu itu pesan dari siapa. Dia menganggap itu dikirim orang iseng.
“Zabran itu nama yang bagus. Artinya kuat atau mampu. Sedang istri Mas Raihana Karima juga tak kalah hebatnya makna namanya, berjiwa baik dan seorang pemberi. Jadi permintaan istri Mas tak mengada-ada. Mas kuat dan mampu, istri Mas berjiwa baik dan seorang pemberi. Pas,” tulis pesan dari nomor handphone yang sama.
Tak ada keinginannya untuk mebalas pesan tersebut. Dia menaruh hpnya lalu siap-siap melaksanakan olahraga bersepeda keliling kompleks. Istrinya mendekatinnya, lalu berbisik ke kupingya.
“Apa pesannya sudah masuk?”
“Oh, pesan di hp? Dari siapa itu?
“Dia Amelia, janda yang pernah saya ceritakan. Saya yang minta dia kirim pesan pada papa dan saya juga yang mengasi tahu makna dari nama kita. Tadinya dia gak mau. Pesan yang sama juga dishare ke saya,” kata istrinya.
“Saya juga minta hal sama kepada dua wanita lain yang pernah saya ceritakan, sebagai calon istri papa. Namun keduanya menolak, alasannya takut dikira wanita murahan.”
Zabran makin tidak mengerti apa mau istrinya. Awalnya dia hanya menganggap istrinya main-main, meguji dirinya, merajuk. Namun melihat apa yang dilakukan, sampai-sampai meminta wanita lain mengirim pesan soal pernikahan, dia menilai istrinya benar-benar serius.
Pernikahanya dengan Raihana sudah berjalan empat tahun. Pasangan itu belum juga mendapat keturunan. Zabran tidak pernah mempersoalkan, namun istrinya terus berupaya, hingga sampai-sampai punya ide minta Amelia mengirim pesan padanya.
“Oke, saya pergi dulu sayang.” Setelah mencium pipi kanan kiri istrinya, kemudian megucapkan salam, dia pun menaiki sepedanya.
Pikirannya bergelut dengan usul dan ulah istrinya. Apalagi pagi itu rekan sesama pesepeda yang biasanya menunggu di lapangan masjid, tidak terlihat. Padahal usai sholat subuh telah sepakat akan bareng berolahraga.
“Mugkin belum datang. Masih ada keperluan,” pikir Zabran. Namun sudah hampir 30 menit tak kujung nongol. Zabran akhirnya jalan sendiri. Sepanjang perjalanan pikirannya tak lepas dari permintaan Raihana.
Hampir satu jam dia bersepeda, satai. Ketika kembali ke rumah, dia melihat ada ibu dan bapak mertuanya, serta ibu dan ayahnya sediri.
“Tumben nih datang bersamaan. Apa sudah janjian,” tanya Zabran ketika memasuki teras, kemudian menyalami mertua dan orangtuanya.
“Siang ini kan ada tamu. Apa istrimu tidak mengasi tahu,” kata ibunya.
Zabran memanggil istrinya yang sedang berada di ruang dalam. Kemudian bertanya, siapa yang akan datang? Istrinya tersenyum, lalu berucap;
“Lihat saja nanti sayang. Ini kejutan,” katanya.
Tidak lama sepulang dari masjid, melaksanakan sholat dzuhur, sebuah kendaraan berhenti di depan rumah. Ada lima orang, termasuk lelaki muda yang menyopiri mobil itu. Setelah mengucapkan salam, basa basi, tamu itu pun dipersilakan masuk.
“Ini Amelia. Datang bersama bapak ibu, dan dua adiknya,” kata Raihana.
“Dulu kami sama-sama satu kantor, namun berlainan perusahaan. Dan kami juga sama-sama resign dari kantor masing-masing begitu menikah,” katanya lagi.
Zabran tampak melongo, sampai-sampai ibunya mencolek, dan mengingatkan agar menyalami tamu.
Dia tidak habis pikir, koq semuanya sepertinya mau mengikuti kemauan istrinya. Ibu dan ayahnya, bahkan ibu dan bapak mertuanya, serta keluarga Amelia.
Kalau urusan ini adalah dalam rangka menjajaki lamaran, bukankah seharusnya dia dan keluarganya yang datang ke rumah Amelia.
“Saya bingung,” desahnya di telinga ibunya.
Hari itu tidak ada pembicaraan soal lamar melamar. Ini hanya saling kunjung mengujungi. Bulan depan Raihana menyatakan gantian akan datang bersama Zabran, orangtua dan mertuanya ke rumah keluarga Amelia.
***
Waktu berjalan begitu cepat. Dua wanita semampai, bak dua kembar, yang sama-sama hamil tua kini menunggu waktu melairkan. Kadang keduanya sama-sama mengusap-usap perut, dan di lain waktu sama-sama memegang pinggang.
Sudah 9 bulan Zabran menikah dengan Amelia, kini kedua istrinya sama-sama hamil tua. Amelia dan Raihana sama-sama menunggu kelahiran di rumah bersalin yang sama, ditunggui suaminya. Tidak terbayang sebelumnya oleh Zabran akan berjalan mengiringi dua istri ketika pergi ke pusat perbelanjaan, atau makan-makan di restoran, dan kini jalan pagi di seputar rumah bersalin atas saaran dokter agar kelahiran berjalan lancar.
Dulu dia paling benci melihat ada ustadz berjalan dengan dua atau tiga istrinya, bahkan satu rumah. Itu dinilainya tidak etis, hanya pencitraan bahwa seorang ustadz mampu melaksanakan sunnah Rasul beristri lebih dari satu, dan istri-istrinya hidup berdampinan dengan akur. Dia yakin, wanita-wanita yang dimadu itu tidak seperti terlihat di luar, hati mereka menjerit karena harus berbagai cinta. Memiliki suami yang tidak setia.
Kini dia sendiri yang mengalami. Namun dia tetap tidak mau kedua istrinya tinggal satu rumah. Pilihan bahwa kedua istrinya akan melahirkan di rumah bersalin yang sama, juga bukan keinginannya. Namun kedua istrinya yang ngotot.
“Mudah-mudahan kedua istri saya akur hingga hayat kami, dan kami bisa berkumpul lagi di surga,” gumam Zabran, ketika menunggu di ruang tunggu, karena kedua isrtrinya sedang dimandikan perawat.
“Mas, saya mau memberitahu sesuatu. Mau dengar kan?”
Itu ucapan Amelia ketika mereka memasuki malam pertama.
“Silakan saja sayang. Mau cerita apa?”
“Saya ini masih perawan Mas.”
“Loh. Mama kan udah pernah menikah, koq bisa?”
Amelia menceritkan; Suami pertamanya megalami serangan jantung di malam pertama.
Sempat dirawat, kemudian mengalami pemasangan ring. Meski sudah sembuh dia dan suami tidak pernah melakukan hubungan suami istri, karena suaminya selalu khawatir.
“Sampai akhirnya dia meninggal setelah satu setengah tahun pernikahan. Kami tidak pernah berhubungan,” kata Amelia.
Zabran masih terbayang bagaimana malam itu dia penuh gairah. Dia juga terbayang ketika istri pertamanya Raihana dinyatakan positif hamil. Kemudian beberapa hari seteleh itu, giliran Amelia yang dinyatakan positif.
“Bapak Zabran, ditunggu di ruang melahirkan.”
Dia langsung berdiri.
“Semoga Raihana dan Amelia melahirkan dengan lancar, anak-anak kami sehat-sehat,” doanya.***
@10jan2022