Saturday, November 8, 2025
Home > Berita > Balap Sepeda Jadikan Puspita “Pria Bernilai Puluhan Miliar”

Balap Sepeda Jadikan Puspita “Pria Bernilai Puluhan Miliar”

Puspita Mustika dan istri Riries Widya (Foto: Ist)

Puspita: “Apa yang saya alami, sejak mejadi pembalap, pelatih, kemudian kena musibah  ditabrak mobil, dikhianati istri, dan apa yang saya lakukan hingga sekarang, segera akan dibukukan. Mudah-mudahan bisa membantu teman-teman atlet dalam meghadapi dan merencanakan masa depan. Mungkin dua atau tiga bulan ke depan sudah terbit.”

Ditabrak dari belakang oleh sebuah mobil berkecepatan tinggi membuat Puspita Mustika Adya langsung tidak sadarkan diri. Sepeda motor yang dia kendarai remuk di bawah kolong mobil, dia terlempar ke sawah di pinggir  Highway Tutong Brunei, di Brunei Darussalam.

“Saya koma selama 9 hari dan amnesia, serta lumpuh 4 bulan, di rumah sakit Hospital RIPAS Brunei,” kata Puspita. RS RIPAS adalah Rumah Sakit Raja Istri Pangeran Anak Saleh. Hingga kini masih tetap harus rutin kotrol ke rumah sakit, meski telah empat kali mejalai operasi otak.

Kecelakaan di Highway Jerudong Bandar Seri Begawan terjadi ketika dia mengawal 5 pembalap nasional Brunei Darussalam saat latihan balap sepeda nomor jalan raya untuk jarak 160 km, pada hari Rabu, 23 Juli 2008. Ketika itu mereka hendak kembali ke pusat kota.

Seluruh badan bagaikan remuk. Mata kirinya bahkan cedera berat, terdesak ke luar. “Saking kerasnya tabrakan, saya mengalami gegar otak berat, gangguan saraf. Mata kiri hampir saja diamputasi. Alhamdulillah selamat. Musibah itu terjadi ketika kontrak kerja sebagai pelatih baru berjalan satu bulan,” kata pria asli Malang, Jawa Timur, kelahiran  28 April 1966  ini.

“Begitu medengar dahsyatnya kecelakaan, saya berpikir, habis sudah Puspita. Bukan dalam arti hanya habis karirnya di balap sepeda, tetapi dipanggil Allah ke haribannya,” kata Endang Subagio, salah seorang pelatih Puspita saat bergabung di Pelatnas. “Saya berdoa, semoga Allah meyelamatkannya,” katanya lagi.

Didi Sudijanto, mantan pelatih balap sepeda nasional, merasa sangat kecewa terjadinya peristiwa kecelakaan tragis yang membuat Puspita menjadi korban. “Kesalahan bukan pada Puspita,” katanya. Didi sangat kaget mendengar kecelakaan yang dialami Puspita, ditabrak mobil BMW.

Ada semacam penyesalan yang dirasakan Didi, dengan terjadinya musibah itu. “Tadinya Brunei minta saya. Saya datang ke Brunei untuk menjajaki, lalu minta pembalap mereka berkumpul untuk latihan. Apa yang terjadi, saya menunggu dari pagi, eh datangnya baru jam tiga sore,  mengendarai mobil sport,” katanya.

Menghadapi kondisi begitu, kata Didi, dia memutuskan batal menerima permintaan  melatih para pembalap Brunei. “Alasan saya, saya diminta Indonensia menangani  pembalap nasional road. Dalam pikiran saya, berat untuk melatih pembalap mereka, tidak disiplin.” Setelah kembali ke Indonesia, Didi memang diminta melatih beberapa pembalap nasional, Tonton dkk, di pemusatan latihan Yogyakarta.

H Yusuf, Ketua federasi balap sepeda Brunei Darussalam, dapat menerima alasan Didi. “Tapi dia minta dicarikan pengganti saya, juga dari Indonesia.” Setelah menimbang-nimbang, pilihan Didi jatuh pada Pusita. “Saya mengenal Puspita cukup baik, sabar, punya pengetahuan melatih, berprestasi saat jadi pembalap. Puspita saya nilai mampu menangani para pembalap Brunei. Eh, tahunya terjadi musibah. Mungkin itu tadir. Tapi tetap saja ada penyesalan di hati saya.”

Didi telah mengenal Puspita sejak lama. Bukan saja setelah Puspita matang. Dia telah melatih Puspita ketika Puspita bergabung di Sekolah Khusus Atlet di Ragunan, Jakarta. “Karena itu saya putuskan membuka peluang untuk Puspita,” tuturnya.

“Kita semua kaget. Tidak menyangka bakal terjadi kecelakaan tragis begitu,” kata Bonny Soekardi, matan pembalap putri handal nasional untuk nomor sprint. “Terus terang, suatu kebanggan mantan atlet Indonesia dipercaya melatih di luar negeri. Tapi sangat disayangkan Mas Puspita mengalami kecelakaan saat melatih,” kata Bonny yang memiliki satu putra dan satu putri.

Tim balap sepeda nasional foto bersama Ketua Umum PB ISSI Harry Sapto menjelang bertolak kemengikuti event di luar negeri. (Foto: Istimewa)

Harusnya peluang bagi mantan atlet untuk mejadi pelatih didukung federasi (PB ISSI). “Diberi kesempatan. Tidak seperti apa yang saya dengar, federasi sepeda Indonesia ketika itu tidak merestui Mas Puspita melatih di Brunei,” kata Bonny lagi.

“Kan untuk melatih di luar negeri harusnya tak perlu ada izin,” ujar mantan atlet yang sempat melatih selama 4 tahun di Malaysia. PB ISSI, kata Bonny, harus membuka peluang bagi mantan pembalap yang ingin mejadi pelatih. Tidak pilih-pilih. Termasuk melatih para pembalap nasional.

“Waktu Pak Harry (Harry Sapto), bila mantan pembalap yang ingin menjadi pelatih selalu dibantu. Latihan untuk pembalap sangat memuaskan, tidak hanya di dalam negeri, tapi juga di luar negeri.  Event di dalam negeri yang dilaksanakan cukup banyak. Para pembalap juga ditampilkan di banyak pertandingan internasional.

Seperti diakui banyak pelatih dan pembalap sepeda senior, pembinaan terbaik di balap sepeda menurut Bonny, adalah ketika Ketua Umum Balap Sepeda (PB ISSI)  dipegang Harry Sapto. Harry Sapto adalah Ketua Umum PB ISSI lima periode, periode pertama 1987-1991 terpilih menggantikan ketua umum sebelumnya, Gatot Suwagio, pada kongres yang digelar di Hotel Hasta Senayan, Jakarta (kini sudah dibongkar).

Harry Sapto tak tergantikan hingga periode 2004-2008. Selain dipercaya mejadi Ketua Umum, secara keseluruhan dia berkecimpung sangat lama di balap sepeda. Sebelumnya dia diminta jadi pembina, khususnya untuk penggalangan dana. Harry Sapto meninggal 27 Februari 2019 di RS Mount Elizabeth Singapura.

Endang Subagio sependapat dengan Bonny. “Harusnya PB ISSI sekarang bisa melaksanakan berbagai kejuaraan, terlebih nomor jalan raya (road). “Kan ketua umum ISSI sekarang adalah Kapolri, Bapak Listyo Sigit Prabowo. Nah dengan dukungan polisi di seluruh negeri, berbagai tour sepeda seperti Tour de Jawa dan tour-tour lainnya bisa diselenggarakan.”

Fanny Gunawan, mantan pembalap handal Indonesia di nomor jalan raya, mengaku sangat  kaget ketika mengetahui Puspita mengalami kecalakaan fatal di Brunei. Dia menyayangkan PB ISSI, induk organisasi balap sepeda Indonesia, tidak pro aktif membantu Puspita ketika itu. “Ada yang bilang karena Puspita tidak minta izin pada PB ISSI sebelum melatih di Brunei. Saya rasa, mungkin Puspita lupa.”

Puspita itu orangnya baik, kata Fanny. “Pengertian terhadap teman, tidak mau meyakiti teman. Setelah dia sembuh dari kecelakaan, saya kerap komunikasi dengan dia dan beberapa kali ketemu langsung,” kata mantan pembalap yang kini aktif dalam pekerjaan pembangunan jalan tol. “Saya diajak teman kerja di proyek jalan tol, teman mantan pembalap juga,” tuturnya.

Sejak aktif di balap sepeda tahun 1976 Fanny sering keluar masuk Pelatnas. Dia tidak hanya selalu masuk tim inti dalam event yang digelar dalam negeri, tetapi juga di sejumah event akbar di luar negeri, seperti SEA Games, Asean Cup, dan Asian Games. Fanny mengawali karier di sepeda melalui lomba sepeda MTB tahun 1976. Dia juga aktif megikuti pertadingan triatlon (gabungan renang, lari, sepeda).

Robby Yahya, mantan pembalap nasional asal Jabar seangkatan Puspita, mengaku sangat kaget begitu mendengar kondisi Puspita yang mengkhawatirkan akibat tertabrak mobil. “Ketika itu saya sangat kaget. Puspita saya dengar parah, koma,” ujar salah satu andalan tim nasional di nomor road tersebut. Seperti banyak “masyarakat” balap sepeda Indonesia, Robby ketika itu berharap  Puspita bisa selamat.

Lain halnya dengan Ir Denny Gumulya, Ketua Bidang Pembinaan dan Komisi Teknik PB ISSI di era PB ISSI ketika dipimpin Harry Sapto Soepojo. Dia sangat optimis Puspita belum akan ‘pergi’ untuk selamanya. “Saya amat yakin Brunei berusaha habis-habisan.  Berapapun biayanya. Brunei negara kaya,” kata Denny, yang juga pernah melatih Puspita di pemusatan latihan (Pelatnas).

Keyakinan dan harapan Denny bahwa Puspita akan selamat menjadi kenyataan. “Tetapi saya dengar tidak semua biaya  perawatan dan pengobatan Puspita ditaggung Brunei. Dengar-dengar hanya setengah. Saya tidak tahu persis,” tuturnya. Musibah yang dialami Puspita, menurut Denny, memang sangat mengejutkan.

Empat Kali Operasi

“Saya direkrut Federasi Balap Sepeda Brunei dan Kementrian Olahraga Brunei, semacam Kemenpora di kita,  untuk jangka waktu 5 tahun, 2008-2013. Senilai kurang lebih 25 ribu ringgit (dolar) Brunei  pertahun (kurang lebih Rp 300 juta),” tutur Puspita. Namun lama kontrak tak terpenuhi akibat Puspita ditabarak mobil yang dikendari seorang askar (tentara) yang baru pulang dinas.

Memasuki bulan ke-5 menjalani perawatan di rumah sakit, Puspita dinyatakan sembuh.

“Saya dinyatakan sembuh bulan November 2008 dan kembali melatih. Tetapi baru lima bulan melatih saya merasa ada masalah di kepala. Terasa sakit perkepanjangan. Dokter memutuskan saya harus kembali menjalani operasi di kepala,” katanya.

Tidak ada pilihan, Puspita yang berkeinginan kuat untuk sembuh langsung menyetujui saran dokter. Dia mengibaratkan dirinya sedang berada di arena pertandingan balap sepeda. “Saya harus berusaha agar bisa menyelesaikan ‘perlombaan’. Saya ingat pesan almarhum ayah saya Pusoro Prawito Iprajim, yang mengatakan ada start, ada finis. Saya harus menyelelsaikanya.”

Puspita pertamakali menjalani operasi otak di Rumah Sakit Raja Istri Pangeran Anak Saleh Brunei (RIPAS Hospital Brunei)  begitu mengalami kecelakaan tahun 2008 itu, kemudian operasi berikutnya, melanjutkan operasi di Brunei yang belum tuntas di RS Otak Tan Kock Seng Singapura, kemudian di Siloam Karawaci 2010, dan terakhir Januari 2024 ganti VP Sunt atau pompa di RSUD Malang. Puspita juga general check up di RS Tan Tock Seng Singapore tahun 2013 dan tahun 2015.

Lalu berapa biaya semuanya itu? “Waduh, kalau dikalkulasi mungkin biaya operasi, perawatan, kontrol rutin, hingga kini sudah puluhan miliar rupiah. Alhamdulillah sampai hari ini saya masih bernapas dan tetap semangat untuk berkutat di dunia sepeda, termasuk aktif di Bike Fitting dBoke Doctor, berkat istri saya  tercinta, Raden Roro Riza Riries Widya,” kata Puspita.

Mengetahui begitu besarnya biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan atau penyembuhan,  mengingatkan kita pada film serial televisi Amerika Serikat, The Six Million Dollar Man, yang di putar di TVRI tahun 1980-an. Film seri itu adalah sebuah film fiksi ilmiah mencerikan sepak terjang seorang agen rahasia yang tubuhnya dipenuhi sejumlah alat bantu elektromekanis.

Puspita untuk penyembuhan pasca kecelakaan di Brunei memang harus dipasangi alat bantu, setidaknya berupa beberapa pipa dan pompa khusus penyedot cairan di kepala. Untuk keperluan itu, termasuk kontrol dan perawatan rutin, telah dihabiskan puluhan miliar rupiah. Kecelakaan ditabrak mobil secara brutal di lebuh raya Brunei Darussalam telah mengubah Puspita, pria pencinta balap sepeda, menjadi pria bernilai puluhan miliar (rupiah) atau “A man worth of tens of billions.”

Lalu dari mana saja dana sebanyak itu? “Untuk biaya perawatan medis dan operasi (pertama) di RIPAS Hospital Brunei dan ke 2 di RS Otak Tan Kho Sen Hospital di Singapura dibayar asuransi Brunei, dan operasi ke-3 Di RS Siloam Karawaci atas jaminan Garuda, namun kemudian di bayar oleh asuransi Thaib Brunei. “Sedang pengobatan terapi dari tahun 2017 sampai operasi otak/kepala ke-4 Januari 2024 di RS Persada Malang, Jawa Timur, dibayar oleh istriku Riries Widya,” kata Puspita.

“Alhamdullah semua membaik. Mata sekarang bisa melihat sempurna dan terang, meskipun harus dibantu kacamata silinder dan minus,” katanya lagi.

Puspita dan Riries (Foto: Istimewa)

Sejak bulan November 2019 sampai sekarang, Puspita harus rutin melakukan pengobatan/kontrol di RS Persada Malang, Jawa Timur.  Dia setiap bulan rutin mengeluarkan biaya sendiri Rp 6 juta lebih. BPJS dan Axxa Allianz yang dimilikinya tak mengcover biaya pengobatan kecelakaan lama.

Kenapa Puspita harus menjalai operasi otak berkali-kali? Istri Puspita, Riries Widya  mengungkapkan; “Puspita harus menjalani operasi berulang kali, dan telah keempat kalinya, untuk mengurangi kelebihan cairan di otak. Terakhir, berdasarkan hasil MRI dan data MCU di RS Persada Malang,  hasil penemuan dokter spesialis ahli bedah syaraf, dokter mata, THT, dan penyakit dalam, Puspita harus menjalani operasi ke-4 untuk mengatasi dampak total permanen kecelakaan ditabrak mobil di Brunei tersebut.”

Operasi ke-4 adalah penggantian 4 selang dari kepala ke saluran pembuangan,  karena mampet. Pergantian memang harus dilakukan dalam waktu tertentu, tergantung perkembangan, karena ada plak/kotor, dan berakibat mampet. Dampaknya, jika mampet, cairan merendam saraf dan jadi mengeras, berakibat pusing, blank, dan kesakitan. “Sakitnya kadang luar biasa,” kata Puspita. Operasi tak terhindarkan, guna mengantisipasi dampak buruk, karena Puspita pernah mengalami koma dan stroke. Operasi terakhir menghabiskan dana sekitar 400 juta rupiah. “Mungkin operasi berikutnya agak panjang (masih lama), karena alat pompa yang dipasang terakhir lebih bagus,” tutur Puspita.

“Ujian. Mental. Pikiran, kondisi psikologis, emosional benar-benar diuji. Untungya saya kuat. Saya berhasil melaluinya hingga sekarang,” kata Puspita. Meski, katanya, selagi fisik dan jiwanya diuji, cobaan lain yang tak kalah dahsyatnya pun datang. “Istri saya berkhinat. Itu terjadi tahun 2014, saat saya membutuhkan perhatian dan biaya besar. Saya tinggalkan rumah hanya dengan pakaian yang melekat di badan. Cerai.”

Dia sempat menumpang dikontrakan teman masa kecilnya, sesama asal Malang, Jatim, Ariyadi Basuseno. “Puspita kala itu memang sangat kecewa dan marah besar karena istrinya tidak bisa menjaga kepercayaannya, menimbulkan aib. Syukur Puspita masih bisa bangkit. Saya juga bangga dengan kondisi sekarang,” kata Aryadi. Meski kondisinya sedang sulit, Puspita tetap membiayai kebutuhan dua anaknya bersama istri pertamanya untuk pedidikan.

“Cobaan yang saya hadapi luar biasa. Derita akibat ditabrak mobil belum pulih, eh istri berbuat ulah. Alhamdulillah saya bisa lalui. Karena itu saya ingin berbagi kepada teman-teman sesama atlet. Berbagi ilmu, bagaimana seharusnya kita menjalani hidup. Jangan terlena ketika masih berjaya sebagai atlet, tapi harus ada rencana untuk masa depan. Jangan pula cepat menyerah menghadapi cobaan,” katanya.

“Apa yang saya lalui, sejak mejadi pembalap, hingga beralih jadi pelatih, kemudian kena musibah, dikhianati istri, dan apa yang saya lakukan hingga sekarang, semuanya segera dibukukan. Mudah-mudahan bisa membantu teman-teman atlet dalam meghadapi dan merencanakan masa depan.” Sekarang, kata Puspita, buku dimaksud sedang melalui proses menuju cetak. “Mungkin dua atau tiga bulan ke depan sudah terbit.”

Bagaimana tetap bisa eksis, terutama dalam hal keuanganan, meski tidak mejadi atlet lagi, itu harus direncanakan. Termasuk menyikapi musibah dan derita yang dialami. “Saya juga secara tidak lagsung banyak belajar pada kejadian yang dialami atlet lain. Mereka begitu berkecukupan ketika masih sebagai atlet. Bergelimang uang dan terkenal, tapi begitu tak berprestasi lagi hidup susah, bahkan miskin,” ujar putra pertama lima bersaudara ini, 3 laki-laki 2 perempuan, dari ayah Pusaro Prawito Iprajim (alm) dan ibu Reny Wediati (alm).

“Mental juara yang ada dalam dada yang menyelamatkan saya untuk tetap meneruskan perlombaan hidup ini. Mudah-mudahan hingga garis akhir sebagai juara di podium kehidupan. Petuah dan wasiat ayah saya almarhum yang melatih saya sejak umur 12 tahun adalah; Ada start ada finish. Arti ucapannya itu sangat dalam. Kalau berani memulai harus berani menyelesaikan hingga finish, tuntas, hingga berdiri di podium. Ayah saya itulah yang menjadi pelatih pertama saya di balap sepeda.”

“Alhamdulillah. ini kalau orang Jawa bilang Nyowo Sambung, hanya berkat berkah dan karunia Allah subhanahu wa ta’ala  saya masih hidup. Bukan keajaiban. Kersane Gusti Alah (kehendak Allah) saya  melanjutkan kehidupan untuk keluarga istri anak cucu, famili dan handai taulan,” tutur Puspita.

Tiada Kata Menyerah

Tidak kenal menyerah. Itulah kunci sukses Puspita baik sebagai atlet maupun ketika dia terkena musibah ditabrak mobil saat melatih. “Ketika orang berpikir kamu sudah jatuh. Tunjukkan kepada mereka bahwa itu bagian dari mengejar dan meraih impian dan sasaranmu. Itulah mental juara.”  Kalimat ini tertanam di dada Puspita Mustika Adya, merupakan kamus dalam hidupnya. Dia berprinsip; Tiada kata menyerah, rintangan apapun yang dihadapi harus dilalui. Persoalan yang ada harus diselesaikan, walau hasilnya menyakitkan, termasuk berpisah dengan orang yang pernah dicintai.

“Itulah yang membuat saya tegar, meski harus bergelut dengan masalah kesehatan yang labil, efek dari kecelakaan ditabrak mobil. “Saya berusaha profesional, termasuk dalam melatih atlet balap sepeda. Kapan dan di mana saja. Itu saya lakukan demi prestasi, sekaligus untuk memenuhi kebutuhan hidup saya dan keluarga. Saya juga melatih pembalap sepeda negara lain, bukan berarti saya tidak nasionalisme. Sebagai anak negeri, saya dan siapapun justru harusnya bangga, karena  dipercayai negara lain.”

“Dia memang luar biasa. Gigih. Bahkan bisa hidup dari sepeda. Eks pembalap memang harus begitu,” kata mantan pembalap sepeda, yang juga mantan pelatih, serta mantan pengurus PB ISSI, Ir Denny Gumulya. Waktu jadi pembalap pun, Puspita menurut Denny, bagus. “Orangnya baik, mencapai hasil sebagai pembalap dan pelatih baik pula. Tapi kadang, ketika masih pembalap, dia ada ngeyelnya,” tutur Denny.

Loh kok ngeyel? “Iya. Kadang dia tidak menjalankan program latihan yang telah diberikan pelatih. Dia pakai programnya sendiri. Coba-coba. Setelah gagal baru sadar,” ucap Denny.

“Wah, Puspita itu mudah dekat degan cewek. Padahal orangnya terkesan serius. Agar tidak mengganggu latihan, saya selalu ingatkan, Pus (Puspita), jangan pacaran dulu, fokos pada latihan dan pertandingan,” kata Didi tetang masa lalu, ketika menangani pembalap di pemusatan latihan. “Saya akui perjuangan hidup Puspita luar biasa.”

“Mas Puspita itu baik sekali. Setelah meraih gelar juara dia tidak merasa super. Dia bahkan sering memberi tahu teman-teman tentang strategi. Kadang dia suka ngebanyol, dengan logat Jawanya yang medok dan bikin ketawa,” ujar Robby Yahya, pembalap asal Bandung, ayah dari tiga anak dan kini memiliki toko alat-alat olahraga di Subang.

“Pribadinya menyenangkan,” kata Endang Subagio, pelatih yang pernah menangani Puspita. “Dia juga suka bercanda, tetapi tidak jahil. Puspita itu disiplin, kalo latihan dilalap habis. Pokoknya menyenangkan,” tuturnya.

“Saya salut pada dia. Mengalami kecalakaan fatal. Kepalanya dibedah berulangkali. Ternyata masih bisa bangkit. Malah lebih kreatif, menulis, melatih, dan memiliki bengkel sepeda, serta jasa konsultasi bersepeda.”

Endang Subagio tidak berlebihan. Penilaiannya terhadap Puspita begitu adanya. Puspita punya bengkel sepeda dan studio Bike Fitting dengan nama dBikeDoctor di Surabaya, serta membuka jasa serupa di beberapa kota, meski datang dan pergi. Puspita juga kerap menulis di situs Indonesia-cycling.com miliknya sendiri, serta menjadi pembina dan pelatih pembalap sepeda berkebutuhan khusus hingga meraih sejumlah medali di Paralimpic Games 2018.

“Kesan saya, dia manusia hebat. Tidak hanya mampu melepaskan diri dari masalah, tetapi dia juga memiliki kemampuan memotivasi orang lain yang sedang diambang putus asa. Itu saya alami sendiri. Tahun 2011 saya harus beraktivitas di atas kursi roda, sudah satu tahun. Saya sudah putus asa, berpikir saya takkan sembuh. Eh tiba-tiba datang Puspita, degan tegas menyatakan saya bisa dan harus sembuh.”

“Saya aja lebih parah bisa (sembuh). Kenapa Pak Endang tidak,” kata Endang menirukan ucapan Puspita. Ya sejak itu dalam pikiran saya tertanam keyakinan dan semangat baru. Puspita saja bisa sembuh kenapa saya tidak,” kata Endang. Endang akhirnya lepas dari kursi roda.

Ditanya kenapa dia sampai harus hidup di atas kursi roda? Endang tergelak. “Akibat sok-sokan, ketika saya mengawasi para pembalap berlatih beban di Subang, Jabar, saya mau perlihatkan bagaimana caranya mengangkat barbel yang benar. Eh saya malah tergelincir dan jatuh. Sejak itu saya tidak bisa berdiri,” tuturnya.

Puspita bersama dua mantan pelatihnya, Didi Sudijanto (kiri) dan Tarwi (tengah). (Foto: Istimewa)

“Mas Puspita itu orangnya baik. Kalau kita bertanding ke luar negeri, bahkan juga di Indonesia dia selalu megingatkan kita-kita atlet-atlet cewek agar selalu mejaga diri. Saya, Netty (Netty Yahya), dan pembalap-pembalap putrinya lainnya selalu di jaga oleh Mas Puspita,” kata Bonny Soekardi, mantan pembalap handal putri Indoenesia, ibu dari satu putra dan satu putri, serta kini membuka usaha pakaian olaharaga.

Bagi Puspita tidak ada persoalan yang tidak  bisa diselesaikan. “Tekad harus bulat. Sebagai atlet terus terang saya sedih meghadapi kenyataan yang dialami sejumlah atlet nasional. Sempat berjaya, sukses di mana-mana, banyak duit. Tapi setelah tak berprestasi lagi jatuh miskin. Saya tak ingin mengalami hal itu. Saya juga tak ingin atlet-atlet lain megalami hal serupa. Karena itu saya ingin berbagi pengalaman, antara lain dengan menerbitkat buku tentang perjuangan hidup saya. Syukur-syukur saya bisa berbagi. Mana tahu ada rezeki. Tolong bantu, doanya,” katanya.

Memang, sejumlah atlet nasional ada yang tak beruntung setelah sempat sukses, berduit dan dipuja. Ada yang menjadi pejaga malam, pemulung, jualan minuman keliling, tukang cuci pakaian, dan lainya, padahal mereka pernah berjaya bagi negara, meraih gelar juara di SEA Games, Asian Games, bahkan juara dunia. Hal itu tak ingin dialami Puspita. Dia berharap atlet-atlet nasional lainnya harus berpikiran serupa. Bagaimana caranya? “Ya harus memanfaatkan kesempatan. Saat kita sebagai atlet harus berpikir dan berusaha bisa mejadi pelatih. Cari peluang, ikut pelatihan untuk mejadi pelatih, buka peluang untuk diri sendiri.”

Memang Puspita Mustika Adya mampu memanfaatkan sepeda sebagai ‘ladang’. Sejak menjadi pembalap yang berawal tahun 1978 ditandai juara Lomba Sepeda Mini antar SD di Malang, dia mampu meraih sejumlah gelar juara di arena balap sepeda nasional dan event internasional. Dia menutup status sebagai pembalap degan manis tahun 1991 di SEA Games Manila, meraih medali emas 4800 m massed start dan perak ITT (Individual Time Triel) 1000 m.

Puspita percaya tadir. Takdir adalah ketetapan yang telah ditentukan untuk segala sesuatu sebelum diciptakan Allah, termasuk manusia. Dalam Islam, takdir dikenal dengan istilah qada dan qadar. Karena itu ketika dia harus bercerai degan istri pertamanya, Puspita menjalani dengan apa adanya. “Meski begitu kita harus berusaha,” katanya.

Dua tahun bercerai, tahun 2016 dia menikah dengan Raden Roro Riza Widya (Riries),  janda beranak lima. “Setelah mengalami kecelakaan fatal, ditabrak mobil saat melatih, saya membutuhkan pendamping yang secara total mendukung saya dalam beraktivitas. Masalahnya, meski telah mejalani operasi otak akibat cidera berat, kodisi tubuh saya kadang- labil,” tutur matan pembalap ini. Nyatanya setelah menikah dengan Riries dia masih harus menjalani operasi.

“Saya ketemu pertamakali dengan Mas Puspita awal tahun 2016 di Kantor Kementerian Pariwisata. Kami kenalan dan komunikasi, lanjut ketemu saat olahraga di Senayan. Seterusnya saya dan Mas Puspita menelpon anak-anak dan orangtua.  Untuk keseriusan, ketemu langsung ibu didampingi kakak laki-laki saya. Proses 3 bulan langsung jadian.”

Apakah tidak khawatir memilih Mas Puspita, mengingat dia dalam kondisi bermasalah terkait kesehatan?  “Dijalani, disyukuri, dinikmati saja semua tahapan hidup yang ada. Ngak ada yang perlu di khawatirkan  dalam menjalani kehidupan. Saya jalani saja sebaik-baiknya.”

Maaf. Mengingat kondisi kesehatan dan fisik Mas Puspita waktu itu masih labil, lalu bagaimana dengan kebutuhan batin. Apakah terpenuhi sejak awal menikah?  “Alhamdulillah hubungan suami istri dari awal menikah sampai sekarang 1-2 kali seminggu.”

Sebelum bertemu Puspita, Riries kerap medapat dorongan dari anak-anaknya agar mencari pedamping. “Justru anak-anak saya yang beberapa kali mencarikan mamanya papa baru. Waktu itu, beberapa kali anak laki-laki saya mengundang dosennya yang duda, juga bapak kawannya yang duda, ke rumah. Setelah tamuya datang, anak-anak langsug ke luar rumah. Alasannya mau membeli kue.  Saya yang gak tau apa-apa jadi bingung. Mau marah ya gimana, ya jadi ketawa sendiri, ya malu, karena harus menghadapi duda yang  duduk di teras rumah. Saya minta maaf atas kelakuan 2 putera saya yang waktu itu masih kuliah. Rata-rata beliau-beliau sangat apresiasi dimakcomblangi anak saya.”

“Masa-masa yang penuh cerita,  karena hubungan emosional dalam keluarga  antara anak dan mama sangat dekat.  Begitu mamanya mengenalkan laki-laki duda bernama Puspita  mereka langsung jawab;  … Alhamdulillah. Diantara ada yang langsung nyeletuk;  Kami telah beberapa kali mencarikan papa baru tapi mama bilang belum siap, alasannya masih sibuk mengurusi anak-anak.”

“Saya bersyukur, saya bisa jalani dalam semua keadaan dalam  mendampingi dan mendukung suami saya agar dapat berdiri tegak sebagai kepala keluarga dan menjalani kehidupan di tengah masyarakat,” tutur Riries. Puspita dan Riries kini bermukin di Kota Malang.

“Alhamdulillah,” kata Riries lagi, ketika ditanya apakah dia bisa memahami “dunianya” Puspita. Dia menyatakan cukup memahami dunia suami kerena selalu mendampingi, mendengar, dan diajak diskusi setiap harinya oleh Puspita.  Puspita dinilainya memang expert di bidangnya. Dibuktikan dengan sertifikasi high level dari UCI (Union Cycliste Internationale atau Badan Olahraga Sepeda Internasioal), berhasil diraihnya, guna memenuhi impiannya melatih dan menelorkan juara di tingkat ASEAN, Asia, dan Olimpiade.

Puspita mulai belajar naik sepeda tahun 1972 ketika berusia 6 tahun. “Saya, atas dorongan orangtua termasuk rajin berlatih. Hasilnya pada kurun waktu tahun 1972-1975 menjadi juara lomba antar SD sekota Malang, dan 1977-1978 juara antarpelajar se Malang Raya.” Semasa hidup, ayah Puspita adalah pegawai tata usaha RS Bersalin Mardi Waloejo Kaoeman Pusat, Kota Malang, dan  ibunya Reny Wediati (alm). sebagai ibu rumah tangga. Rumah keluarga berada di Jl. Progo 9 Bunulrejo Lowokwaru Kota Malang dan sekarang  ditempati adik perempuan Puspita beserta keluarga.

Sekolah di SD Splindit Brawijaya, Puspita masih ingat pada gurunya Pak Danu dan Pak Wiryanu, masing-masing wali kelas dan kepala sekolah. Bahkan dia kadang-kadang masih berhubungan dengan  Pak Danu hingga sekarang. Sekolah tingkat SMP, dijalani di SMPN 3 Malang, Jl. dr Cipto. Sedangkan untuk menengah atas berawal di SMAN 3 Kota Malang, Jl.  Tugu Kota Malang, pindah ke sekolah khusus atlet SMA Olaraga Ragunan, Jakarta, karena Puspita telah bergabung di pemusatan latihan. Kemudian karena harus melakukan latihan di luar negeri, ke Denhag, Belanda, Puspita pun kemudian bersekolah di SMA Indonesia di Denhag.

Sepanjang mengikuti pendidikan dari SD SMP ada beberapa teman yang masih saling berubungan degan mantan spsrinter terbaik nasional ini, antara lain Ariyadi Basuseno. Sementara teman-teman SMA lebih banyak yang masih kerap berhubungan, terutama teman sesasama pembalap sepeda yang sekolah di SMA Atlet Ragunan, serta sejumlah atlet dari cabang olahraga lain.  Mantan atlet yang telah berpredikat pelatih ini menyelesaikan kuliah di Perbanas Jakarta Selatan. Dia juga sempat bekerja di  PT Utomo  1988-1990 dan di  BUMD PDAM Bogor.

 Saling Tertarik

Perjalanan hidup, sekolah, bertanding, kalah dan menang, telah mewarnai jalan hidup Puspita Mustika Adya. Ada susah dan ada senang, semua itu menjadikan mantan atlet yang telah meraih sejumlah penghargaan dan bonus ini matang. Di laman facebook (fb)nya dia menulis; Teruslah melangkah jangan pernah menyerah, karena tidak ada hidup tanpa masalah dan tidak ada perjuangan tanpa rasa lelah.

“Itulah proses hidup kadang manis, namun ada kalanya pahit. Kita hanya perlu bersabar dan bersyukur, serta berjuang untuk lebih baik diringi doa dan usaha.” Ini kata bijak lainnya yang ditulis Puspita di laman fbnya.

Kadang dia muncul melankolis. Tak jarang mencurahkan isi hatinya, menuliskan kalimat-kalimat bijak,  menghias laman alias wall atau timeline di Facebook. Kalimatnya berisi kata-kata motivasi, inspiratif, ada kalanya terkesan merajuk. “Tidak perlu mencari yang sempurna,  cukup yang setia menemani hingga akhir usia,” tulisnya.

Adakah pengalaman terburuk dalam hidup Mas Puspita hingga kini? “Pertama, dalam kehidupan riel adalah perceraian, setelah menikah 2006-2014. Istri ‘jalan sediri’. Saya akhirya memutuskan cerai tahun 2014.”

“Pengalaman terburuk kedua, gagal tampil di Asian Games 1990 Beijing karena jatuh saat latihan di Amerika Serikat, 3 minggu sebelum terbang ke Cina, sehinga harus menjalani perawatan di RS California. Padahal dalam latihan saya telah berhasil memecahkan rekor Asia di nomor sprint.”

“Ketiga, kecewa karena bonus dan penghargaan sebagai pelatih di Asian Paragames 2018 tidak sesuai regulasi Presiden dan konon terstruktur terjadi konspirasi KKN, korupsi dan pemotongan dana secara berjamaah dan pembunuhan karakter sebagai pelatih. Saya dengar, itu terbukti berkat gebrakan Kemenpora membongkar perbuatan sejumlah orang yang melakukan peyimpangan.”

Sejauh mana cinta Mas Puspita terhadap Riries?  “Sangat dalam, karena selalu bersama mendampingi sebagai kawan hidup, juga dalam beribadah. Mudah-mudahan kami sampai ke surgaNya, jannah. Dia berhasil mendidik anak-anaknya dengan ilmu agama, moral, etika dalam keluarga sosial. Pokoknya komplit; psikologis, mental, keuangan , sayang, hormat, discus sharring, mencari solusi semua masalah kehidupan rumah tangga, sampai pada urusan sosial masyarakat dan pekerjaan.”

“Saya telah dua kali menjalani umroh bersama istriku Riries Widya dan almarhumah ibu mertua, Amaniyah. Saya masih ingat, kami umroh tangal 3-28  Februari 2019. Berikutnya umroh di bulan Ramadhan 23 hari,  sampai lebaran di Mekah pada tahun 2024. Kami diberangkatkan oleh anak-anak istriku Riries.”

“Aku, istriku Riries , anak Riries–Hendy Rasyid dan istrinya Anggi–kemudian anak Riries lainnya, Jasmine bersama Ivan suaminya, Aulia Agni, semua bertujuh berangkaat atas biaya umroh dari Hendy yang bekerja di shell. Saya berulang kali sujud syukur di Mekah dan Madinah,” ujar Puspita.

Anak-anak Riries adalah; Yopie kerja Oil Company Pertamina (pria), Jasmine (dokter/wanita), Hendy kerja di Shell (pria) , Adrian kerja di XL (pria), Aulia Agni adalah guru agama dan matematika SD (wanita). “Mereka semua telah mandiri, bahkan kerap membantu kami.”

Anak-anak Riries,  menurut Puspita, sangat sayang kepada Riries dan dirinya. “Operasi ku (terakhir) semua anak-anak Riries yang tanggung melalui mamanya. Cash dibayar anak-anak Riries. Mereka semua baik, hormat dan berbakti  ke mamanya dan saya.”

“Ditanya mengapa dan bagamana sampai saya jatuh cinta kepada Mas Puspita?  Yang pasti Allah Ta’ala membuka  hati  menjadikan saling tertarik. Apalagi waktu itu anak-anak saya sudah bekerja di luar kota provinsi, mereka minta saya untuk menseriusi mencari pasangan ibadah,”  kata pemilik nama lenkap Raden Roro Riza Widya Rohana Roswitasari itu.

“Sebetulnya nama lahir saya Fransiska Agnes Junita Dewi Wulandari. Setelah memeluk agama Islam atas persetujuan bapak, diputuskan memakai nama pemberian Eyang kung saya Raden Roro Riza Widya Rohana Roswitasari. Nama panggilan sejak kecil Riries Widya atau Riries Kusno,  Riries anak Pak Kusno. Saya masuk Islam tahun 1987  di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta.”

Riries merupakan anak ke-5 dari 6 bersaudara, 4 kakak laki-laki dan 1 adik perempuan. “Kami dilahirkan dari seorang bapak dan seorang ibu yang hebat. Ibu yang awalnya seorang guru bahasa Inggris minta mengundurkan diri, total menjadi ibu rumah tangga, demi anak-anaknya.”

Ayah  Riries adalah RM Efram Tjoek Koesno Effendi yang berasal dari Bondowoso, ibu Ninik Amaniyah adalah keturunan campuran Banyuwangi dan Solo. Keduanya menikah beda agama, ibu Islam dan ayah Katolik. Kedua ibu bapak Riries kini telah tiada.

Tercepat di Asia Tenggara

Puspita adalah spriter atau pembalap handal nomor jarak pendek pada nomor track. Dia merupakan sprinter terbaik di dalam negeri dan SEA Games yang merajai event-event bergengsi, seperti kejuaraan nasional, PON, juga di kejuaraan bergengsi Invitasi Nasional Balap Sepeda Khusus Treck yang digelar Siwo PWI Jakarta Raya (Jaya) yang pernah berlangsung 9 kali (tahun) berturut-turut. Dia juga mengukir prestasi, merebut medali, di berbagai event internasional, ASEAN, SEA Games, dan lainnya.

Sukses di SEA Games, 1989 di Kuala Lumpur, meraih medali emas, merupakan gelar yang paling berkesan bagi Puspita, karena dia mengalahkan musuh bebuyutan pemegang gelar juara bertahhan, Rosman Alwi (Malaysia) di nomor 1000 m Inndividual Time Trial (ITT) dan memecahkan rekor SEA Games dan nasional 1 menit 08,60 detik. Hal itu membuat Puspita menjadi yang tercepat di Asia Tenggara, kala itu. Dia mengukuhkan diri sebagai Raja Spinter Asia Tenggara.

Meski sempat mengalami cedera berat akibat musibah korban ditabrak mobil di Brunei, dan otaknya blank, tak ingat apa-apa, semua memori hilang, Puspita beruntung bisa pulih kembali. “Pelan-pelan, ingatan saya bisa kembali dan data-data (ingatan) masa lalu muncul lagi. Untungnya saya dulu rajin mencatat apa-apa yang saya anggap penting. Berkat  dokumenasi yang saya miliki, bantuan istri yang setia Riries Widya, daya ingatnya saya mucul lagi,” kata Puspita.

Adapun hasil pejalanan Puspita di balap sepeda, seperti catatan dan dokumentasi yang dia miliki, adalah sebagai berikut;

Secara Umum:

1978 : Minicross/BMX di Malang

1978 – 1983 : Juara Balap Sepeda Jawa Timur

1983 – 1991 : Pelatnas Balap Sepeda

1991 – 1999 : Pelatih Balap Sepeda Jawa Timur dan Nasional

1999 – 2006 : Pelatih dan Pengurus Pengda ISSI Jawa Timur

2004 – 2006 : Professional Management & Coaching , Marcopolo Team-Holland, Continental Team UCI

Penampilan Internasional:

1983 : Juara. 4 200 m Sprint Kejuaraan Asia Manila.

1985 : Juara 2 200 m Sprint dan 1000m ITT Sea Games Bangkok.

1986 : Peringkat 4 Sprint Asian Games Soul – Korea Selatan

1987 : Juara 2 No. 200 m Sprint dan 1000mITT SEA Games Jakarta

1988 : Juara 1 No. 200 m dan 1000m ITT SEA Games Manila

1989 : Juara 1 No. 1000 m ITT Record 1.08,88” SEA Games Malaysia.

Juara 3 Sprint SEA Games Kuala Lumpur-Malaysia.

1990 : Peringkat 4, 1000 ITT Asian Games Beijing, China

1991 : Juara 1 No.4800 m Massed Start dan Juara 2 No 1000m ITT, SEA Games Manila

Juara 1 No. 1000 m ITT Arafuru Games, Australia, 200m Sprint dan 1600 Massedstart.

*Juga meraih beberapa gelar di nomor jala raya baik di event dalam negeri maupun di luar.

Pencapaian Sebagai Pelatih :

# Sertifkat IOC Cycling Course tahun 1993,1997 dan 2002 (The Best Indonesia Coach)

# Sertifikat UCI World Cycling Center -Aigle Swiss Coaching  Course tahun 2006

# Pelatih balap sepeda Asian Games 2006, Doha, Qatar.

# Pelatih balap sepeda SEAG 2007, Thailand.

Penghargaan :

# Atlit Terbaik Jawa Timur 1984

# Anugerah Bintang Kelas 3 Olahraga  1988

# Atlit Terbaik Invitasi Balap Sepeda Khusus Track SIWO PWI Jaya tahun 1988-1990

Puspita juga meraih sejumlah gelar juara di kejuaaraan yang digelar dalam negeri, seperti perlombaan nomor jalan raya di Tour de ISSI, Tour de Jawa, kejuaraan khusus track termasuk di Invitasi Khusus Track Siwo PWI Jaya pada tahun 1988 hingga1996

Dia juga ingat para pelatih yang pernah menanganinya. Total ada 19 pelatih yang pernah menangani Puspita (1978-1991). Mereka adalah; Empat Pelatih Asing: Hugo Geuns (Belgia), Rinus Langkruis  (Belanda), Otto Altweck  (Jerman), Karen El Roy (AS). 15 Pelatih Indonesia: Pusoro Prawito Iprajim (alm/Malang), Bram Th Suhendra (alm/Malang), Harie van Kempen (alm/Lawang), Santoso (Malang), Tarwi (Surabaya), Sapari (alm/Surabaya), Ruslan (Surabaya), Theo Gunawan (alm/Surabaya), Didi Soedijanto (Jakarta), Hendra Gunawan (alm/Sukabumi), Margono (alm/Jakarta), Sutiono (Medan), Wahyudi Hidayat (alm/Jakarta), Endang Subagio (Jakarta), dan Wahyu Wahdini (alm/Jakarta).

Selain pelatih ada sosok lain yang dirasakan Puspita berjasa atas kiprahnya di balap sepeda. Dia adalah pembalap mobil (otomotif) handal Tinton Suprapto, ayahanda dari dua pembalap mobil Moreno Suprapto dan Ananda Mikola Suprapto, yang sejak tahun 1978 mengangkatnya jadi anak angkat setelah dia juara sepeda mini antar SD di Kota Malang, dalam acara lomba selingan Balap Gokart di Jalan Ijen Kota Malang, yang  diselenggarakan Fakultas Tehnik, Universitas Brawijaya.

Perhatian besar yang pernah dirasakan Puspita selama berkecimpung di balap sepeda, terjadi di era Ketua Umum PB  ISSI Harry Sapto. “Bersama sahabatnya, Pak Sigit Haryojudanto dan Pak Ismet Tahir, perhatian Pak Harry ke balap sepeda benar-benar tercurah. Saya rasakan sangat luar biasa. Tidak hanya pada  saya ketika masih pembalap dan lanjut jadi pelatih, juga terhadap balap sepeda secara keseluruhan,” kata Puspita.

Tidak hanya kebutuhan—peralatan sepeda, program, pelatih, kebutuhan pendukung—tapi sebagai Ketua Umum, Harry Sapto sangat mendengar masukan atau usul dari pembalap. “Beliau mengayomi. Pak Harry mau mendengar usul pembalap, termasuk dalam hal penentuan pelatih asing.”

Puspita termasuk pembalap nasional yang beruntung menjadi pembalap nasional di era serba ada. “Dipanggil ke pemusatan latihan daerah Jatim dengan pelatih Pak Tarwi, hanya terhitung bulan saya sudah di tarik masuk pemusatan latihan nasional (Pelatnas) di Jakarta dan Subang, dan tak lama kemudian melalangbuana ke sejumlah negara untuk latihan, try-out, dan pertandingan.”

Pilihan terhadap pelatih asal AS merupakan hal baru bagi pembalap Indonesia, dan itu terjadi di era Harry Sapto. Era sebelumnya pilihan selalu tertuju pada negara-negara Eropa. “Berlatih di AS dengan pelatih kepala asal AS merupakan permintaan kita para pembalap Pelatnas kepada Pak Harry ketika beliau datang mengunjungi kami di asrama atlet Pelatnas di Jakarta. Eh taunya disetujui,” tutur Puspita.

Puspita yang kini telah menjadi “dokter spesialis” sepeda, dengan merk usaha “dBikeDoctor BikeFitting & Bike Service, mampu memaksimalkan apa yang dia raih sepanjang menjadi pembalap. Ilmu yang diperoleh membuat dia tak perpisakan dari sepeda. Tidak lagi berprestasi sebagai atlet bukan berarti selesai. Dia menekuni karier sebagai pelatih. Apa lagi sertifikat (pelatih) IOC Cycling Course 1993, 1997, dan 2003 dengan gelar The Best Indonesia Coach dan sertifikat High Level Coach UCI telah dia diperoleh.

“Sertifikat saya high level coach UCI dan di Indonesia sampai tahun 2025 hanya baru ada dua orang. Saya harus manfaatkan ilmu yang saya peroleh,” katanya.  UCI adalah Union Cycliste Internationale atau Badan Olahraga Sepeda Internasioal, yang merupakan badan pengatur balap sepeda seluruh dunia.

Puspita merupakan sosok yang mudah beradaptasi, supel, ramah, cepat akrab. Hubungannya terjalin baik, tidak hanya antara sesama pembalap, tetapi juga dengan pelatih, pengurus, pembina, juga dengan masyarakat sekitarnya (lingkungan).

“Dia cepat akrab, mudah diajak komunikasi,” kata seorang wartawan senior yang kerap meliput kegiatan balap sepeda. Dia juga rajin menjalin silaturahmi. “Pernah suatu ketika, tanpa janjian lebih dulu, tiba-tiba dia telah berada di kantor saya, hanya sekadar omong-omong. Itulah Puspita,” kata wartawan senior itu.

Bagi Puspita tak ada musuh, semua teman, termasuk mantan pembalap yang perah mejadi musuh bebuyutan sekalipun. “Saya masih rutin berhubungan dengan Puspita melalui WhatsApp atau Fasebook. Dia seorang yang berdidikasi, ramah, penuh semangat, dan tidak cepat menyerah,” kata Rosman Alwi, mantan pembalap andalan Malaysia yang pernah menjadi saingan terberat Puspita di arena track kawasan Asia Tenggara.

Antara kedua pembalap ini saling mengikuti perkembangan kehidupan mantan saingannya itu. “Saya merasa terkejut akan peristiwa ketika beliau kemalangan bersama anak buahnya (pembalap), sehingga saya contact teman-teman di Indonesia.  Ingin tahu cerita dan perkembangan beliau,” tutur Rosman, ketika mendengar kabar Puspita mengalami kecelakaan, ditabrak mobil saat mengawal pembalap Brunae berlatih.

Karena saking ingin tahunya kondisi Puspita, ketika itu, Rosman menghubungi sejumlah temannya, sesama pembalap di Indonesia. “Contact saya ketika itu pembalap namanya Astra Sellapan, Nurhayati, dan beberapa orang lagi,” kata Rosman.

Nggak Neko-Neko

Dokter spesialis olahraga, dr Hario Tilarso, Sp.KO, yang juga lama dipercaya sebagai pengurus teras di organisasi balap sepeda nasional (PB ISSI), sejak era Keua Umum PB ISSI Mayjen (Purn) Drs Gatot Suwagio, kemudian di periode Ketua Umum Harry Sapto, menilai Puspita merupakan pembalap yang mudah diarahkan. “Dia tidak neko-neko,” katanya.

“Rajin, gigih. Hasilnya tampil baik di sejumlah event, termasuk mampu mempertajan rekor Asean (SEA Games), di nomor nomor 1000 m ITT, sekaligus meraih medali emas,” katanya. Prestasi tersebut diukir Puspita di SEA Games 1989 di Kuala Lumpur, saat mengalahkan Rosman Alwi di hadapan publiknya sendiri (Malaysia).

Puspita, menurut penilaian dr Hario, orangnya enak, nggak sombong, enak diajak komunikasi. Memiliki kemampuan lebih, tidak hanya ketika sebagai pembalap, tetapi juga setelah meningkat mejadi pelatih.

“Dia tidak malu bertanya jika tidak memahami, termasuk setelah dia membuka jasa konsultasi bersepada yang baik dan sehat. Dia juga kerap bertanya pada saya,” kata dr Hario.

Puspita memang ‘tidak bisa diam’. Dia selalu berusaha memanfaatkan peluang, demi kemajauan di bidangnya. Tahun 1993, 1997, dan 2002 dia meraih sertifikat IOC Cycling Course dan terpilih sebagai The Best Indonesia Coach. Setahun sebelum mengalami kecelakaan di jalan raya, dia adalah  pelatih balap sepeda nasional, untuk SEA Games 2007 Thailand.

Hario Tilarso merasa sedih ketika Puspita mengalami kecelakaan saat melatih pembalap Brunei Darussalam. “Saya prihatin, karena saya dengar dia mengalami cedera berat. Syukur bisa berangsur pulih. Harapan saya. Semoga Puspita masih terus aktif di dunia sepeda.”

Hario Tilarso berpendapat, para pembalap, pelatih, dan pembina balap sepeda nasional,  pada era Ketua Umum PB ISSI Harry Sapto sangat beruntung, karena kondisi balap sepeda Indonesia secara umum sedang sangat baik-baiknya. Bahkan boleh disebut sebagai zaman keemasan. Puspita, dikatakan termasuk yang berutung, karena sepanjang kirprahnya sebagai pembalap sepeda semua berjalan baik. Tak ada kendala.

Memang kala itu ISSI tidak mampu meraih medali emas di arena Asian Games, seperti dicapai tahun 1962 di Asian Games Jakarta (2 emas). Namun secara keseluruhan balap sepeda mengalami kemajuan luar biasa. Tidak hanya di nomor jalan raya Indonesia bisa “bicara” tapi di nomor track juga maju pesat. Bahkan velodorme baru dibangun di mana-mana.

Hario Tilarso Sp.KO adalah dokter spesialis kesehatan olahraga dengan pengalaman lebih dari 28 tahun. Sekarang beliau praktek di RS Premier Bintaro. Pernah sangat aktif dalam kegiatan olaraga di negeri ini. Selain di cabang olahraga balap sepeda, dr Hario juga dipercaya sebagai pengurus/pembina di banyak cabang olahraga lainya. Selain sebagai Ketua Umum Perkumpulan Pembina Kesehatan Olahraga (PPKORI), dr Hario adalah anggota Federation Internationale de Medicine and Sport (FIMS), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan Perimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga (PDSKO).

Hario tidak salah menilai bahwa balap sepeda Indonesia di bawah pimpinan Harry Sapto merupakan zaman keemasan, sejak Ikatan Sport Sepeda Indonesia itu berdiri pertamakalinya 20 Mei 1956 di Semarang. Untuk memperkuat penilaian dr Hario kita bisa menelusuri perjalanan prestasi para pembalap sepeda nasional di era kepemimpinan Harry, sahabat dekat putra putri Presiden Soeharto itu.

Harry Sapto memulai kiprahnya di PB ISSI ketika prestasi pembalap Indonesia memprihatinkan. Terlebih untuk nomor track pembalap Indonesia benar-benar tidak dianggap di dua kali pelaksanaan pesta olahraga antar negara Asia Tenggara, SEA Games, tahun 1985 dan 1987. Padahal sebelumnya prestasi pembalap Indonesia cukup disegani di kawasan Asia Tenggara. Sebut saja SEA Games 1977  di Kuala Lumpur dan SEA Games 1979 di Jakarta, pembalap Indonesia mengukir prestasi emas. Misalnya tahun 1977 emas nomor 4.000 m individual pursuit diraih Sutiyono dalam waktu 5.54,515 detik.

Kemudian di SEA Games 1979 tim 4.000 pursuit yang terdiri  dari Sutiyono, Rudy Gumulya, Yappi Prakasa, dan Fany Fatulla, juga meraih emas dengan catatan waktu 5.15,042 detik. Sutiyono juga mengulang sukses di nomor 4.000 m individual pursuit, bahkan dengan catatan waktu lebih baik, 5.32,512 detik. Di dua SEA Games berikutnya pembalap track Indonesia tanpa emas.

Apa yang salah. Harry Sapto rupanya mengerti, paling tidak dia mendapat masukan dari para pengurus yang dipimpinya, tentang segala kekurangan yang membuat prestasi pembalap Indonesia merosot. Sejak awal memimpin dia memutuskan memprioritaskan pemusatan latihan, mengirim pembalap try-out dan berlatih di luar negeri. Bahkan mulai tahu 1990 dia membangun sejumlah lintasan track (velodrome) baru di berbagai daerah, melengkapi dua dua velodrome yang telah ada, di Rawamangun Jakarta dan Semarang yang direnovasi. Velodrome baru dibangun di Cisangkan, Cimahi (Jabar), Makassar (Sulsel), Padang (Sumbar), Surakarta (Solo), dan Malang.

Hasilnya sebenarnya sudah kelihatan di SEA Games Malaysia 1989, di Ipoh. Puspita meraih emas 1.000 m ITT. Kemudian Kalimato Tulus Widodo menyumbangkan medali emas dari nomor 1.000 m sprint. Nurhayati di bagian putri juga meraih emas dari nomor 1.000 m ITT. Sementara di nomor jalan raya (road), prestasi pembalap Indonesia juga meningkat. Bahkan di SEA Games  1987 di Jakarta, pembalap putri Rida Farida mempersembakan emas nomor open road race, serta pembalap road lainnya berjaya di beberapa event.

Tahun 1990, di Asian Games Beijing,  Nurhayati memperlihatkan prestasi menggembirakan di nomor 1.000 m ITT. Dia meraih medali perunggu. Menyelusuri pencapaian pembalap sepeda di negeri ini, tidak salah bila era kepengurusan Harry Sapto disebut sebagai zaman keemasan.

ISSI di era itu selain berhasil mempertajam prestasi pembalap senior, juga mampu melahirkan banyak pembalap muka baru. Puspita misalnya,  di Pelatas,  selain tergabung bersama sejumlah pembalap senior; Sutiyono, Fanny Gunawan, Gatot Sanjaya, Moh. Yusuf, Fanny Fatulla, Josef Loemena,  juga ada atlet seangkatan dan juniornya, seperti; Ian Tanujaya, Mochamad Handy, dua bersaudara Ronny dan Robby Yahya,  Wiratno, Ungut Kim Hong, Henry Setiawan, Hengky Setiawan, Kalimato Tulus Widodo (alm), Nurochman, Muliawarman, Astra Sellepan, Herry Janto, Danny Achmad, Dadang Haris Purnomo, Andry Sudrajat, Maruki Matsum, Suwandra, dan banyak lagi.

Di bagian putri juga terdapat sejumlah pembalap yang mampu bersaing di arena Asean dan event iternasional, seperti; Farida, Nurhayati, Bonny Soekardi, Netty Yahya. Pembalap muda juga bermunculan; Alfi Dwiningrum, Selly Guntari, Nuraini, serta lainnya.

Dalam upaya memberi pengalaman bertanding kepada pembalap, Harry Sapto tidak hanya mengirimkan mereka ke berbagai negara, try-out atau berlatih, tetapi dia juga menggelar berbagai kejuaraan di dalam negeri. Selain ada Tour de Indonesia, Tour de Sumatera, Tour d’ ISSI untuk nomor road (jalan raya), dia mendukung gagasan wartawan olarahraga Jakarta menggelar Invitasi Nasional Balap Sepeda Khusus Trek, yang sempat 9 kali terselenggara, 1988 – 1996.

Suka Berbagi

 “Orangnya baik, suka berbagi. Dia puya kelebihan dalam sprint, rajin berlatih, dan tidak  megeluh,” kata Ian Tanujaya, pembalap yang oleh teman-temannya di Pelatnas dipaggil sebagai kapten, ketika ditanya tentang Puspita.

“Ian memang kerap ditunjuk sebagai kapten tim untuk perlombaan,” kata Puspita.

Sikap Puspita, menurut Ian, terbuka, mau diingatkan dan kadang megingatkan dan membantu teman. Dia tidak usil. Sangat menghargai senior-senior, tekun, mau terus menimba ilmu kepada senior.

“Kami mulai masuk Pelatnas (pemusatan latihan) setelah Tour de Jawa 1983. Kemudian bareng terus di Pelatnas,  persiapan SEA Games 1985, kemudian try-out ke Belgia dan Belanda, terus ke Italia mengikuti kejuaraan dunia 1985. Tahun 1986 kami kembali dipanggil ke Pelatnas,  berlatih di Jerman, untuk persiapan Asian Games Seoul,” kata Ian.

Ian mengaku sangat akrab dengan Puspita. “Bahkan semasa di Jerman, setiap selesai latihan kami saling pijat.”

Persahabat telah terjalin baik, membuat Ian sangat kaget begitu mengetahui Puspita mengalami musibah, ditabrak mobil hingga cedera parah, ketika melatih pembalap sepeda Brunei 2008. “Saya khawatir tidak bisa sembuh, tidak 100 persen normal kembali, karena kabarnya keadaan Puspita begitu parah. Nyatanya Tuhan berkehendak lain.”

Ian juga ikut prihatin ketika pernikahan Puspita dengan istri pertamanya gagal, bercerai. “Dengan istri kedua sekarang saya dengar berjalan baik. Mudah-mudahan bahagia,” kata Ian yang hingga kini masih kerap komunikasi dengan Puspita

Lalu apa saja hasil dicapai dari latihan dan uji coba di berbagai negara untuk nomor road (jalan raya)?  Sejumlah medali emas berhasil diraih, kata Ian, seperti di SEA Games Thailand 1985, SEA Games Jakarta 1987, dan SEA Games 1989, ketiganya dari nomor 100 km TTT (tim). Sedang Asian Games Seoul 1986, berada di posisi ke-4, juga di 100 km TTT.

Lalu di nomor perseorangan Ian pernah meraih apa? Dia meyebutkan sejumlah pencapaian, seperti juara pertama etape 3 di Tour de Jawa 1989, runner-up di Tour d’ ISSI Sumbar, runner-up Tour Jemputan Wilayah Malaysia 1983, runner-up  Alphen Tropy Junior, lalu pada PON  XII di Jakarta meraih medali emas beregu. Hasil yang sama dicatat di Tour d’ ISSI  Jakarta-Surabaya.

“Ya, era Pak Harry ketua umum ISSI adalah  zaman keemasan balap sepeda Indonesia, atlet banyak dikirim ke luar negeri untuk latihan dan bertanding, semua diperhatikan. Benar, Pak Harry Sapto merupakan Ketua Umum PB ISSI terbaik sepanjang sejarah,” tutur Ian.

Penghargaan dari pemerintah? “Ada. Era Menpora Andi Malarageng (2009-2012) dapat rumah, dalam bentuk uang Rp 125 juta, ketika Menpora adalah Imam Nawawi (2014-2019) uang Rp 40 juta,  kemudian sekali bantuan supersemar, serta beberapa piagam,” kata Ian.

Alhamdulillah Aman

 Lalu bagaimana kondisi Pupsita saat ini? “Alhamdulillah, kesehatan dan kehidupan sehari normal. Tensi 120-130/80an, gula darah jantung dan lain-lain aman. Juga cara berpikirku dan respon motorik lebih cepat, tepat, akurat,” kata Puspita.

Namun, kata Puspita lagi, namanya organ tubuhku yang perlu alat bantu, sudah pasti akan ada  ganti alat bantu yang ditanam di otakku. Tapi tentunya dengan durasi waktu lebih pajang (dibanding sebelumnya). Prediksi dokter up 15-20 tahun.”

Waktu operasi otak ke-4, di Kota Malang,  Januari 2024, kata Puspita, istrinya Riries atas saran dokter Farhad {Dr. dr, Farhad Balafif, Sp, BS (K) FICS}, spesialis bedah syaraf sub hidrosefalus di RS Persada, membeli pompa selang pv shunt tekhnologi terbaru.  “Computer RAM nya sudah tertinggi dan bisa diatur flow nya matic tergantung sikon kebutuhanku dengan sensor khusus, didukung alat pompa pv shunt terbaru,” kata Puspita.

Biaya rutin pengobatan oleh 5 dokter spesialis, pendukung medis MRI, Scan brain, dan lainnya, menurut Puspita, juga dibantu oleh anak-anaknya Riries.

Hanya berdua Riries, karena anak-anak mereka telah mandiri, kini Puspita menetap di Kota Malang. “Kami menikmati hidup di kampung halaman, di Malang. Sedang bengkel saya di Surabaya, Alamat Fifteen Cafe, Jl. Lombok 15 Surabaya. Bengkel didalam cafe milik rekan sepeda. Selain  punya cafe dia juga mekanik.” Puspita tinggal bolak balik bila diperlukan, seperti ke kota-kota lainnya.

Kondisi terbaru pasca operasi ke-4 membuat Puspita makin leluasa menjalankan usaha. “Untuk  work shop dan bike fitting, selain ada di Surabaya, saya buka bike fitting berdasar undangan.  Baik untuk kepentingan prestasi atas permintaan ISSI kota atau provinsi,   maupun atas undangan keluarga, komunitas, group sepeda beranggotakan 10 sampai ratusan orang, baik antar kota antar provinsi. Selain antarpulau, ke luar negeri pun oke. Apakah itu untuk menangani pembalap yang akan ikut event prestasi porda, porprov, pon, event Asean Games dan lainnya. Bakan juga bagi penggemar sepeda untuk kesehatan.”

Puspita mampu memaksimalkan kemampuanya sebagai mantan pembalap sepeda nasional. Ilmu yang diperolehnya benar-benar dimanfaatkan. Sertifikat IOC Cycling dengan gelar The Best Indonesia Coach dan sertifikat High Level Coach UCI, tidak hanya menjadi pajangan di dinding tempat usaha, tetapi digunakan untuk kepentingan olahraga sepeda itu sediri.

Puspita benar-benar tidak terpisahkan dari sepeda. Didukung istrinya Riries dia sukses melatih pembalap di ASEAN Para Games 2017 Kuala Lumpur, Malaysia. Tim balap sepeda berkemampuan khusus/penyandang disabilitas (atlet para-cycling) Indonesia itu meraih 2 emas, 3 perak, dan 7 perunggu, hasil dari empat pembalap yang disertakan. Kemudian tahun 2018, di event  Asian Para Games 2018, di Jakarta, 1 medali emas, 8 perak, dan 8 perunggu bisa disabet.

Puspita kini telah menjadi “dokter” sepeda, dengan merk usaha “dBikeDoctor BikeFitting & Bike Service. Dengan lancar dia kerap berujar; “Sepedamu di bikefitting dulu sebelum melakukan latihan. Apapun jenis sepeda atau kegiatannya, apakah  RoadBike, TT Bike ,Triathlon Bike, MTB CC Track Bike. juga sepeda Fixie. Puspita mempermudah siapa saja ingin berkeinginan megunakan jasanya. Silahkan WA ke Bike Fitting & Konsultasi

0882009270795, atau ke #dbikedoctor46 #dbikecoachpuspita #coachpuspita #roadbikeindonesia #roadbikesurabaya #roadbikemalang #ucicyclingworld,” tuturnya setengah berpromosi.

“Alhamdulillah degan bike fitting saya edukasi pentingnya bike fitting dan berolahraga sehat lewat sepeda. Konsultan bersepeda kan ada hubungannya degan ilmu kepelatihan saya. Termasuk cara latihan bagi pemula hingga atlit, pria wanita, usia muda  hingga usia 80 tahun,” kata Puspita.

Bike fitting termasuk untuk rehabilitasi skoliosis atau tulang punggung bengkok. Menjadikan bersepeda aman, nyaman, tanpa sakit. Banyak yang diperbaiki, seperti posisi tangan di drop bar, cara menyikapi  long ride, tanjakan, tempo, sprint. Semuanya diperlukan posisi yang tepat. “Sesuaikan sesering mungkin berdasarkan profil rute agar tidak terjadi kesemutan, kebas, mati rasa, yang sering disebut sebagai cycling palsy, pada tapak tangan, lengan. Dan lainnya. Kalau masih kurang nyaman hubungi fitter.”

 Re fitting, menurut Puspita, bisa dilakukan dimana saja, di sela-sela megikuti touring Surabaya – Jakarta misalnya. Dengan begitu,  bentangan rute bisa ditaklukkan dengan nyaman. “Bike Fitting wajib dilakukan agar nyaman, aman, menghindarkan dari cidera otot, saraf,” katanya.

Bike fitting juga berperan dalam menyesuaikan anatomi rider dan menjadi terapi untuk sehat jangka panjang, serta kenyamanan, dan rasa aman. Bike Fitting, kata Puspita, bersama Puspita bergaransi, tanpa mahal. Sadel, rpm, power, sadel, semuanya disesuaikan dengan masing-masing pengguna.

“Hidup itu simpel: Sayangi yang menyayangimu, hormati yang menghormatimu, hargai yang menghargaimu, dan lupakan yang melupakanmu.” Itulah prinsip atau bagian pedoman dalam menjalani hidup bagi Puspita.***(Djunaedi Tjunti Agus)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru