seseorang yang menuntun unta jantan. Lehernya yang jejang menopang kepalanya yang terayun ritmis mengikuti langkahnya yang gagah. “Wah unta yang perkasa,” batin Ali sembari memberi jalan.
Bukannya terus berjalan si penuntun unta justru menghampiri dirinya yang tengah mengagumi unta yang dituntun,
“Wahai Kisanak,saya akan menjual unta ini. Apakah Kisanak berminat ?, tanya si penuntun unta.
Bukan hanya berminat saya justru sedang mengaguminya, batin Ali. Agak tergagap. Ali menyahut ” Ya..ya tapi…..,”.
Belum sempat menyelesaikan jawabannya si penuntun unta melanjutkan tawarannya. ” Saya memang mau menjual unta ini. Tapi tidak terlalu membutuhkan uang cepat. Jadi boleh bayar belakangan,” ujarnya sembari tersenyum. Seakan ia bisa membaca bahwa Ali sedang bokek hari itu.
Belum selesai gagapnya, Ali tambah bingung. Ini orang, belum ditawar sudah menjual, belum dibeli sudah dikasih. Pedagang macam apa ya. Sambil berpikir cepat Ali menaksir harga unta dengan kelas premium ini pasti tak kurang dari 300 dirham.
‘”Kisanak, Anda boleh membeli unta ini dengan harga 100 dirham. Itupun bayarnya nanti-nanti juga nggak apa-apa,” katanya.
” Apa…. 100 dirham ? Bayar belakangan ?,” Susul menyusul pertanyaan terbetik dihatinya.
Seperti rentetan teka-teki berkecamuk tanpa ada kesempatan menjawabnya. Si penuntun unta tiba-tiba saja sudah meletakkan tali pengikat ditangannya. ” Nanti bayar saja kalau sudah ada uang,” katanya sambil berlalu.
Sekarang teka-teki itu benar-benar menjadi batu. tak terjawab. Karena tak perlu jawaban, sebab misteri masih belum selesai.
Masih memegang tali unta Ali melanjutkan langkah yang tak bertujuan. Kini pikirannya mulai berkecamuk…100 dirham……bayar belakangan. Sembari tiap sebentar mendongakkan kepalanya menatap unta yang berjalan anggun di belakangnya.
Tapi yang ia tatap bukan unta. Melainkan seseorang yang menghadang jalannya. Sama anggunnya, tapi yang ini lebih rapi dengan sorban dan jenggot subur seperti tanaman kurma di lembah. Lebih kaget lagi, ternyata pria gagah ini mengenalinya’
” Cantik sekali untamu, wahai Aba Hasan,” sapa pria rapi itu.
“Apakah engkau mau menjual kepadaku,: sambungnya lagi. :Berapa ?,”
Ali memang mempunyai anak bernama Hasan dan Husein. Tapi ia dikenal lebih akrab dengan Aba Hasan, ayahnya Hasan. Seperti kebiasaan suku nya yang selalu menyebut sebagai bapak anaknya.
“Iya saya mau menjualnya,” sambil teringat angka yang pernah tersirat ketika pertama kali melihta unta ini.
” 300 dirham…,”sebutnya spontan
” Jadi !,” jawab si pria tanpa menawar sambil mengulurkan tangan
Teka-teki mulai mencair. Tetapi belum sepenuhnya terjawab. Kepada Fatimah, isterinya ia menceriterakan kronologisnya. Tentu saja Fatimah gembira, meski tak tahu juga rahasia kejadian ini.
Maka keduanya sepakat untuk mengadukan pengalaman anehnya ini kepada mertuanya
Ali melanjutkan perjalanannyanya. Tapi kini tujuannya lebih jelas, rumah mertuanya.
Ia ingin mengadukan pengalaman aneh yang baru saja dilewatinya. Ia ingat jam-jam sesudah lohor begini mertuanya masih di masjid. Maklum rumah mertuanya memang ditembok masjid.
Benar, baru sampai di halaman masjid mertuanya sudah tersenyum melihat ia bergegas. Setelah bertukar salam justru mertuanya mendahului berkata. ” Saya atau kamu yang bicara ?.” tanyanya.
” Ayahanda sajalah, silakan,” kata Ali
“Hai,Abu Hasan , tahukah engkau siapa orang yang menjual unta dan pria yang membeli untamu itu?”
“Tidak,” Ali menggeleng.
“Berbahagialah kamu. Kamu telah meminjamkan 6 dirham kepada sesorang dengan ikhlas. Allah membalas keikhlasanmu dengan kontan, ” kata mertuanya.
“Pria pertama yang menjual unta itu adalah Jibril, dan yang kedua, yang mebeli untamu itu Mikail.” kata Rasulullah
Ali tidak menyangka kalau Badui kumuh yang meminjam 6 dirham dengan baju seadanya adalah malaikat dan Badui kedua yang baik hati adalah malaikat juga.
Ya benar. Ali dalam kisah ini adalah Ali bin Abi Thalib, suami Fatimah, putri Muhammad Rasulullah. Mertuanya? ….Ya Rasulullah. “Subhanallah,” kata Ali setelah teka-teki Ali tu terpecahkan. ( Ahmad Istiqom)