MIMBAR-RAKYAT.com (Garut) – Ketua Umum Asosiasi Daerah Penghasil Panas Bumi Indonesia (ADPPI) Hasanudin mendukung langkah Serikat Pekerja Nasional Chevron Indonesia (SP-NCI) menuntut hak dalam proses Chevron mundur sebagai operator Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Salak Bogor dan Darajat Garut.
Hal itu menurut Hasanudin, berdasarkan UU No21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi sementara penyelenggaraan panas bumi untuk pemanfaatannya tidak langsung menjadi kewenangan pemerintah.
Artinya, segala hal yang berkenaan dengan pemanfaatan panas bumi saat ini menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Baik regulasi, manajemen pemanfaataan Sumber Daya Alam (SDA) panas bumi maupun pengawasannya.
Untuk itu, menurutnya, salah satu persoalan mendesak yang harus disikapi Ditjen EBTKE yakni mundurnya Chevron dari Lapang Panas Bumi Darajat dan Salak, yang saat ini mulai memicu kegaduhan sehingga berpotensi menjadi persoalan hukum dan menimbulkan citra negatif usaha panas bumi dimasa mendatang.
Hasanuddin menjelaskan, perlu diluruskan terkait mundurnya Chevron dari PLTP Darajat (270 MW) dan Gunung Salak (377 MW). Pemerintah seharusnya tidak melihat hal tersebut dalam perspektif divestasi, tapi mundur sebagai operator. Hal itu tentu berbeda prosedur dan tata caranya.
Dalam perspektif divestasi pemerintah (Negara) dapat dirugikan. Karenanya, pemerintah harus dapat menjelaskan bahwa PLTP Darajat dan Salak adalah asset pemerintah (Pertamina) melalui perjanjian kerjasama Joint Operation Contract (1984) atau Kerjasama Operasi Bersama (KOB). Dimana Pertamina sebagai pemilik WKP dan Chevron sebagai Operator.
” Keputusan Chevron mundur dari PLTP Darajat dan Salak itu sama artinya mundur sebagai operator,” sebut Hasanuddin.
Hasanuddin menambahkan, mengenai asset ast PLTP, tentunya harus dibicarakan secara komprehensif antara Chevron dan Pertamina. Bukan malah sebaliknya, Chevron dibuka akses untuk melepaskan sahamnnya melalui prosedur divestasi, dengan diberikan izin perusahaan membuka data untuk proses pelepasan asset.
” Saat ini proses memasuki tahap penawaran bagi peminat dan terjadi ketidak pastian pengelolaan SDM di dua lapang panas bumi tersebut. SP-NCI menuntut kepastian penyelesaian pembayaran pesangon yang sudah lebih dari enam bulan,” beber Hasanuddin.
Bahkan rencananya Chevron akan memindahkan pekerja dari unit bisnis lain non geothermal. Hal itu tidak saja sebagi bentuk lempar tanggung jawab pembayaran, tetapi akan menimbulkan persoalan manajemen operator di dua lapang panas bumi.
Sudah saatnya Ditjen EBTKE menjalankan kewajibannya secara profesional dan bertanggung jawab sebagaimana amanat UU No21 Tahun 2014 sebagai pemegang kewenangan.
Kewenangan tersebut yakni, menghentikan sementara proses yang dilakukan Chevron dalam penjualan asset negara PLTP Darajat dan PLTP Salak, sampai dengan adanya ketentuan prosedur dan tata cara mundurnya operator sekaligus meminta Chevron menjalankan kewajibannya menyelesaikan masalah ketenaga kerjaan dalam waktu cepat. (Yat R/KB)