Thursday, May 01, 2025
Home > Cerita > Pupus Cerpen Andi Dasmawati

Pupus Cerpen Andi Dasmawati

Ilustrasi - Si Pupus, kucingku yang hilang. (lakako.com)

Kucing kecil berkaki pincang dan mengeong di pintu pagar menyentak kesadaran Rossa untuk berhenti membaca. Tubuhnya kurus, ringkih dengan bulu hitam dan putih.
“Itu tergilas roda pagar kita. Makanya jalannya begitu,” suara Al di belakang Rossa.
“Oh. Kasih makan dong. Dosa kita kalau dia terlantar.”  

Rossa berdiri dan ke luar ke teras. Kucing kecil itu menatapnya penuh harap semoga ada makanan untuk rejekinya hari ini.

Mulanya Rossa memberinya sisa makanan di sudut lapangan depan rumah. Biasanya si cantik berambut panjang itu mengalasinya dengan sobekan kertas koran. Tulang ikan atau ayam dan nasi. Kucingnya lahap saja tanpa perduli    makanan itu enak atau tidak. Lama kelamaan, dia merasa dekat dan sadar diperhatikan, Kucing itu mulai berani    masuk rumah. Piring kecil bergambar Hello Kitty berpindah menjadi barang pribadi miliknya.

Mama memberinya nama Kiko. Dia menjelma menjadi kucing cantik dan wangi. Hampir tiap sore Rossa memandikan dan memberinya baby shampoo. Bila diberi shampoo lain, bulunya agak rontok. Makannya pun tak lagi sisa makanan. Dia mulai pilih-pilih. Tak mau makan nasi dan sangat menyukai keju parut. Kiko akan mengejar bila ada yang makan roti keju dan tidak mau berbagi dengannya.

“Pupus! Jangan nakal! Teriakan Rossa bergema di ruang tamu. Terlihat Kiko sedang mencakar kursi dan tidak perduli. Gadis itu meraih dan menggendongnya dengan penuh sayang.

“Makanya dia nakal. Kamu tidak pernah menghukumnya,” kata Al sambil berlalu membuka kulkas. Pasti ia mau membuat susu yang diblender dengan bongkahan es.

“Dia masih kecil. Mana ngerti diajarin?” Rossa mengelus Kiko yang kesenangan.
“Kata Mama, namanya Kiko. Bukan Pupus,” Al mengangkat bahu.
“Kiko susah manggilnya. Pupus lebih enak.” Rossa menggapai tangga dan membawa kucing kesayangannya ke lantai atas.

Tak ada lagi yang memanggilnya Kiko. Semua penghuni rumah jatuh cinta padanya. Pupus jarang ke luar rumah sehingga bulunya selalu bersih. Bila ada kucing lain mencoba masuk, Pupus akan berang dan mengusirnya pergi. Kaki kanannya tetap saja pincang. Nasibnya sudah seperti itu.

“Bawa aja ke dokter biar diamputasi, Rossa.” Saran Mer yang juga penyuka kucing. Mer memiliki banyak kucing dan besar-besar. Salah satunya telah diamputasi. Sofa di rumah Mer juga banyak sobek karena dicakar. Rossa tak ingat lagi nama-nama kucing Mer selain Fluffy. Tunggu dulu. Gadis itu meraih telepon pintarnya dan memulai percakapan via Whatsapp dengan Mer.

Tak ada jawaban. Mungkin karena hari Minggu dan merupakan hari paling santai sedunia, Rossa tak lagi menunggu. Masih tidur barangkali?

Sebelum Pupus tinggal di rumah ini, Rossa memelihara kelinci bernama Michael. Bulunya pun hitam putih dan   bertingkah sangat lucu. Michael pintar dan menyenangkan. Yang asik, Michael menyukai minuman bersoda. Bila mampir di restoran, Michael akan menjadi pusat perhatian para pengunjung. Ia akan duduk tenang di meja dan menyeruput minumannya sendiri. Kelinci satunya lagi berlabel Raphaella. Sama seperti Michael, Raphaella berbadan besar dan berbulu bersih. Mereka berdua sering tertidur di sofa, bukan di kandang seperti hewan lainnya.

Berbeda dengan Rossa, binatang peliharaan itu tak berani pada Al. Saudara lelaki Rossa itu kadang menjentik kuping Michael bila tak mau dilarang. Apalagi Pupus. Ia akan tertunduk bila dimarahi dan memasang wajah memelas.
“Kenapa sih dimarahin terus?” Rossa merengut
“Kamu terlalu memanjakan. Makanya dia berani mencakar,” Al menunjuk punggung tangan Rossa yang tergores.
“Ah, kamu aja yang galak.”
“Tapi dia mana mau nyakar aku?” tawa kemenangan di wajah Al.

Rossa paling suka makan ayam goreng di restoran Jalan Pengayoman. Selain enak, gadis itu tak sungkan membungkus sisa-sisa ayam bahkan dari meja pengunjung lain. Biasanya karyawan rumah makan itu akan membantunya dan memberinya plastik kemasan. Pupus sangat menyukainya.
“Nggak malu bungkus sisa makanan?” Al menertawai kakaknya.
“Nggak!” Rossa menjawab cuek. “Kenapa malu?”
“Nggak apa-apa sih. Sekalian belajar jadi pemulung,” goda Al masih terkekeh.

Rossa tidak perduli. Sepanjang untuk kesenangan Pupus apapun dilakoninya. Bila sesekali kucingnya main di luar rumah dan terjatuh di got, gadis itu akan senang hati memandikannya. Tak jarang Rossa mengeringkannya dengan hair dryer. Untung dia tak pernah memakaikan catok pelurus rambut. Bisa mengamuk Si Pupus bila kulitnya terkena benda panas itu.

***
Memasuki usia tiga bulan, Pupus sudah berani main di luar. Kadang pergi satu atau dua jam dan kembali dengan bulu-bulu penuh pasir. Sekali waktu dia pulang dengan badan luka-luka. Ternyata dia berkelahi dengan kucing lainnya. Rossa akan memandikan dan mengoleskan obat merah. Pernah pula kaki pincangnya berdarah-darah dan meninggalkan jejak di seluruh pelosok rumah. Tentu saja seisi rumah ikut sibuk mengobatinya dan ribut mau membawanya ke dokter.

Sayang sekali nomor telepon Dokter Rahadi telah hilang. Sewaktu Michael dan Raphaella masih kecil dan sering sakit, Rossa akan membawanya ke sana. Pernah pula mereka menunggu di perempatan Jalan Hertasning karena Dokter Rahadi sedang dalam perjalanan dan akan melewati jalan itu. Dokter akan memberinya obat yang diteteskan di mulut dan ternyata sangat manjur.

“Kata Is, ada klinik hewan juga di Boulevard?” kata Al prihatin.
“Tapi siapa yang antar? Semua orang pada sibuk.”
“Rabu Is nggak kuliah, kita pergi bareng dia.” Al berjongkok memegangi kaki Pupus yang telah dibaluri obat merah.
“Rabu masih lama.” Rossa merengut tak sabar.

Saat rumah ini akan direnovasi karena atapnya mulai bocor, mereka semua harus pindah. Barang-barang dikemas dalam koper-koper besar dan kardus. Tentu saja benda paling penting di muka bumi ini adalah Pupus. Dia mengamuk dan menolak masuk ke dalam mobil. Rossa mulai kehabisan akal dan hampir menangis membujuk Pupus. Sesampai di tempat tujuan, Pupus tak mau turun. Ia mencengkeram karpet di bawah kursi supir. Di bawah terik matahari Rossa membuka pintu mobil dan membujuknya. Tetap tak mempan. Pupus sepertinya ketakutan dan membuat iba siapa pun yang melihatnya.
***
Bulan ke empat setelah pindah, Pupus menghilang. Lenyap bagai ditelan bumi. Semua teman-teman dikerahkan mencarinya di seputar kompleks perumahan.

Penjual es keliling, penjual ikan dan sayur langganan, bahkan tukang tagih retribusi sampah telah ditanyai. Ciri-cirinya diterangkan secara detail. Tak seorang pun pernah melihatnya. Kesedihan, kerinduan, rasa kasihan berbaur satu. Bermacam-macam pikiran buruk menghantui. Bagaimana kalau Pupus tidak tahu jalan pulang? Atau dia digilas mobil? Mungkin ada penyuka kucing yang jatuh cinta padanya dan memeliharanya? Semua rumah kosong telah dimasuki dengan harapan Pupus kembali. Tetapi Pupus raib entah ke mana.

Terbersit untuk melapor kehilangan di kantor polisi Makassar Timur. Rossa menimbang-nimbang. Tapi apa iya Pak Polisi tidak mengernyitkan kening akan laporannya?

Video Pupus sedang bermain tali dan jatuh dari tempat tidur, foto-foto Pupus terbalut handuk bergambar bendera negara Paman Sam dan masih banyak lagi dokumentasi lain membuat kerinduan orang-orang dekatnya terpelihara dengan baik.

Kucing pincang nan cantik. Adakah yang telah menemukannya?

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru