Mimbar-Rakyat.com (Bangkok) – Ratusan juta anak-anak dan orang dewasa di kota-kota Asia yang berkembang pesat mengalami kekurangan gizi, dan akan tetap begitu jika tidak dudukung perencanaan kota inklusif, berkelanjutan dan peka terhadap gizi.
Hal tersebut diungkapkan pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa, Jumat (2/11), di Bangkok. Alasannya, wilayah Asia-Pasifik memiliki tingkat urbanisasi tertinggi di dunia, juga menjadi rumah bagi lebih dari separuh dari 821 juta orang yang kekurangan gizi di dunia. Demikian dilaporkan Al Jazeera.
Empat badan PBB, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Dana Anak-Anak PBB (UNICEF), Program Pangan Dunia (WFP), dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dalam siaran pers mereka di Bangkok, Thailand, menyebutkan bahwa Asia-Pasifik adalah rumah bagi separuh orang yang kekurangan gizi di dunia, tetapi obesitas juga meningkat dengan cepat.
“Kemajuan dalam mengurangi kekurangan gizi telah sangat melambat,” sebut mereka. “Ketika migrasi dari pedesaan ke perkotaan terus berlanjut, terutama yang melibatkan keluarga miskin, kekurangan gizi perkotaan merupakan tantangan yang dihadapi banyak negara,” kata mereka dalam sebuah pernyataan.
Kelaparan di dunia meningkat pada 2017 untuk tahun ketiga berturut-turut karena konflik dan perubahan iklim, yang membahayakan tujuan global untuk mengakhiri bencana pada tahun 2030.
Pada saat yang sama, lebih dari satu dari delapan orang dewasa sekarang mengalami obesitas, dan wilayah Asia-Pasifik mencatat prevalensi obesitas anak yang paling cepat berkembang, karena orang-orang makan lebih banyak makanan olahan dengan tingkat tinggi garam, lemak dan gula.
China dan India, negara-negara paling padat di dunia, diperkirakan akan mencapai lebih dari seperempat dari proyeksi pertumbuhan populasi perkotaan global pada 2050, dengan sekitar 690 juta lebih orang pindah ke kota-kota mereka.
Secara historis, urbanisasi telah dilihat sebagai tanda transformasi sosial dan ekonomi, terkait dengan standar hidup yang lebih tinggi, termasuk kesehatan dan gizi yang lebih baik.
“Namun, jika tidak dikelola dengan baik, urbanisasi yang cepat juga dapat menyebabkan sistem makanan yang disfungsional, mengakibatkan kekurangan gizi dan kegemukan terjadi di dalam kota yang sama atau bahkan rumah tangga yang sama,” kata laporan itu.
Tantangannya diperparah oleh kondisi hidup yang buruk. Sekitar sepertiga dari penduduk perkotaan di wilayah tersebut tinggal di daerah kumuh dengan akses terbatas ke tunjangan kesejahteraan atau jaring pengaman, yang mempengaruhi ketahanan pangan, nutrisi dan mata pencaharian mereka.
Kebijakan pangan perkotaan di wilayah tersebut harus mempertimbangkan transportasi, infrastruktur, perumahan, pendidikan, air dan sanitasi untuk dampak yang lebih besar.
“Perencana kota harus menjadi mitra gizi baru. Dunia tidak dapat memenuhi target 2030 dari nol kelaparan jika Asia dan Pasifik tidak memimpin. Rasa urgensi tidak bisa dilebih-lebihkan,” kata mereka dalam siaran pers tersebut.***(janet)