Manusia sepanjang hidupnya tidak bisa menghindari apa yang disebut dengan kesedihan, baik berupa musibah meninggal orang-orang dicintai maupun kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupnya.
Tidak terkecuali juga para Nabi dan Para Kekasih Allah, kesedihan kerap menghampiri mereka dan air mata menjadi teman setia mereka, melewati masa masa terberat dalam hidup.
Kisah sedih Nabi Muhammad SAW kiranya menjadi pedoman bagi kita dalam menghadapi saat-saat tersulit dalam hidup, padahal demi Tuhan, Rasulullah Saw yang jiwanya tegar melebihi batu karang, kokoh pendiriannya melebihi kokohnya gunung-gunung dan kesabarannya melebihi segala mahluk Tuhan, beliau juga menangis dan sedih ketika kehilangan ibunya, dan kesedihan itu bahkan beliau bawa sehingga beliau beranjak tua.
Setiap kali ingatan tentang ibunya melintas, keharuan akan menyelimuti hatinya dan Rasulullah pun menangis.
Di kisahkan bahwa setelah lebih empat puluh tahun ibunya meninggal, Rasulullah di landa kerinduan yang amat dalam, sehingga beliau meminta izin pada Tuhan untuk berziarah ke makam ibunya.
Di sanalah Rasulullah Saw yang suci menumpahkan air mata, sehingga para sahabatpun ikut menangis bersamanya. Kisah kesedihan yang lain yang juga membuat air mata Rasulullah mengalir deras adalah pada saat Ibrahim putranya tercinta meninggalkan dunia yang fana ini. Dalam keadaan sakit, Rasulullah membopong tubuh Ibrahim yang nampak tidak ada lagi tanda kehidupan, air mata Rasulullah menetes membasahi pipi melihat putranya berjuang menghadapi sakaratul maut. Beliau terus pandangi putranya seraya menahan isak tangis.
Namun, kesedihan itu tak tertahankan, Rasulullah menangis diikuti oleh yang hadir di sana, Fathimah az-Zahra, Mariah ibu dar Ibrahim, Shiren dan semua yang hadir tenggelam dalam derai air mata.
Ketika Abdurrahman bin Auf datang dan bertanya: “Engkau menangis wahai Rasulullah?” Rasul menjawab: “Sesungguhnya ini merupakan rahmat Allah. Mata menangis dan hati berduka, dan kita hanya mengatakan apa-apa yang di ridhai Tuhan”.
Pada saat kematian Ibrahim terdengar di penjuru kota Madinah, tidak hanya Rasulullah yang menangis, tetapi bahkan segala penduduk di penjuru kota Madinah pun ikut menangis.
Cerita kepedihan yang lain tentang perpisahan dengan anak tercinta juga datang dari seorang Nabi Ya’qub As, ketika beliau kehilangan Yusuf As, sepanjang kepergian Yusuf beliau tiada henti menangis sampai membuat mata beliau buta, padahal ketika itu Yusuf bukan pergi untuk selamanya.
Ya’qub As pada akhirnya bertemu kembali dengan anaknya terkasih, demikianlah Ya’qub, kisahnya tentang dirinya dan keluarganya adalah ‘ahsan al-qashas’ atau kisah terbaik yang di ceritakan al-Quran.
Tiga sahabat Nabi di Yordania syahid dalam perang melawan tentara Romawi, mereka adalah panglima perang Nabi : Zaid bin Harisah, Jafar bin Abdul Muthalib dan Abdullah bin Rawahah. Perang itu terkenal dengan perang Mu’tah, dimana 3000 pasukan muslim melawan 200.000 tentara romawi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik mimbar dalam keadaan sedih meneteskan air mata seraya berkata, “Bendera perang dibawa oleh Zaid lalu berperang hingga mati syahid, lalu bendera diambil oleh Ja’far dan berperang hingga mati syahid, lalu bendera perang dibawa oleh Saifullah (Pedang Allah –yakni Khalid bin Walid, pen.) hingga Allah memenangkan kaum muslimin.” Setelah itu, beliau mendatangi keluarga Ja’far dan menghibur mereka serta membuatkan makanan untuk mereka.
Kisah-kisah di atas menjadi pedoman bagi kita bahwa musibah dan kesedihan akan dialami oleh siapapun, yang terpenting dari semua itu adalah bagaimana kita bersikap terhadap musibah atau kesedihan yang kita alami. Setiap kita bisa mengambil pelajaran dari apa yang telah kita alami.
Musibah kehilangan orang-orang yang kita cintai membuat kita semakin dekat dengan Allah, semakin pasrah dan tawakal dan menambah keyakinan dalam hati bahwa segala sesuatu di dunia ini terjadi atas izin-Nya semata.
Semoga Allah senantiasa membimbing dan menuntun kita ke jalan-Nya yang Lurus dan Benar, Amin 3x ya Rabbal ‘Alamin!. (sufimuda.net/KB)