Hari-hari ini pasti kita dengan mudah melihat orang serba terburu-buru. Seperti waktu akan habis segera. Di jalan raya kendaraan beradu cepat. Di tepian jalan, di pasar, semua tergesa-gesa seakan takut ketinggalan. Kadang karena mau cepat, yang diperoleh malah sebaliknya. Celaka dan akhirnya malah tidak sampai ke tujuan.
Begitulah yang terjadi ketika bulan puasa memasuki pekan kedua, di Jakarta, dan mungkin juga di bagian lain Tanah Air kita tercinta. Masih belasan hari lagi Lebaran, tetapi kepala orang-orang sudah mulai fokus ke Idul Fitri, akhir dari puasa.
Macam-macam yang dipikirkan. Mungkin memikirkan tiket mudik, atau kalau naik kendaraan sendiri soal persiapannya, atau hadiah lebaran bagi sanak saudara, baju lebaran, hidangan lebaran, mengecat pagar dan tembok rumah.
Apa mau dikata, bagi kita di Indonesia Idul Fitri tidak sekadar hari kemenangan bagi mereka yang sudah berpuasa dalam sebulan. Tetapi juga peristiwa budaya. Kegiatan ikutannya sangat banyak, bahkan malah lebih merepotkan.
Contohnya saja, soal berbuka. Sebenarnya anjura Nabi, kita cukup meneguk air lalu memakan beberapa butir kurma. Makan malam pun sebaiknya sehabis salat tarawih. Tetapi coba saja lihat meja makan kebanyakan kita, sebelum azan terdengar pasti di meja sudah terhidang berbagai makanan.
Selain teh manis, ada kolak atau sejenisnya, ada kue-kue kecil, ada nasi lengkap dengan lauk-pauk yang nikmat. Pasti tidak hanya satu macam seperti ikan goreng plus sayur. Ada tempe, tahu, perkedel, yang membuat meja lebih “meriah”. Ini tidak lain sebagai bentuk penghargaan atas kegiatan berpuasa kita.
Saat Idul Fitri tidak pantas pula rasanya kalau di ruang tamu tidak ada apa-apa. Kue putri salju, kastangel, kacang goreng, kue keju tersedia, walaupun mungkin hanya dicicipi sedikit oleh barisan tamu yang datang silih berganti. Dan ini tentu berkaitan dengan waktu, jika membuatnya sendiri, atau uang kalau membelinya di toko.
Itulah yang membuat orang tergesa-gesa, ya karena harus ada pendapatan ekstra selama bulan puasa ini. Anggaran makan berlebih, begitu pula anggaran untuk Idul Fitri. Memang selalu ada Gaji ke-13 bagi pegawai negeri sipil, dan ada Tunjangan Hari Raya (THR) bagi pegawai swasta, tetapi kadang itu tidak cukup. Maklum, kita pun membayar THR pembantu rumah tangga, tukang sampah atau tukang antar koran, bahkan petugas masjid dan tukang ojek yang kita gunakan jasanya. Mereka akan cemberut kalau tidak kita amplopi sekadarnya.
Untuk orang yang pendapatannya mencukupi, kegiatan di bulan puasa mungkin tidak perlu terlalu dipaksakan untuk mencari uang tambahan. Tetapi bagi mereka yang berpendapatan tidak tetap, maka “omzet” menjadi sangat penting. Bekerja lebih keras, lebih cepat, adalah cara agar uang masuk lebih bertambah dari biasanya. Tukang ojek mungkin harus “narik” lebih lama dibandingkan hari-hari biasanya. Pedagang buka toko lebih lama, atau berkeliling lebih jauh.
Hanya saja kegiatan ekstra ini kadang membuat puasa jadi jebol. Di tengah cuaca yang konon semakin bertambah panas di berbagai penjuru dunia, tubuh yang kelelahan rentan mengalami dehidrasi kalau melakukan kegiatan fisik berlebihan. Kalau sudah begitu, ketimbang sakit bukan tidak mungkin lalu mereka membatalkan puasa. Rugi jadinya. Apa enaknya Lebaran kalau puasa tidak lengkap?
Dunia memang seperti itu. Kita kerap terjebak tanpa menyadarinya. Salah satu cara menghindar adalah membuat jelas target kita dan mengerjakannya dalam tahapan yang jelas pula sehingga bisa dikerjakan dalam waktu yang memadai.
Ibaratnya, menghadapi bulan Ramadhan seharusnya kita sudah bersiap sejak berbulan-bulan sebelumnya. Untuk kesiapan fisik kita membuat uji coba puasa beberapa kali dalam sebulan, berolahraga, agar tetap sehat. Untuk finansial, kita menyisihkan sedikit demi sedikit agar kebutuhan yang meningkat bisa tertutupi.
Tapi perencanaan agaknya bukan cara Indonesia. Setuju? (Bung Hen)