Saturday, November 8, 2025
Home > Berita > Pembalap Sepeda Indonesia Berpeluang Menembus Dunia

Pembalap Sepeda Indonesia Berpeluang Menembus Dunia

Puspita dan Rosman

Ikatan Sport Sepeda Indonesia (ISSI), jika diibaratkan perpaduan manusia dan sepeda, selama ini telah melahirkan seseorang yang sangat mapan. Perjalanan hidup, hujan panas, perputaran ban, ketahanan fisik, juga adu sprint telah jutaan, miliaran kali terjadi, bahkan lebih. ISSI 20 Mei 2025 lalu, telah berusia 69 tahun.

Organisasi olahraga balap sepeda di Indonesia telah melahirkan sosok-sosok hebat dan mengundang sederatan orang-orang hebat pula yang ingin membuktikan diri sebagai pemimpinan sukses, selaku ketua umum atau sekadar menjadi pengurus di induk organiasi balap sepeda tertinggi di Tanah Air ini,  yakni berkarya di Pengurus Besar Ikatan Sport Sepeda Indonesia (PB ISSI).

Cabang olahraga balap sepeda juga telah berulangkali turut mengharumkan nama negara dan bangsa di arena internasional, kususnya untuk kawasan Asean dan Asia atau SEA Games dan Asian Games. Tidak heran bila cabang yang mengandalkan ketahanan, kekuatan fisik, dan keuggulan teknik ini selalu masuk dalam cabang prioritas setiap negeri ini menghadapi persaingan di arena internasional, terlebih di kawasan Asean dan Asia.

Jangan bandingkan balap sepeda dengan bulutangkis. Tapi sadingkan dengan cabang-cabang terukur lainnya, seperti atletik dan renang, prestasi para pembalap Indonesia tidak kalah pamor. Sebut saja nama-nama seperti; Hendrik Brocks warga Indonesia dari bapak asal Jerman dan ibu Jawa, kemudian berganti nama menjadi Hendra Gunawan, yang berjaya meraih 3 medali  emas di Asian Games 1962 di Jakarta di masa silam, kemudian ada pembalap era berikutnya seperti Sutiyono dkk, selanjutnya ada Puspita Mustika dkk, lalu sekarang ada Terry Yudha Kusuma,  peraih medali emas di nomor criterium (nomor jalan raya tertutup) putra pada SEA Games 2023, di Kamboja, Phnom Penh, serta sejumlah pembalap muda lainnya.

Balap sepeda boleh dibilang tidak pernah kehabisan atlet atau pembalap, banyak. Begitupun untuk pelatih. Walau untuk tingkat Asia prestasi kita terasa seret, namun untuk kelas Asean (SEA Games, Piala ASEAN) baik untuk nomor road race (jalan raya) dan track (di velodrome), serta di beberapa tour tingkat regional, pembalap Indonesia mampu bersaing.

Di Asian Games, balap sepeda pernah berjaya ketika Indonesia menjadi tuan rumah pada Asian Games ke-4. Balap sepeda ketika itu menyumbangkan tiga medali emas dari nomor Individual Open Race (180 km) melalui Hendrik Brocks (Hendra Guawan), kemudian dua emas lainnya dari Team Road Race dan Team Time Trial (putra),  melalui kuartet Hendrik Brocks, Hamsin Rusli, Wahyu Wahdini, dan Aming Priatna.

Apa yang dicapai keempat pembalap itu merupakan hasil dari perilaku heroik, mereka rela bekorban, berjuang habis-habisan, sepenuh tenaga di jalan raya untuk menguasai medan dan lawan. Jasa mereka jelas tak terhitung, demi Indonesia. Apalagi di Asian Games 1962 terkandung tujuan besar dari Presiden Soekarno, membuktikan bahwa Indonesia  mampu bersaing meghadapi bangsa yang telah lama lepas dari penjajahan, meski saat itu Indonesia baru 17 tahun merdeka.Visi Presiden Soekarno, ingin membuktikan pada dunia bahwa Indonesia yang baru merdeka mampu berprestasi di tingkat internasional tercapai.

Indonesia di Asian Games IV/1962 sebagai tuan rumah menempatkan diri di posisi ke-2 diantara 15 negara peserta dengan jumlah 51 medali (meraih 11 medali emas, 12 perak, dan 28 perunggu). Dalam pesta olaraga Asia itu Jepang tampil sebagai juara umum dengan 152 medali (73 emas, 56 perak dan 23 perunggu)

Cabang lain peraih medali emas bagi kotingen Indonesia ketika itu adalah; bulutangkis. Tan Joe Hok meraih emas dari tunggal putra, kemudian dari beregu putra bersama Ferry Sonneville dan Njo Kiem Bie.  Namun di ganda dia kalah dari pasangan Malaysia. Emas bulutangkis lainnya diraih Minarni di tunggal putri dan ganda putri bersama Retno Kustiah. Peraih medali emas lainya Mohammad Sarengat dan Awang Papilaya  dari atletik, Lanny Gumulya dari loncat indah papan 3 meter putri.

Balap sepeda kemudian memerlukan penantian panjang untuk bisa mengulang meraih medali emas di Asian Games. Emas Asian Games berikutnya baru lahir 61 tahun kemudian, tahun 2023 di Asian Games ke-19, China, melalui pembalap putri Amellya Nur Sifa di nomor BMX (Bicycle Motocross) racing putri.

Apakah medali emas nomor BMX sepadan dengan emas yang diraih Hendrik Brocks di Individual Open Race (180 km) di Asian Games tahun 1962? Jawabannya, dalam olahraga tidak ada perbandingan nilai medali emas antara medali yang diraih atlet suatu cabang dengan cabang lain. Semua sama, apakah medali emas yang diraih atlet angkat besi dengan yang diraih atlet loncat indah. Bahkan diantara nomor-nomor pertandingan dalam cabang sama pun tak ada perbedaan, misalnya antara emas lari marathon dan emas tolak peluru di atletik. Jika pun ada beda, mugkin besar kecilnya bonus yang diberikan masing-masing induk organisasi.

Jadi, medali emas Asian Games yang diraih Amellya Nur Sifa merupakan angin segar dan harapan baru bagi cabang balap sepeda. Amellya Nur Sifa mengalahkan andalan tuan rumah Ku Kian Kuan (China) yang harus puas dengan medali perak dan pembalap Indoesia lainnya Yamin Azzahra Setyobudi meraih perunggu. Amellya meraih poin tertinggi di tiga run, dengan catatan waktu terbaik pada run ketiga, 43,918 detik.

Tidak tertutup kemungkinan di Asian Games berikutnya, bahkan di Olimpiade, kejuaraan dunia,  pembalap sepeda Indonesia mampu meraih sejumlah emas. Mungkin tidak hanya 3 seperti Asian Games 1962, bisa lebih. Tinggal kini memanfaatkan peluang yang ada.

Dengan dipertandingkannya nomor BMX,  peluang bagi balap sepeda Indonesia meraih medali emas di arena lebih tinggi sangat terbuka, tidak hanya di Asian Games, tapi juga di tingkat dunia.  Bisa jadi, jika pada Asian Games-Asian Games berikutnya dilombakan nomor downhill atau lomba kecepatan dan ketrampilan menuruni medan curam dan berbatu dengan sepeda gunung, pembalap Indonesia memiliki peluang. Indonesia memiliki banyak bibit potensial untuk sepeda gunung.

Keberhasilan Amellya Nur Sifa dan Jasmine Azzahra Setyobudi di Asian Games 2022 Hangzhou (yang dilaksanakan tahun 2023) merupakan keberhasilan yang tertunda. Kenapa disebut tertunda?  Karena nomor-nomor BMX belum dipertandingkan pada event serupa sebelumnya. Ketika PB ISSI dipimpin Harry Sapto Soepojo (almarhum), antisipasi bakal masukya nomor BMX, bahkan nomor  downhill (mountain bike) di event-event perting seperti di SEA Games, Asian Games, dan event internasional lainnya, telah diatisipasi. Selain ikut melobi federasi balap sepeda Asia (ACC) dan dunia/iternasional (UCI) agar nomor-nomor MTB, downhill dipertandingkan di event-evente internasional, PB ISSI kala itu sudah kerap mendukung, bahkan  melaksanakan pertandingan nomor BMX dan downhill.

Hasilnya, meski Harry Sapto bukan pengurus ISSI lagi, di SEA Games ke-26 tahun 2011 Palembang dan Asian Games ke-18/2018 di Jakarta dan Palembang nomor BMX akhirnya dilombakan. Pada SEA Games 2011 itu diperoleh 2 emas, 1 perak, 1 perunggu dan di Asian Games 2918 satu perak dan satu perungu yang masing-masing dipersembahkan I Gusti Bagus Saputra (putra) dan Wiji Lestari (putri).

Di era Ketua Umum PB  ISSI Harry Sapto, harus diakui bahwa perputaran roda organisasi memang jauh lebih baik dibanding sebelumnya, bahkan dibanding ketika balap sepeda meraih  medali emas di Asian Games 1962. Masa balap sepeda dipimpin pengusaha muda itu oganisasi benar-benar jalan. Program tak ada yang terbengkalai, kepengurusan di pusat kompak, para pengurus daerah diperhatikan.

Begitu meneruskan estafet  kepengurusan ISSI pertamakalinya dari ketua umum sebelumya Brig Jend (Purn) Drs Gatot Suwagio,  untuk periode  1983 – 1987,  setelah terpilih dalam Munas ISSI yang digelar di Hotel Hasta Senayan, Jakarta (kini telah tergusur), Harry Sapto langsung “tancap gas”. Semua bidang diminta mengajukan program plus anggaran yang diperlukan. Hasilnya, peralatan (sepeda dan pedukungnya) dipenuhi, selanjutnya tour balap sepeda yang telah lama ‘mati’ yakni Tour de Jawa kembali dilaksanakan, bahkan berikutnya dilanjutkan menjadi Tour de Indonesia yang diikuti banyak pembalap asing.

Para pembalap dari seluruh negeri pun didata. Banyak pembalap yang dipanggil ke pemusatan latihan (Pelatnas), di latih di dalam dan luar negari, juga dengan pelatih sendiri dan asing.  Berbagai kejuaraan pun digelar, kemudian juga mengirim pembalap sejumlah kejuaraan di luar negeri. Hasilnya, medali emas sekelas event seperti SEA Games bukan lagi hal baru.

Wajar bila ada yang berpedapat bahwa masa kepengurusan Harry Sapto adalah era keemasan balap sepeda Indonesia. Penilian itu bukan diukur dari medali emas yang dicapai event tertentu, tetapi dari perputaran oroganisasi. Apa lagi pada zaman itu (di bawah tahun 2000-an)  pada cabang balap sepeda  hanya ada dua jenis lomba, dengan sejumlah nomor pertandingan, kelompok jalan raya dan lintasan track di velodrome. Di SEA Games, Piala ASEAN, dan Asian Games belum masuk jenis BMX, juga mountain bike.

Wajar bila ada yang menilai bahwa para pembalap, pelatih, dan pembina balap sepeda nasional pada era Ketua Umum PB ISSI Harry Sapto sangat beruntung, karena kondisi balap sepeda Indonesia secara umum sangat baik. Bahkan boleh disebut sebagai zaman keemasan. Dedikasi Harry Sapto terhadap sepeda harus diakui luar biasa, tidak mengadung maksud tertentu seperti mengincar jabataan dan fasilitas. Dia berupaya mengerahkan kemampuan terbaiknya sepanjang 25 tahun memimpin ISSI.

PB ISSI yang pada periode kepegurusan sebelumnya sangat tergantung kepada pemerintah, melalui KONI Pusat, di era Harry Sapto bisa bernapas lega. Masalah krusial, keuangan, bukan persoalan lagi, apakah untuk pengadaan peralatan, dari sepeda dan pendukungnya, biaya Pelatnas, try-out, berlatih di luar negeri, biaya transportasi, gaji/honor atlet dan pelatih tak ada masalah.

Bahkan seluruh komisariat daerah (Komda) ISSI ditantang untuk megajukan program guna memajukan prestasi balap sepeda negeri ini, berlomba melahirkan pembalap khusus nomor track (lintasan velodrome). Di era itu pembalap khusus track di Indonesia masih terbatas dan pembalap lebih difokuskan ke nomor road race, karena baru memiliki dua velodrome, di Jakarta dan Semarang.

Selain merenovasi velodrome di Jakarta dan Semarang, guna melahirkan pembalap kusus track di berbagai daerah, PB ISSI membangunkan sejumlah velodrome. Akhirnya bermuculanlah velodrome di Tanah Air;  di Solo (Jateng), Cimahi (Jabar), Malang (Jatim), Makassar (Sulsel), Padang (Sumbar), dan beberapa lainnya.

Balap sepeda benar-benar bangkit, mampu berdiri di kaki sendiri, meski pemeritah melalui KONI Pusat tidak lepas tangan. Sebelumnya, keberhasilan sepeda di arena internasional sangat tergantung pada dukungan pemerintah, termasuk ketika meraih tiga medali emas di Asian Games 1962. Balap sepeda, juga cabang-cabang olahraga lainnya, kala itu, diuntungkan oleh tekad dan target Presiden Soekarno ingin membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia juga handal di bidang olahraga.

Berdirinya ISSI

Ikatan Sport Sepeda Indonesia, disingkat ISSI, lahir bertepatan dengan hari peringatan Kebangkitan Nasional, pada tanggal 20 Mei 1956 di kota Semarang. Jawa Tengah kala itu memang merupakan pusat kegiatan olahraga balap sepeda di Indonesia, khususnya di kota Semarang, yang telah memiliki perkumpulan balap sepeda bernama Ikatan Sport Sepeda Semarang (ISSS).

Pembentukan ISSI merupakan impian penggemar atau pecinta balap sepeda di Indonesia yang tergabung dalam sejumlah perkumpulan yang sudah mulai ada sejak tahun 1951, seperti; ISSS (Ikatan Sport Sepeda Semarang), PBSD (Persatuan Balap Sepeda Djakarta), ISSJ (Ikatan Sport Sepeda Jogjakarta), IPSS (Ikatan Pembalap Sepeda Solo), PSBS (Perkumpulan Sepeda Balap Surabaya), PBMS (Perkumpulan Balap Sepeda Medan dan Sekitarnya), Super Jet (Perkumpulan Balap Sepeda dari Bandung), dan PSBM (Perkumpulan Sepeda Balap Manado).

Menurut sejarah, seperti dikumpulkan Google dari berbagai sumber, ISSI disepakati dibentuk atas keinginan mempersatukan perkumpulan balap sepeda yang ada di Indonesia dengan sasaran agar pembinaan atlet olahraga balap sepeda bisa dilaksanakan secara nasional. Keinginan para pembina balap sepeda dari berbagai penjuru nusantara itu mulai menjadi kenyataan, ketika menjelang Mei 1956 di kota Semarang dibentuk Panitia Penyelenggara Kongres dan Kejuaraan Nasional pertama. Program itu didukung pejabat  sipil maupun militer. Setelah melakukan sidang empat hari penuh,  20 Mei 1956 terbentuklah ISSI.

Perkumpulan Sepeda Balap Djawa Tengah (ROSBADT) merupakan salah satu  pendorong terbentuknya organisasi balap sepeda Indonesia, hingga akhirnya lahir ISSI yang berazaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta amatirisme.

Dibentuklah susunan pengurus besar (PB/Pusat) Ikatakan Sport Sepeda Idonesia (PB ISSI) yang berkedudukan di Jakarta. Daerah diwakili oleh Komisariat Daerah (Komda ISSI). Penggunaan istilah Komda konon mengambil nama yang dipakai PSSI (sepakbola), yang tidak seperti umumnya cabang-cabang lain yang menggunakan sebutan wakil daerah sebagai Pengda (Pengurus Daerah).  Komda ISSI di daerah masing-masing membawahi perkumpulan balap sepeda (PBS).

Adalah Letkol S Soeroso yang dikukuhkan sebagai pendiri ISSI dipercaya sebagai Ketua Umum PB ISSI pertama, periode 1956-1958. Kepengurus PB ISSI kala itu untuk satu periodenya hanya berjalan selama 3 tahun dan sekarang,  diubah menjadi 5 tahun.

Periode kepengurusan PB ISSI selengkapnya, sbb:

 Periode I          – 1956 – 1958 – Letkol S Soeroso.

Periode II        – 1958 – 1960 – Letkol S Soeroso.

Periode III       – 1960 – 1963 – Letkol S Soeroso.

Periode IV       – 1963 – 1967 – Letkol S Soeroso.

Periode V         – 1967 – 1969 – Letkol S Soeroso.

Periode VI       – 1969 – 1971 – Komodor (L) R. Soehardjo.

Periode VII      – 1971 – 1973 – Brig Jend (Purn) Drs. Gatot Suwagio.

Periode VIII    – 1973 – 1977 – Brig Jend (Purn) Drs. Gatot Suwagio.

Periode IX       – 1978 – 1982 – Brig Jend (Purn) Drs. Gatot Suwagio.

Periode X        –  1983 – 1987 – Harry Sapto.

Periode XI      –  1987 – 1991 – Harry Sapto.

Periode XII     – 1991 – 1996  – Harry Sapto.

Periode XIII    – 1996 – 2003 – Harry Sapto.

Periode XIV    –  2003 – 2008 -Harry Sapto.

Periode XV     –  2008 – 2012 – Phanny Tanjung.

Periode XVI    – 2012 – 2016 – Edmound JT Simorangkir

(Hanya menjabat hingga 2015, kalah dalam Munaslub, karena kena mosi

tidak percaya. Sebelumnya sempat dibekukan KONI Pusat sejak Desember

2014)

Pereiode XVII   – 2015 – 2019 – Raja Sapta Oktohari

(terpilih dalam Munaslub, karena ada dualisme kepengurusan)

Periode XVII    – 2019 – 2023  Raja Sapta Oktohari

(Hanya menjalani tugas hingga 2021, karena harus mundur karena alasan

tidak boleh merangkap jabatan. Oktohari juga terpilih menjadi Ketua

Umum Komite Olimpiade Indonesia (KOI) pada Oktober 2019.

Periode XVII    – 2021-2025 – Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo (terpilih dalam Munaslub

karena Raja Sapta Oktohari harus mundur)

Periode XVIII  – 2025 2029 – Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, melalui Musyawarah

Nasional (Munas) PB ISSI 2025, 30 Oktober 2025.

Pada kepengururan pimpinan Edmound JT Simorangkir, PB ISSI dua kali dilanda kemelut. Tahun  2015 terjadi dua kepengursan (dualisme),  karena ada masalah di internal ISSI. Edmound yang terpilih sebagai Ketua Umum PB ISSI masa bakti 2012-2016 dinilai sejumlah pengurus daerah dipilih oleh Munas dadakan. Sejumlah Komda ISSI akhirya melaksanakan Munaslub tangal 9 April 2013 di Sidoarjo, Jatim. Munas tandingan itu membentuk PB ISSI tandingan dengan Ketua Umum PB ISSI Engkos Sondrah.

KONI Pusat bertidak, membekukan kepengurusan Edmond Simorangkir, serta juga tidak mengakui kepengurusan Engkos, kemudian menggelar Munaslub resmi, dengan Dody Iswandi, Raja Sapta Oktohari, dan Engkos Sondrah sebagai calon ketua umum. Raja Sapta terpilih sebagai Ketua Umum PB ISSI  periode 2015 -2019. Periode 2019 – 2023  Raja Sapta kembali terpilih, tapi hanya menjalani tugas hingga 2021, karena harus mundur karena alasan tidak boleh merangkap jabatan (sebagai Ketua Umum Komite Olimpiade Indonesia/KOI). Untuk periode 2021-2025  terpilih Jenderal (Pol) Listyo Sigit melalui Munaslub.

Pantas Bangga

PB ISSI di bawah pimpinan Jenderal (Pol) Listyo Sigit (Kapolri) pantas berbangga, karena pada pada masa kepengurusannyalah balap sepeda kembali meraih medali emas di arena Asian Games. Listyo memang pantas dipilih kembali untuk periode sekarang. Dia telah membuktikan mampu memimpin balap sepeda tanpa diwarnai intrik dan perpecahan. Kepegurusannya untuk periode lalu berakhir dengan berjalan lancar, dengan hasil manis medali emas Asian Games.

Tentu saja untuk periode 1925-1929 sekarang program kerja ISSI harus lebih ditingkatkan, dan Listyo Sigit dinilai memiliki kemampuan. Apalagi jika masyarakat balap sepeda Indonesia bercita-cita menempatkan pembalap road race dan track meraih emas di tingkat Asia. Tidak hanya try-out yang wajib kerap diikuti pembalap, tapi juga latihan di luar negeri, kemudian event-event penting juga perlu digelar di dalam negeri, seperti Tour d’ ISSI, Tour de Indonesia, invitasi balap sepeda khusus track, yang terbuka bagi pembalap berbagai negara.

Percayalah,  pembalap sepeda Indonesia berpeluang menembus pentas dunia, asal mendapat pembinaan yang baik, didukung perkumpulan, daerah, serta kerja keras pengurus pusat, serta dorongan pemerintah. Apalagi Indonesia tidak kalah dalam hal bibit-bibit unggul asal bisa digali dan dimanfaatkan secara tepat.

Untuk tenaga pelatih pun Indonesia tidak kekurangan, sejumlah daerah; Jakarta, Bandung, Jatim, Jateng, Yogya, Kalbar, Sulses, Sumut, Sumbar, dan banyak lainnya tersebar mantan pembalap yang telah berstatus pelatih berstandar nasional. PB ISSI juga memiliki pelatih bertaraf internasional (UCI), juga ada pelatih pembalap putri. Sejumlah tenaga ahli di bidang teknik dan pembinaan, bahkan juga dokter yang sangat akrab dengan olahraga balap sepeda juga pernah dimiliki. PB ISSI sekarang banyak pilihan.

PON II 1951

Sebelum ISSI terbentuk tahun 1956, balap sepeda telah dipertandingkan di Pekan Olahraga Nasional (PON) II tahun 1951 di Jakarta. Dari hasil PON inilah antara lain ditentukan atlet untuk bersaing di  internasional, termasuk Asian Games 1962.

Tanpa menyebut waktu atau tahun persisnya, balap sepeda di Indonesia, dikatakan, sudah dikenal jauh sebelum Perang Dunia II, serta telah memiliki beberapa pembalap sepeda yang dibiayai pihak pengusaha dari beberapa perusahaan, seperti; Tropical, Triumph, Hima, Mansonia. Pada zaman penjajahan Belanda perkembangan olahraga balap sepeda dikatakan cukup berkembang. Beda ketika Indonesia dijajah Jepang, kegiatan balap sepeda terhenti.

Zaman Belanda kota Semarang menjadi pusat kegiatan balap sepeda. Di kota itu oleh Belanda didirikan sebuah stadion khusus balap sepeda track (velodrome) yang dalam bahasa Blanda disebut wielerband, hasil rancangan arsitek Ooiman dan Van Leuwen.***Dari berbagai sumber.(Djunaedi Tjunti Agus)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru