Thursday, March 28, 2024
Home > Featured > Catatan Kamsul Hasan:  KEJ Sudah jadul

Catatan Kamsul Hasan:  KEJ Sudah jadul

Ahli hukum pers Kamsul Hasan. (arl)

Ada dua pertanyaan pada diskusi di Jakarta dan Semarang terkait penerapan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), karena sudah jadul.

Diskusi di Jakarta berangkat dari penerapan Pasal 4 KEJ, khususnya terkait produk jurnalistik yang dapat dikategorikan CABUL, berikut materinya;

Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan CABUL.

Penafsiran:

d. CABUL berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.

Tentang siapa yang menentukan bahwa sebuah karya jurnalistik itu cabul atau tidak, pada catatan akhir KEJ jelas dikatakan Dewan Pers.

“Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.”

Pertanyaan berikutnya,  bagaimana dan apa yang digunakan Dewan Pers untuk menganalisis karya jurnalistik itu cabul?

Pada tafsir Pasal 4 huruf d seperti di atas ada frasa sebagai kata kunci “Yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi’.

Diskusi menjadi menarik dan fokus pada “Yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi”.

Pertanyaan, nafsu birahi siapa ?

Anggota Dewan Pers ada sembilan orang. Apakah birahi kesembilannya sama dan bisa dijadikan standar umum? Selain itu periodesasi mereka hanya tiga tahun.

Bila yang dijadikan alat ukur birahi anggota Dewan Pers, maka setiap periode bisa berbeda-beda penilaian terhadap kecabulan itu, tergantung birahinya.

Kenapa Tidak Direvisi?

Pertanyaannya dalam diskusi di Semarang, “Jika KEJ dinilai sudah banyak melalui koreksi kenapa tidak di-shut down dan diganti yang baru?”

Wajar pertanyaan yang diungkap aktivitas Jurnalis Perempuan Indonesia  (Jupe) Jawa Tengah karena sejumlah pasal KEJ jadul.

Mereka menunjuk Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS) dan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) sebagai bukti.

Lahirnya PPMS pada tahun 2011 atau lima tahun setelah berlakunya KEJ memang menginterupsi Pasal 1 dan Pasal 3 KEJ.

PPRA yang dilahirkan Dewan Pers pada HPN 2019 malah mengoreksi sebagian Pasal 5 KEJ. Ini semua bukti bahwa KEJ perlu revisi ! (FB Kamsul Hasan 30/01/2020/arl)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru