Friday, March 29, 2024
Home > Cerita > Saat Semua Menjadi Indah, Cerpen Hendry Ch Bangun

Saat Semua Menjadi Indah, Cerpen Hendry Ch Bangun

Saat Semua Menjadi Indah

Saat Semua Menjadi Indah (rayafr.blogdetik)

Donny tiba-tiba merasa Selasa itulah hari yang paling penuh berkah sepanjang hidupnya. Hari dimana dia mendapatkan cinta secara luar biasa. Tak terduga. Tak terjelaskan. Tak terbayangkan. Bahkan sampai beberapa waktu ia seperti tidak percaya. Seperti dalam cerita, dia gigit jarinya. Sakit. Bukan mimpi. Tak lama kemudian dia mandi. Kepalanya dia basahi dengan pancuran air yang sederas-derasnya. Panas, dingin, lalu hangat. Sesampai dia kamar dia cek, ternyata benar, apa yang dialaminya bukan mimpi.  

“I love you my dear. I love you soo much. Mmmmuuuah.”
“Me too. I did not believe it.”
“Bagaimana aku menjelaskan ini. Aku begitu bingung, begitu bahagia..”
“Ya kita bersyukur.”
“Iya. Aku harus salat malam. Tidak terhingga anugerah yang kudapat hari ini. I love you. Aku mau salat dulu ya.”
“Ok babe, aku baca buku dulu…”

Menit sudah memasuki hari yang berbeda ketika Donny menemukan dirinya menjadi orang yang berbeda tanpa disadari. Semula dalam posisi orang yang putus asa, bingung, bertanya-tanya, tidak tahu harus berbuat apa. Kemudian seperti melaju di jalan tol yang perbatasan antarkota yang tidak ada tandanya, dia sudah berada di kota lain. Dia mendapati diri sudah di kota lain ketika nama-nama toko, papan petunjuk jalan, benar-benar berbeda. Kalau sebelumnya dia berada di lonely city, dia mendadak di kota penuh neon sign, lampu warna warni. Orang-orang tertawa bergembira, musik berkumandang di mana-mana, dunia seperti tidak ada masalah. Mobil yang ditumpanginya semula berudara lembab, sembab, kini diruapi wangi surgawi, membuai dan memabukkan.

Nikmat mana lagi yang kau ingkari? Potongan makna dari ayat suci itu mencuat di kepalanya. Dony lalu mengatakan pada dirinya sendiri, dia takkan berprasangka buruk pada sang pencipta. Tidak. Tentang maut, jodoh, dan cinta, semuanya ternyata sudah digariskan, sehingga kita mungkin hanya menumpang di pesawat otopilot. Lalu kita tidak berusaha? Usaha kita adalah naik pesawat yang mana, yang akan kita dapati dengan persiapan-persiapan yang dilakukan.

***

Dessy dipanggil Dekan ke ruang kerjanya siang itu.
“Ini perbaikan harus kamu buat. Menurut saya ada beberapa konsep yang harus diperjelas dengan data-data. Alineanya sudah saya tandai. Agar lebih bagus, mungkin kamu masukkan lagi kutipan dari buku-buku ini,” kata Prof Adnan.

Dessy menerima draft tesis yang orang yang dianggap sebagai orangtua sendiri itu. Juga kertas yang berisi catatan, termasuk buku yang harus dia baca ulang. Dia melirik, oh buku itu tidak sulit dicari di perpustakaan karena pernah dia baca tetapi sekadar pembanding saja.

“Terima kasih Profesor. Kapan saya bertemu bapak lagi.”
“Itulah, kebetulan saya mendadak harus menggantikan Chancellor ke Tokyo akhir pecan ini. Jadi mungkin konsultasi lagi dua pekan mendatang,” katanya.
Dessy biasanya boleh berdiskusi tentang tesisnya dua hari sekali, dan biasanya Senin-Rabu-Jumat. Ini masih Rabu, jadi ada waktu kosong yang panjang.

“Terima kasih Prof,” Dessy permisi ke luar ruangan.
Bukannya gembira karena mendapat hari libur, Dessy , malah bingung bagaimana menghabiskan hari “libur” yang tidak sengaja itu. Berkutat di perpustakaan dengan laptopnya untuk memperbaiki draft tesis seperti biasa? Bosan.

“Lama-lama botak aku nanti,” pikirnya. Kemana ya? Dia berjalan gontai dari ruang Dekan ke koridor fakultas yang memanjang. Udara sejuk, tetapi Dessy seperti kepanasan.
Entah mengapa dia tiba-tiba mengingat putri sulungnya yang jauh di sana, di kota kelahiran, lebih dari seribu kilometer jauhnya dari kota yang dia tempati kini. Pulang? Masak sih pulang? Dia bertanya-tanya pada dirinya begitu di kepalanya ada ide untuk pulang menjenguk putri kesayangan.

“Sherly, sedang apa nih,” dia tiba-tiba mengontak si anak melalui whatsapp. Kira-kira lima menit baru ada balasan.
“Hei, Mom. How are you. Aku lagi makan di kantin. “
“Baik-baik kan sekolahnya?”
“Oke Mom, no problem. Gurunya baik. Skor nilaiku juga bagus kok.”
“Sherly kangen nggak?”
I miss you soo much. Pingin dipeluk..”
Ada butir airmata menetes ke pipi Dessy membayangkan putri tunggalnya itu. Dia melanjutkan kuliah dengan beasiswa ke negeri orang, meninggalkan si jantung hati yang masih duduk di sekolah menengah bersama neneknya. Untungnya Sherly mau mengerti, ibunya maunya begitu untuk meningkatkan karier.
I love you too sayang…”
Dessy bergegas ke arah asrama. Dia ingin rebahan. Mendengarkan musik. Melepaskan beban yang tiba-tiba terasa segunung. Tapi dia menghidupkan laptop di ranjangnya yang empuk. Dia buka Facebook, melihat-lihat status teman. Kadang dia terhibur sendiri, karena ternyata ada teman yang statusnya penuh keluhan. Ada yang marah sama orang, ada yang kesal dan memaki. Ada pula yang berdoa kepada Tuhan justru di jejaring sosial itu. Ini berdoa atau mau pamer ya? Ada beberapa nama yang suka dia lihat dindingnya. Penulis-penulis senior. Ya, kegemarannya akhir-akhir ini adalah mulai menulis fiksi dan mengirimkannya ke media tradisional. Kadang dia berkonsultasi, ngobrol, menambah wawasan. Dia merasa mendapat banyak hal, walau ada juga yang malah curhat masalah pribadi. Bagaimana sih, mau nanya-nanya, eh malah ditanya-tanya.

Asyik berselancar dia memandangi foto-foto putrinya yang cantik. Ah rindunya jadi menumpuk. Ah, ingin aku memelukmu juga, Nak, katanya dalam hati. Seketika dia melihat jam. Ah, masih jam 3 siang. Aku masih bisa naik bis ekspress ke airport dan terbang pulang, katanya dalam hati. Seperti baru tersadar Dessy segera memasukkan beberapa potong pakaian ke koper kecil yang selalu tersimpan rapi di rak samping tempat tidur. Ditambah tesis hasil koreksi, satu-dua buku, alat kosmetik seadanya. Setelah memastikan kamar terkunci baik, Dessy buru-buru jalan. “Nanti aku kasih tahu ke Ibu Asrama bahwa aku ke luar kota,” pikirnya saat sudah berada di taksi menuju terminal bis. Dia beli tiket, lalu berjalan ke barisan bis yang sudah antre ke ibukota negara.

Dessy menelpon penerbangan langganannya. Ternyata terakhir pesawat ke Jakarta sudah penuh. Entah mengapa di hari kerja seperti ini ada banyak orang yang kembali ke negaranya. Tapi Dessy nekat untuk mencoba, karena rindunya yang seperti tak terbendung kepada si anak.
You ‘re on the waiting list. Is it okey?”
“Okey, I take it,” balasnya.
Dia harap-harap cemas. Dia akan tiba kira-kira tiga jam lagi dan kalau semua lancar, maka masih ada waktu satu jam untuk check-in dan menunggu di pelabuhan udara kalau nanti ada kursi untuknya.

***

“Pap, anterin aku ke dokter dong nanti sore,” begitu bunyi BBM yang diterima Donny dari putri bungsunya setelah kembali ke kantor dari makan siang.
“Kenapa, Nak. Perutnya kemarin ya?”
“Iya, kadang masih agak nyeri. Putri sudah minum obat maag pakai air hangat. Tapi kadang nyerinya muncul aja.”
“Oke, kita ketemu di sana deh.”
“Nanti sekalian kita belanja ya. Buah di rumah sudah habis.”
Donny mengetikkan emoticon jempol dan senyum untuk menjawab anaknya ini. Si bungsu ini memang paling manja dan minta perhatian dibanding dua kakaknya. Sepeninggal ibu mereka, Dony harus pandai membagi waktu agar peran ayah sekaligus ibu, bisa dikelola dengan baik. Apalagi karena dalam sebulan dia bisa dua-tiga kali ke luar kota untuk urusan kantor.

Donny sebenarnya sedang galau. Menjadi single parent selama empat tahun lebih membuat kepalanya kadang seperti penuh nggak keruan. Dia sudah bertekad untuk menikah lagi tahun ini, agar ada hal yang dibagikan, sharing, dan tidak membuat dia pusing sendirian.

Ada beberapa perempuan yang mendekatinya, tetapi entah mengapa Donny setengah hati. Antara mau dan tidak mau. Dia tidak mau aktif,menunggu sinyal dari hatinya. Kadang meskipun sudah makan dan bertemu, hatinya belum juga tergerak, maka Dony bersifat pasif. Kira-kira satu bulan lalu dia dikenalkan pada seorang wanita, yang menurut dia menarik.

“Kayaknya cocok deh dia buat bapak,” kata staf di kantornya, yang memperkenalkan si wanita, Rahmi.
“Dari sisi saya cocok, dari dianya yang nggak tahu,” kata Donny ke Bu Emma

Selisih usia yang agak jauh, membuat Donny seperti tidak percaya diri. Kalau dipikir-pikir, aku mulai kuliah, dia baru lahir. Aduh jauh benar, pikir Donny. Dia rada canggung membayangkan berjalan dengan wanita yang selisih sekitar 7 tahun dengan anak sulungnya.

Ketika keduanya bertemu di sebuah restoran cepat saji sambil menunggu kemacetan Jakarta terurai, suasana cair dan hangat. Walaupun dalam hatinya Donny belum lihat tanda-tanda perasaan khusus dari wanita itu. Hanya enak diajak bicara saja, tidak tahu bagaimana substansinya kalau Donny mengajaknya untuk masuk ke hal yang lebih serius.

“Terima kasih Pak, saya sudah ditraktir pas lagi laper begini,” kata Rahmi dengan wajah ramah.
“Ah, saya yang senang bisa ngobrol dengan Rahmi,” kata Donny dengan wajah sumringah.
Keesokan harinya mereka BBMan sesekali. Ada komunikasi, tetapi sepertinya hanya normatif. Menjawab yang ditanya, tidak lebih. Rahmi sendiri seperti tidak pernah mau tahu tentang dirinya.

Suatu hari Donny memberanikan diri menyatakan ingin mengantar Rahmi pulang ke rumah. Walaupun arahnya berbeda, tidak ada masalah. Ini kesempatan ngobrol panjang lebar, pikirnya.
“Jangan ah Pak. Kasihan Bapak dong. Kan besoknya juga bekerja,” balas Rahmi
Sebenarnya Donny merasa sudah ada penolakan dari Rahmi. Untuk berteman lebih jauh dia tampak sudah berusaha membatasi diri dan mestinya. Tetapi Bu Emma tampaknya semangat untuk mendorong Donny untuk meneruskan perjuangan.
“Pak, dia itu jarang lho mau makan sama orang. Nah mau diajak Bapak berarti ada sinyal tuh..

***

Ternyata tidak ada masalah apa-apa di perut Putri. Dokter rumah sakit hanya memberikan obat penawar kelebihan asam lambung. Pesan lainnya, harus selalu minum air hangat. Jauhi es krim, begitu juga gorengan yang membuat usus bekerja keras karena banyak lemak.

Mereka lalu bergerak ke pusat perbelanjaan yang hanya dipisahkan jalan. Menyeberang, masuk ke mal yang dingin, naik ke lantai dua tempat toko serba ada itu berada. Tidak banyak yang harus dibeli karena biasanya semua bahan makanan dilengkapi sewaktu belanja di akhir pekan. Tetapi buah dan makanan segar memang habis dalam 2-3 hari. Donny ingin agar anak-anaknya minum jus yang dibuat sendiri, bukan yang dijual dalam botol, karena pasti sudah mengandung bahan pengawet.

“Pa, ke Coffe Bean dulu yuk. Sekalian mau kirim email ke teman Putri,” ujar si bungsu.
Donny kerap mengajak tiga putrinya nongkrong agar tidak bosan di rumah. Kadang makan pizza, atau ikan bakar, bisa juga makanan Jepang shusi yang popular di kalangan kelas menengah. Selain agar bisa ngobrol panjang lebar, kesempatan itu sekaligus melepas stress dari kondisi sehari-hari. Pekerjaan maupun ruang kuliah.

“Akhir pekan ini makan siang yuk?” begitu ditulis Donny di telpon pintarnya sambil menunggu pesanan, lalu dikirimkan ke Rahmi, yang pasti dalam perjalanan pulang.

Lima menit, 10 menit, 20 menit, sampai hidangan dikunyahnya dengan malas, belum ada balasan yang diterima Donny. Padahal sudah ada tanda R, yang berarti sudah dibaca orang yang dituju. Bahkan sempat pula terlihat tulisan Rahmi is writing a message. Ah, dia tidak jadi menjawab, pikir Donny, mungkin tidak mau, mungkin ragu, sehingga kalimat yang sempat ditulis, dia hapus lagi. Donny menghirupi jus tomat yang dipesannya tanpa gula. Lalu lintas di luar sana riuh, seperti degup jantungnya yang tidak keruan.

“Dessy apa kabar?” ketiknya di tengah kegalauan. Dessy ini salah satu teman diskusinya yang enerjik, tahan ngobrol melalui tuts ponsel berlama-lama. Apalagi kalau sudah tentang manajemen organisasi yang ditekuni Donny di kantor dan sedikit disinggung dalam tesis Dessy. Semua diobrolin, termasuk perempuan yang tengah dia dambakan menjadi istri. Untuk yang terakhir ini, Rahmi, juga telah disinggung Donny.

“Sedang di (menulis nama kota) ya? Kok di sana ada apa? Bukannya kuliah di kota (menulis nama kota lain)?

“Iya, saya sedang menunggu pesawat pulang?”
“Malam begini?”
“Saya masuk daftar tunggu. Sampai detik terakhir, ternyata semua penumpang naik. Terpaksa ganti ke tiket esok pagi..”
“Terus nginap di hotel bandara?”
“Bisa jadi, atau menunggu saja di sini. Ramai kok. Ini kan bandara antarbedua. Ke Asia Timur ada yang bertolak tengah malam. Begitu juga ke Eropa.”
“Tesisnya bagaimana? Sudah selesai?”
“Masih ada sedikit koreksi di sana-sini. Target tetap, Juni selesai..”
“Tapi sehat kan? Jangan terlalu banyak begadang.”
“Iya, kadang sih begadang. Tapi saya juga olahraga untuk menjaga keseimbangan. Jogging di sekitar asrama. Bapak sendiri bagaimana?”
“Ya begitu deh. Masih galau nih”
“Lho kencannya belum jadi?”
“Sudah sih, tapi belum jelas. Dia mau atau nggak. Ngobrol sih ada, tapi umum-umum saja. Saya jadi belum sempat bicara apa-apa.”
“Pertemuan pertama ya gak apa-apa begitu. Selanjutnya Bapak mesti lebih agresif.”
“Kok begitu sih. Apa nanti nggak dianggap tidak sopan. Kamu kan sama bintangnya dengan dia, kira-kira gimana.”
“Nggak. Percaya deh. Cewek itu senang kok kalau tahu dia dicintai. Terus pegang tangannya. Kalau perlu peluk..”
“Wah, saya nggak berani kayaknya. Kalau ditolak bagaimana?”
“Nggak deh, Coba dulu. Kalau gagal, nanti saya hibur deh..”
“Bener nih. Janji ya menghibur saya sampai dapat jodoh..”
“Wah nggak adil dong. Nanti kalau Bapak dapat istri, saya ditinggal. Patah hati dong..”
Ah kalimat itu memberi angin sejuk ke hati Donny. Dessy seperti ingin mengatakan sesuatu. Dia mau menjadi teman susah. Aku butuh wanita seperti ini sekarang, pikir Donny. Dia belum pernah bertemu Dessy. Mereka baru berkenalan kira-kira lima bulan dan baru dalam tiga bulan terakhir suka saling menyapa. Dessy suka bertanya tentang cara menulis nonfiksi karena Donny sedikit punya keahlian menulis. Lain kali diskusi tentang manajemen kantor, bidang yang ditekuni Donny sekarang setelah diminta menangani masalah sumber daya manusia. Kadang menyerempet juga tentang hal pribadi. Maklum dua-duanya single parent. Diam-diam Donny suka memuji foto Dessy yang dipajang di jejaring sosial. Dia senang karena melihat foto Dessy selalu cerah, tertawa, gembira, penuh vitalitas. Hmmm, menarik. Asyik juga kalau jadi istri, pernah keluar kalimat itu di kepalanya, namun segera dia buang jauh-jauh. Dia merasa tidak ada jembatan penghubung di antara mereka. Sebagai teman saja, sudah menyenangkan hati Donny.

Setelah jeda agak panjang, yang agak mengherankan dirinya, Donny meneruskan komunikasi.
“Gimana ya. Kalau saya bilang aku cinta padamu, sama kamu Des. Kira-kira jawaban kamu apa ya. Saya mau membayangkan nih..”
“Saya pasti senang dong.”
“Aduh saya bingung. Dengan kamu saya bisa bicara terus terang, apa adanya. Dengan dia pasti susah deh..”
“Iya, itulah teman. Bebas bicarakan apa saja..”
“Ehmmm. Bagaimana kalau kita lebih maju dari teman.”
“Ah Bapak ini. Maksudnya gimana?”
“Di satu sisi kamu teman. Tapi di sisi lain saya ingin menjadi kekasih kamu..”
“Selama ini Bapak satu dari sedikit orang yang saya anggap sahabat sejati. Kita ngobrol tanpa rahasia. Saya percaya dan suka karena Bapak memberi perhatian dengan tulus.”
“Kamu tetap sahabat. Tapi sekaligus saya ingin mencintai kamu. Bahkan menjadikan kamu istri..”
Beberapa menit tidak ada jawaban. Jantung Donny berdebar-debar. Ya Tuhan apa yang kulakukan, pikirnya. Dia disuruh menembak Rahmi, malahan sekarang menembak Dessy yang dia jadikan konsultan untuk memupuk keberanian. Ditolakkah aku?

“Jadi nembak nih?” ketik Dessy, seperti bercanda.
“Aku mencintai kamu. I love you. Mau kan jadi pacarku?”
“Bapak serius. Bapak sungguh-sungguh?”
“Serius. Dari hatiku yang paling dalam. Sudah lama aku menantikan saat ini, Dessy.”
“Tidak akan meninggalkan aku? Tidak membuka hati ke orang lain?”
“Aku berjanji akan setia pada kamu. Aku tutup semua pintu dari orang lain?”
“Akan menerima semua kekuranganku? Nggak bisa masak? Mau menerima Dessy yang manja, suka ngambek, tapi cantik he..he..he..”
“Aku menerima kamu apa adanya..”

Gerakan tangan yang otomatis dan cepat membuat Donny tidak lagi sempat berpikir. Berjalan begitu saja, dengan cepat, seperti mengejar keretapi yang mulai bergerak pada saat dia baru membeli karcis di loket stasiun. Keretanya terkejar, dia masuk gerbong, tapi terengah-engah.
“Ya Tuhan. Aku melamarmu Dessy. Dan kamu menerima..”
“Iya, aneh. Kok bisa ya kita begitu..”

Luar biasa, karena sebelum bicara, bayangan bahwa mereka akan menjadi sepasang kekasih sama sekali tidak ada. Dessy yang tengah galau karena tidak mendapat kursi pesawat dan harus menunggu di bandara untuk pesawat besok pagi, senang karena ada teman ngobrol. Donny yang risau mendapat konsultan yang bisa menenangkan hati. Mendadak terjadi proses proposal cinta yang begitu cepat dan kilat. Keduanya hampir-hampir tidak percaya pada kenyataan yang ada. Lalu mereka ngobrol panjang lebar, apa saja, seperti baru bertemu setelah begitu lama berpisah.
“Sudah hari Rabu di sini,” tulis Dessy.
“Di sini masih kurang satu jam. Kita catat saja dua-duanya sebagai hari istimewa. Hari aneh, tetapi bahagia,” balas Donny.
Seperti tidak ada rasa kantuk, keduanya menyusun rencana pertemuan. Dan berbagai rencana lanjutan, untuk menyambung cinta yang nyata. Kalau dihitung-hitung sudah lebih dari empat jam mereka ngobrol melalui telpon pintar. Mata masih menyalang, tangan tidak pegal, perut tidak terasa lapar. Karena cinta yang melanda dua anak manusia. Donny berkata pada dirinya, Let it be

***

Palmerah, 1 Mei 2013.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru