Friday, April 19, 2024
Home > Cerita > Menemukan Alexa Cerpen : Kartika Permata

Menemukan Alexa Cerpen : Kartika Permata

Ilustrasi - Cincin di jari manis. (wikihow.com)

And if you say you’re okay, I’m gonna heal you anyway, promise I’ll always be there, promise I’ll be the cure.”  Mendadak lagu dari Lady Gaga berjudul The Cure tersebut mengalun di mobil Evan pada perjalanan pulang kami pada hari terakhirku bertemu dengannya.

Aku terus terdiam selama perjalanan pulang yang hanya memakan waktu sekitar tiga puluh menit menuju apartemen dari tempat kerjaku.

Evan yang sedang konsentrasi menyetir, sesekali melihat wajahku dan kembali memandang ke depan dengan rahang yang mengeras. Ada amarah dan kekesalan dalam wajahnya, dan aku sepertinya tahu mengapa.

* * *

Malam itu, pertama kalinya Evan menyatakan cinta secara langsung kepada seseorang. Alexa. Nama yang indah untuk didengar, membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama dan dapat melupakan seseorang yang ia susah lupakan seketika.

Tidak ada yang begitu spesial dari Alexa, kecuali lesung pipinya ketika ia tersenyum dan tertawa. Tapi tidak malam ini. Alexa harus menolak pernyataan cinta dari Evan, dengan berat hati.

“Karena apa, Lex?” tanya Evan kepadaku. “It’s too complicated, I can’t tell.” jawabku singkat. “Complicated? Cuma itu aja, Lex? Nggak ada yang lain?” tanyanya lagi.

Aku semakin merasa bersalah menolak Evan, meskipun dalam hati aku menjerit ingin sekali menjadi miliknya. Ada trauma dalam kepalaku, yang membuatku menolak untuk memulai sebuah hubungan baru kembali.

“Maaf. Intinya, aku nggak bisa,” ucapku lalu terburu-buru pergi keluar Evan kembali memandangiku dan kali ini ia menawarkan tisu agar aku bisa menghapus air mata yang terus membanjiri pipiku.

Untungnya hari itu aku menggunakan mascara waterproof, sehingga tidak ada jejak hitam di mata maupun pipiku. “Lex, aku mau kamu jujur sama aku. Sebelum akhirnya kita nggak bisa bertemu lagi. This is my last chance to know the truth,” ucap Evan tenang. Ia mencoba untuk tidak melukai perasaanku lagi. “Apa?” “Correct me if I am wrong. Aku merasa hubungan kita sangat menyenangkan, dan nggak ada tanda kamu nggak mau sama aku. Tapi kenapa kamu nolak aku waktu itu?” Tanya Evan langsung menerkam jantungku.

“Alasan kamu adalah it’s too complicated, dan kamu nggak bisa. Karena apa?” lanjutnya lagi. Aku terdiam dan mulai menangis lagi. Aku teringat akan traumaku yang mungkin tidak penting baginya. Tepat dua bulan sebelum Alexa masuk bekerja, ia harus berduka menerima bahwa ia menderita penyakit mental, bipolar disorder.

Hal ini menjelaskan mood swings dan berbagai hal lainnya yang sering terjadi kepada dirinya. Tentunya, hal ini sangat membuat Alexa frustrasi, sehingga seringkali membuat (mantan) kekasihnya gerah dan merasa terbebani untuk terus bersama Alexa.

Dua minggu setelah didiagnosa dan memulai pengobatan, Alexa harus menerima bahwa kekasihnya ingin berpisah darinya. Meninggalkan Alexa sendirian, dengan kondisi penyakitnya ditambah dengan keadaan keluarganya yang sangat tidak mendukung.

Alexa bertambah frustarsi, tetapi dia menyembunyikannya cukup baik dengan menyibukkan dirinya mencari pekerjaan dan berorganisasi. Sampai pada akhirnya ia diterima bekerja, dan bertemu Evan.

“I am sick,” ucapku singkat, mencoba untuk membuka luka pahit yang tidak ingin orang lain ketahui. Aku sudah mencoba menutup rapat-rapat mengenai penyakitku dan kenangan pahit yang disebabkannya.

“I am mentally sick, Van.” Lanjutku lagi. “And?” “Do you really want me to elaborate more?” “Yes I do.”

Aku terdiam sejenak. Mencoba untuk tidak menangis lagi, agar aku bisa menjelaskan kepada Evan mengapa aku tidak bisa menjalani hubungan dengannya. “Aku punya mental disorder. Bipolar,” ucapku mengawali pembicaraan ini dengan Evan. “Aku sering mood swings, depresi, cemas, kadang bahagia berlebihan, kadang sedih berlebihan pada fase-fase tertentu.” “…..” “Aku dalam masa pengobatan, dan kata dokternya entah kapan aku bisa sembuh. Aku baru menjalani pengobatan ini selama satu tahun,” ucapku tenang. Meskipun ada kegusaran Evan akan membenciku, menjauhiku karena penyakitku.

“Mantan pacarku mengetahui aku sakit, ia yang menyuruhku pergi ke psikiatris awalnya. Tetapi, dia nggak sanggup untuk terus menemaniku dalam masa pengobatan. Ia bilang, aku hanyalah beban.” Aku mulai menitikkan air mata kembali. Ada keheningan sesaat, sebelum Evan akhirnya membuka mulutnya.

“Apa alasan kamu menolak aku, karena kamu takut aku bakalan ninggalin kamu karena penyakit kamu?” “Iya.” Jawabku. “Dan aku nggak sanggup kalau harus merasakan sakit hati lagi pada waktu yang berdekatan.” Evan hanya mendesah mendengar jawabanku.

“Aku cuma takut, karena selama ini kamu terlihat bahagia dengan sisi diriku yang terlihat menyenangkan. Ada sisi lainku yang membuat orang yang aku sayangi itu ninggalin aku, Van.” Evan lalu menghadap ke arahku dan melepaskan seat belt.

Dia mendekatiku lalu memelukku dengan erat. “Lex, kita ini udah deket. Kenapa kamu nggak pernah ngomong?” ucapnya dalam pelukan. Aku menangis, lagi. Evan mencium keningku, dan entah mengapa aku tidak menolak. Terasa menenangkan bahwa ada seseorang yang peduli dengan keadaanku, tidak menghakimiku karena penyakitku.

“I do love you, Van,” ucapku tanpa beban sama sekali dan tidak nyambung dengan pertanyaan Evan. Mungkin karena aku berpikir ini adalah hari terakhir, aku tak ingin merasa menyesal. Evan lalu melepaskan pelukannya. Ada sedikit senyuman di wajahnya. “Beneran nih?” “Ya iyalah beneran.” “Terus kenapa aku ditolak?” “Takut patah hati lagi, kan tadi aku udah bilang.”

Mendadak suasana mencair, aku pun sedikit tertawa meski masih ada air mata turun di pipiku. Evan mencoba menghapusnya dan mencium pipiku. “Kirain aku ditolak karena aku udah ketuaan,” katanya membuatku tertawa. Evan memang bisa mengubah suasana tegang menjadi ringan kembali dengan candaannya.

“Nggaklah,” kataku lalu tersenyum malu. Evan lalu kembali memelukku. “Lex, I am way too old to leave you just because of your illness. It’s so childish. ” ucapnya lalu kembali serius. “Anyway, can I ask you something?” “Boleh.” Ada jeda sebelum akhirnya Evan berbicara. “Apa aku boleh, nemenin kamu sampe pengobatan kamu selesai?” “Nemenin?” “Iya nemenin.” “…..” “Tapi sebagai pacar,” ucapnya membuatku terkejut. “Dan aku mau hubungan ini serius.” “Ya iyalah hubungan serius, masa bercanda. I am way too old, sir.” “Ngeledek ya kamu?” ucapnya lalu mencubit pipiku dan menarikku ke dalam pelukannya lagi. “Jadi mau nggak?” “Ya maulah….”

* * *

Hari ini, aku menemui dokterku, ditemani oleh Evan yang menunggu di luar. “Kamu keliatan lebih bahagia ya sekarang? Something good happens?” ucap dokterku pada sesi yang sudah entah ke berapa. “Yes.” “Perkembangan kamu cukup baik, keadaan kamu mulai stabil. Tetapi, kamu masih butuh pengobatan.” “Baik dok.” “Yaudah, untuk hari ini segitu dulu. Unless, kamu ada hal yang mau diceritain?” ucap dokterku sambil tersenyum. “Nggak ada dok. Aku cuma mau kasih tau aja, I feel better now.” “That’s good for you.”

Dokterku pun langsung menghadap ke arah komputernya seperti biasa. Ia menuliskan resep obat terlebih dahulu sebelum akhirnya aku bisa pergi. “So, see you next appointment?” “Yes!” ucapku semangat. Aku lalu menjabat tangan dokterku dan keluar dari ruangan.

Evan saat itu lagi terduduk di ruang tunggu, terlihat tampan dengan kemeja pas badan dan celana dark blue jeans. “Jadi gimana kata dokternya?” tanya Evan ketika aku menghampirinya.

“Katanya udah mulai stabil, so aku semakin mendekati tahap lepas dari obat!” “Good!” ucapnya lalu memelukku. “Yaudah, kita langsung pergi makan yuk. Ke tempat waktu pertama kali jalan, mau nggak?” “Boleh banget! Aku kangen makan sushi. Tapi aku ambil obat dulu ya.”

* * *

Sesampainya kami di restoran, Evan memilih kursi sofa di sebelah sushi bar. Ia selalu suka untuk duduk di sebelahku, katanya lebih asik bersebelahan daripada harus berseberangan.

Setelah selesai memesan makanan, Evan terlihat sedikit gusar. “Kenapa sih dari tadi resah banget? Sakit perut?” ucapku mencoba mencairkan suasana.

Wajah Evan semakin tegang. “Lex, aku mau ngomong serius sama kamu.” ucapnya membuatku degdegan tidak karu-karuan. Aku takut Evan ingin meninggalkanku.

“Okay…” “What do you think about marriage?” “….” “Can you see your future with me?” “Oh no, this is happening.” ucapku dalam hati.

Mukaku menjadi tegang dan detak jantungku sudah seperti irama musik dubstep. Sembari mengeluarkan kotak beludru merah, aku bisa menebak apa perkataan yang akan keluar dari mulut Evan.

“Kamu mau nggak nikah sama aku?” ucapnya sambil membuka kotak tersebut. Aku yang mendengar perkataan tersebut dan melihat apa yang Evan lakukan depan mataku, membuat diriku ingin berteriak namun aku tak sanggup karena saking lemasnya.

“Are you serious?” ucapku pelan tapi penuh dengan tekanan pada kata-kata tersebut. Evan yang awalnya tegang, kini tertawa melihat tingkahku. “Ya seriuslah. Masa aku bercanda?” ucapnya mengambil cincin dan memegangnya di depan wajahku.

“Why would I say no..” ucapku pelan, meskipun dalam hati aku ingin berteriak supaya satu restoran ini mengetahui betapa bahagianya aku. Meskipun ingin marah karena Evan melamar di restoran sushi. “Tapi kamu kurang romantis ah, masa di restoran sushi sih!” lanjutku pura-pura ngambek. “Tapi kan ini tempat pertama kali kita ngedate.” ucapnya tenang dan tersenyum melihat tingkahku yang seperti anak kecil.

“Aku mau pergi ke tempat pertama kali kita pergi, sama seperti aku mau jadi tempat pertama kamu dalam segala urusan. Aku ingin jadi yang pertama kamu lihat pas kamu bangun tidur, aku ingin jadi tempat pertama kamu berkeluh kesah ataupun memberikan berita bahagia, aku pingin jadi yang pertama untuk jadi yang terakhir.” ucapnya panjang seperti seakan sudah direncanakan.

“Jadi, kamu mau terima nggak cincinnya?” ucapnya lalu menyodorkan cincin tersebut di depanku. “or should I say it again, will you marry me?” Aku hanya bisa terdiam, tersenyum melihat dan mendengar perkataan Evan yang sangat menyentuh hatiku.

“Yes, I do,” ucapku lalu menyodorkan tanganku kepada Evan, agar ia bisa memasukkan cincin di jari manisku.

“Terima kasih Tuhan, aku menemukanmu, Alexa,” katanya lalu mencium jemariku kemudian keningku, membuatku tersenyum amat bahagia. ***

Jakarta, Oktober 2018

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru