Saturday, April 20, 2024
Home > Cerita > Cerita Bale-Bale > Lebaran di Ciampea, Catatan A.R. Loebis

Lebaran di Ciampea, Catatan A.R. Loebis

Aku bersama keluargaku di saung kecil di pojok perumahan Puri Arraya di Ciampea, Bogor. (dok)

Gema takbiran saling bersahutan di udara.  Seketika merinding bulu roma, melintas beragam gambar hari raya lalu yang bahagia.  Kini, aku hanya berdua dengan istri di pelosok desa sepi ini. Ruang terbuka sebelah kanan rumah yang penuh berbagai jenis pepohonan, dedaunannya seolah melambai mengucapkan selamat pagi.

Aku bergegas ke masjid tak jauh dari kediaman, sedangkan istri tinggal di rumah. Jalan menanjak, lurus, panjang, lengang sejauh mata memandang, kutempuh jalan cepat, sedikit ngos-ngosan, mengejar waktu karena shalat Ied Fitri 1441 H segera akan dimulai.

Kawasan masjid sudah penuh jamaah.  Di bagian belakang untuk para wanita. Kupasang masker, pandangan berputar mencari tempat duduk dan kupilih di hamparan rumput. Beberapa jamaah yang datang belakangan pun berdatangan ke hamparan rumput, mengembangkan sajadah, duduk mengambil jarak, di Masjid Arraya, Ciampea, Bogor Barat.

Sudah tiga bulan ini aku dan istri “terkarantina” di kawasan ini, karena tidak sempat lagi kembali ke Jakarta, akibat hebatnya berita tentang Covid19, yang secara dramatis mengurangi semua kegiatan manusia di muka bumi ini.

Usai shalat, hanya satu dua jamaah yang bersalaman. Aku dan jamaah di kiri kanan, hanya berpandangan, kemudian saling melengos menggulung sajadah. Aku tak tahu apakah jamaah di kiri kanan itu tersenyum, karena masker menutup sebagian muka mereka.

Belakangan ini, dimana-mana, hanya mata yang berbicara. Mata menggantikan mulut untuk bertutur-kata, kalimat tidak lagi untuk telinga, melainkan langsung menyentuh rasa dan jiwa.

Khutbah shalat di Masjid Arraya sebentar saja. Usai berdoa, semua bubar tanpa tegur sapa, tanpa bersalaman. Seolah semua manusia ini sudah menjadi makhluk berbahaya satu sama lain. Ya Allah, betapa berbedanya suasana Lebaran kali ini.

Tiba di rumah, istri yang baru usai shalat sendiri, menyambutku, wajahnya cerah sumringah, mungkin ia menghayati betapa besarnya nilai Hari Kemenangan ini. Walau pandemi  yang menimpa kita semua, baru terjadi kali ini, sepanjang umur kita.  Kejadian yang menimpa kita semua manusia penduduk dunia.

Betapa dahsyatnya “teguran” yang menimpa kita. Betapa hebatnya nasib mendera manusia. Banyak yang sakit, banyak yang meninggal, banyak yang tercerai berai anggota keluarga dan famili. Bayangkan, ada sakit, dibawa ke rumah sakit, dinyatakan terinfeksi, meninggal, tak satu pun anggota keluarga menjenguk, mendoakan dan menguburkannya.

Hidup dan mati jaraknya amat dekat, hanya seperpalingan muka. Berbagai masyarakata dunia seolah kembali kepada “agama”, memohon ampun dan kesembuhan dari Dzat yang terlihat. Tapi manusia tetap dicoba dulu, untuk tidak berkumpul berjamaah, untuk merenggangkan diri, untuk tidak saling bersentuhan bahkan dengan keluarga sendiri.

“Alhamdulillah, minal aidin walfaizin,” kata istri menyambut kedatanganku dari masjid. Kedua lengannya terbuka, memelukku dengan erat dan aku mencium keningnya. Wanita di hadapanku ini, sudah membuahkan tiga anak perempuan untukku dan kini sudah menyemai keluarga kami hingga lahir enam cucu, di antaranya empat wanita dan dua lelaki. Semua cantik, mungil, lincah, tampan.

“Wahai istriku tercinta. Terima kasih kau telah mendampingiku begitu lama. Di antara suka dan duka. Di antara senyum, tawa, marah, bahagia, jengkel.  Semakin bertambah usia, aku semakin merasakan kedalaman cinta. Walau tak kunyatakan, betapa cintaku padamu takkan luntur.”

Aku semakin merasakan bentuk cinta lain, tidak lagi sebagai cinta dikala kita dulu masih muda. Betapa takutnya aku kehilangan kau,” aku bergumam dalam hati. Kugenggam kedua lengannya dan kami sarapan bersama di meja kecil. Berdua, di tengah sepi dan kelengangan yang menusuk. Berdua, tiada suara dan celoteh yang mengusik. Kumandang takbir masih terdengan sayup dari kejauhan.

Sembari menyuap lontong dan rendang ke dalam mulut, aku membayangkan betapa hebatnya, penderitaan manusi disebabkan Korona itu. Tetapa di sisi lain, betapa luar biasanya hikmah yang dituangkannya kepada manusia.

Intinya, manusia kembali kepada tatakrama hidup manusiawi, seperti kebersihan, kembalai dekat dengan keluarga, belajar agama karena harus menjadi imam yang sebenarnya dalam keluarga – apalagi bertepatan dengan Ramadan.  Tidak bersentuhan dengan yang bukan muhrim, berkurangnya kehidupan maksiat di malam hari, dll,dll.

Tak lama kemudian, beberapa tetangga mengenakan masker berdatangan, bersalaman tanpa bersentuhan di depan pintu pagar kemudian langsung pamitan. Tata hidup baru sudah dimulai. Orang amat takut dengan mulut orang. Orang amat takut bersentuhan.

Aku dan istriku masuk ke dalam rumah. Kami kembali berdua, diterpa sepi dan hening berkepanjangan.

oOo

Hari kedua Lebaran 2020.

Ketiga anakku datang, tiga menantu datang, enam cucu hadir. Hatiku berkembang, senyum  istriku mengambang. Luar biasa hahagia momen ini.  Aku berusaha menahan haru.  Entah kenapa, belakangan ini gampang sekali mataku memanas.

Hidup normal baru sudah terjadi. Setiap anggota keluarga yang datang mengenakan masker. Turun dari kendaraan tak langsung bersalaman, istri sudah menyiapkan berbagai kebutuhan untuk cuci tangan, membasuh muka dan kaki.

Kemudian baru buka masker sehingga senyuman terlihat merekah. Salaman, berpelukan.  Itu yang terjadi setiap anak datang bersama rombongannya. Celotehpun saling bersahutan. Tentang berbagai hal, tentu saja menyangkut wabah dunia yang sedang menyerang.  Kini kami puas saling bercerita langsung, karena selama ini saling pandang hanya melalui panggilan video (vc).

Rumah mungil kami kini terasa dihuni manusia. Tawa, tangis anak dan bayi, cerita, gerak kesana-kemari, kue dan kacang berserakan.  Maklum para cucu itu masih pada bocah, selain dua remaja dan satu bayi. Tentu tingkah dan karakter mereka macam-macam.

Nah, aku mau cerita sedikit tentang masalah karakter.  Watak manusia itu terkadang seperti cap jempol, semua orang memilikinya tapi garisnya berbeda.  Itulah yang kudapat pada ketiga puteriku, ketiga menantuku dan keenam cucuku.

Ada yang teduh bicaranya, ada yang suka meledak-ledak, ada yang pendiam, ada yang periang, ada yang ekstrovert dan introvert ada yang temperamental. Eh, si bayi yang baru berusia hampir empat bulan, sudah menunjukkan watak tersendiri.  “Ah ini bayi kalau dipangku atau digendong ingin seperti maunya sendiri. Menghadap depan lah, gak mau dibawa duduk lah,” kata istriku.

Bila aku merenung malam hari, aku membanding-bandingkan mereka semua. Aku bertanya pada diri sendiri, siapa di antara mereka yang paling kusayang, paling kucinta.  Seperti kedalam cinta pada istri yang kuungkapkan di atas tadi?

Bagaimana rasanya mencintai istri, kekasih, ayah, ibu, anak, cucu, nenek, kakek dan lainnya yang bernyawa. Ini masalah rasa secara universal. Dapatkan Anda membedakannya? Apakah cinta dapat dipelajari? Tingkat dan kedalamannya? Kurasa tidak, cinta itu inti terdalam dari jiwa. Bukan permainan  kata melainkan desir dalam dada.

Ah, renunganku semakin dalam dan bertanya lagi pada diriku, apakah karakter dapat membedakan cinta?

Cinta kepada ketiga puteriku, Laila, Ami, Riri, kepada ketiga mantuku, Reza, Rendro, Soni,  kepada keenam cucuku, Mica, Lubna, Aric, Jenna, Iyas dan Maryam, dimanakah letak mereka masing-masing dalam hatiku?

Aku merasakan, cinta tidak dapat dipilah-pilih. Ia menyatu bukan dalam bentuk ruang-ruang dalam jiwa, melainkan tetap merupakan satu keutuhan. Bila kita mendengar alunan lagu, keindahan tilawah Al Quran, apakah dahaga cinta kita akan tersentuh?

“Atok kok banyak suara kodok di sini?,” seorang cucu bertanya. Renunganku buyar. Kupandangi wajah para keturunanku yang datang ke Ciampea.  Mereka umumnya berbinar-binar, mungkin sesaat merasa lega setelah terpenjara di rumah masing-masing dalam tiga bulan kedatangan mbah Korona ini.

Mereka semua tidak berkotak-kotak melainkan bersatu dalam ikatan cinta dalam hatiku. Wahai anakku, cucu serta mantu, aku tak bisa membeda-bedakan kalian semua, yang sudah terpateri dalam jiwa sepanjang hayatku.  Ini pelajaran yang kudapat dalam seketika ini.

Kalian semua merupakan ciptaan Dzat Illahi, sang pemilik dan penebar cinta kepada semua makhluknya di alam fana ini. Cinta kami kepadaMu tak terhingga. Engkau berikan rasa cinta pada hamba, untuk hamba sebar kembali kepada anak cucu hamba. Cinta merupakan sesuatu yang tak terlihat, kasat mata, tetapi jangankan lengan, mata kami pun sebenarnya sudah membelai semua kesayangan kami.

Hujan menyiram Ciampea, panas berganti teduh. Dedaunan melambai-lambai. Tak lama kemudian cuaca mulai dingin, mendung petang turun, pertanda malam akan datang.

Usai shalat Magrib, tamu-tamu istimewa saya itu bersiap-siap kembali ke kediaman masing-masing.

“Assalamu’alaikum Ayah, Ibu, kami pulang ya. Hati-hati di sini,” kata anak.

“Kami pulang dulu ya Atok, Nenek,” seru cucu.

“hati-hati di sini ya Yah, Ibu,” kata mantu.

Kami saling melambai. Kuikuti dengan pandang buntut mobil mereka bergantian menikung berbelok di ujung gang.

Kami kembali berdua, duduk termangu di tepi saung, istiku menarik nafas panjang. Aku merasa pelupuk mataku mulai panas.

Kami mulai lagi menghitung hari.

oOo

(arloebis.com)  – Ciampea, 27052020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru