Friday, March 29, 2024
Home > Berita > DPR Versus KPK

DPR Versus KPK

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Rapat Paripurna DPR, Jumat 28 April 2017, menyetujui penggunaan hak angket terkait pelaksanaan tugas Komisi Pemberantasan Korupsi yang diatur dalam Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tujuan DPR mengajukan hak angket kepada KPK adalah guna memaksa KPK menyerahkan berita acara pemeriksaan (BAP), dan membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam Haryani, terkait  kasus korupsi KTP elektronik (e-KTP).

Sejumlah anggota DPR merasa perlu melakukan investigasi terkait nama-nama anggota DPR yang disebut mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Hanura, Miryam Haryani, ketika dia diperiksa Penyidik KPK dalam kasus korupsi KTP elektronik tersebut. Memang keputusan menyetujui penggunaan hak angket ke KPK tidak bulat, karena ada sejumlah fraksi yang dengan tegas menyatakan menolak.  Fraksi di DPR yang tidak setuju, seperti  Gerindra, Demokrat, PKB, PKS, PAN, dan PPP, meski diantara 26 yang sebelumnya ikut menandatangani usulan hak angket terdapat nama dari fraksi yang menolak.

Dari Gerindra  Desmond Junaidi Mahesa (Dapil Banten II) ikut menandatangi, begitu juga dari PKB ada Rohani Vanath (Dapil Maluku), dari PAN  Daeng Muhammad (Dapil Jawa Barat VII), dari PKS  Fahri Hamzah (NTB), dari PPP Arsul Sani (Dapil Jateng X). Penandatangan terbanyak berasal dari Fraksi Golkar 10 orang, diikuti Hanura 7, PDIP 2, Nasdem 2.

Persetujuan pengajuan hak angket  yang “diketok” Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah pada sidang paripurna, Jumat (28/4), langsung mengundang reaksi dan lebih banyak mempersalahkan DPR. Umumnya berpendapat—baik dari kalangan pengamat hukum, tokoh masyarakat, organisasi terkait hukum, terlebih KPK—keputusan itu tak lain bertujuan untuk pelemehan KPK. DPR dikatakan berkepentingan untuk melemahkan KPK tersebut.

Pasal 79 ayat (3) Undang-undang No.17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, memang menyebutkan: hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Lali dimana letak kesalahannya, hingga DPR perlu mengajukan hak angket ke KPK?

Dalam menilai KPK, siapun tak boleh menempatkan atau bertindak bak kura-kura dalam perahu atau coba mengumpet di selembar daun hilalang. Kita amat naif bila berpura-pura tidak tahu dalam menyikapi keputusan DPR dalam memajukan hak angket. Rasanya tak mungkin pula DPR berlindung dibalik hal yang tak masuk akal dalam mengajukan hak angket, yakni alasan yang terlalu dicari-cari karena kepentingan pribadi.

Di tengah masih terjadi perbuatan korupsi, bahkan mega korupsi, terlalu berani jika KPK “dibonsai”. Apa jadinya negeri ini, jika “pemburu koruptor” sekelas KPK dilemahkan sesuka hati. Karenanya para anggota Dewan yang terhormat perlu berpikir ulang, apakah keputusan tersebut tidak bertentangan dengan kebutuhan negeri ini? Apakah hak angket KPK itu bukannya mengutungkan para koruptor? Atau apakah DPR memang bermaksud melindungi para koruptor?

Ingat, apa yang dilakukan DPR telah mengundang pendapat “miring”. Ada yang menganggap  hak anget merupakan kepanikan DPR, karena banyaknya anggota dewan yang terdangkut korupsi. Ada pula yang menyebut keputusan itu merupakan penyalahguaan wewenang. Dan yang paling penting disasari, kecuali DPR dan koruptor, mungkin tak ada yang meninginkan hak angket dimaksud. Apalagi yang ingin menjadikan KPK tak lagi menangani para koruptor kakap.

Upaya melemahkan peran KPK bukan sekali ini saja pernah terjadi, tapi telah berulang kali diajukan oleh berbagai pihak. Ancaman dari DPR juga telah pernah terjadi, apalagi dari pihak-pihak yang merasa dirugikan langsung. Bahkan tak sedikit berpendapat KPK tak diperlukan lagi. KPK yang merupakan pemburu koruptor kakap memang tak pernah sepi dari ancaman, yang juga dialami oleh orang-orangnya secara pribadi. Lalu apakah kejaksaan dan kepolisian sudah bisa diandalkan menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi? Rasanya tugas yang diemban KPK belum bisa dilepaskan.

Karena itu dapat dipastikan banyak kalangan akan membela KPK, berupaya dengan cara masing-masing untuk mempertahankan kiprah KPK. Dan KPK sendiri tentu tidak akan tinggal diam, mempersiapkan segala sesuatunya mempertahankan eksestensi. Kita berharap semua pihak ikut membela KPK, mulai dari Presiden hingga masyarakat banyak. Jangan biarkan KPK dikebiri, diacak-acak oleh pihak tertentu karena merasa dirugikan atau terancam masuk ruang berjeruji besi. Hanya satu kata bagi yang ingin “membonsai” KPK; Lawan!***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru