Katakan Tidak
Oleh: Djunaedi Tjunti Agus
Lebaran sudah akan datang lagi, tapi entah kenapa wajah teman-teman lama yang sempat melintas dalam pikiran sejak Ramadhan tahun lalu masih terus bertahan. Beberapa hari terakhir ini saya justru bagai dipaksa mengingat-ingat siapa saja teman, senior, guru, dosen, yang pernah saya kenal. Saya juga mengingat teman, tetangga, ketika masih tinggal bersama orang tua di Palembang, Jakarta, kemudian kembali ke kampung. Juga teman saat sekolah, kemudian teman kuliah setelah pindah ke Jakarta, serta para sahabat setelah saya berkerja.
Saya kehilangan jejak teman-teman SD di Jakarta, tapi ingat nama Nuraini, teman di salah satu SMP di Padang , juga Azizah. Saya masih hafal nama dua teman yang memiliki nama sama—Nurlis—yang oleh guru wali kelas cukup ditambahkan huruf A dan B untuk membedakannya. Saya masih bisa membayangkan sosok Pak Rachman wakil kepala sekolah dan guru matematika Ibu Nurjanah.
Saya juga ingat Pak Muchtaruddin, kepala sekolah di sekolah kejuruan, serta M Donald dan Ridwan teman akrab saya di sekolah itu. Juga saya masih sangat hafal wajah Ina, Ipos, Emy, anak tentangga di sebelah rumah sewa yang saya tempati. Saya juga masih dapat membayangkan wajah Pak Freddy Rorimpande, salah seorang dosen di sebuah akademi/sekolah tinggi di Jakarta, serta teman-teman di kampus itu seperti Amos, Leo, Hardimen. Dimanakah mereka sekarang?
Di hari lain, waktu memainkan tuts komputer, saya coba mengumpulkan nama-nama senior, teman yang pernah saya kenal ketika sudah bekerja. Esoknya iseng-iseng beberapa senior dan teman lama saya tuliskan di status facebook. Tanpa disangka, satu dua teman lama merespon. Tapi alangkah kagetnya saya, beberapa nama yang saya cari ternyata telah almarhum.
“Dia telah berpulang, menemui sang khaliq,” tulis seorang rekan, merespon status saya di facebook.
Sejak hari itu kegiatan saya bertambah, saya mengumpulkan nama-nama senior dan sahabat saya yang telah meninggal di grup yang saya buat. Kali ini khusus senior dan teman-teman seprofesi yang berkaitan dengan perusahaan yang mewadahi pekerjaan kami.
Hari demi hari nama-nama di daftar yang saya tulis terus bertambah.
“ Ada apa dengan mu kawan? Kenapa tiba-tiba saja Anda mengumpulkan nama-nama senior dan rekan kita yang sudah tiada? Kenapa tidak mencari senior dan teman yang masih ada?,” komentar seorang kawan di facebook saya.
Dia mengingatkan saya untuk juga menulis nama-nama senior dan rekan yang masih ada. Akhirnya muncul grup kami. Saya menampilkan nama-nama teman-teman, baik yang masih “segar bugar” maupun yang sudah pergi ke alam baqa.
Hari-hari berikutnya, teman-teman lain memberikan masukan tambahan. Sederetan nama senior dan sahabat kami yang telah lebih dulu kembali ke hariban-Nya pun saya terima. Begitu pula nama-nama mereka yang masih hidup.
“Kawan. Mudah-mudahan saya tidak segera masuk dalam daftar di bagian bawah yang ada susun. Saya berharap masih bisa hidup, sehat, dan sejahtera, 20 tahun lagi,” tulis sahabat kental yang akhir-akhir ini saya panggil dengan sebutan Pak Haji.
“Saya juga berharap serupa. Anak-anak saya masih kecil. Bagaimaan mereka nanti, sekolah mereka, makan mereka. Bagaimana ibunya?,” tulis sahabat yang lain mengomentari kegiatan saya, juga lewat facebook.
Ya, saya jadi sering merenung sejak memiliki kesibukan mencari tahu tentang keadaan teman-teman, baik yang masih aktif maupun yang sudah lama berpisah. Satu dua teman datang di layar komputer atau di layar android saya, menyapa, memberikan info lewat facebook. Kami kembali berhubungan satu sama lainnya, meski dari jarak berjauhan.
Kadang saya tersenyum sendiri membaca komentar teman-teman, kadang mengerutkan kening mendapat kabar tentang kemalangan yang dialami seorang kawan. Tapi kerap juga bangga mengetahui kisah sukses sahabat. Sepertinya waktu kembali surut ke masa lalu, kami bisa berkumpul, saling berciloteh, becanda meski itu hanya lewat facebook. Sekali-sekali beberapa diantara kami sepakat ketemu, berkumpul untuk bernostalgia sambil makan-makan.
***
“Inikah tanda-tanda akhir perjalanan?”
Kadang terbersit pertanyaan yang saya khawatirkan itu. Terus terang, seperti teman-teman, saya juga belum siap, setidaknya belum siap dipanggil yang Maha Kuasa. Saya belum yakin istri dan anak-anak siap menerima kenyataannya. Meski pada berbagai kesempatan kepada mereka selalu saya tekankan, hidup di dunia hanya sementara. Jika Allah menghendaki , siapa pun tak bisa minta penundaan. Langkah, rezeki, pertemuan, maut, Allah yang menentukan.
“Ah kerinduan terhadap masa silam itu biasa. Itu tanda-tanda kita masih normal,” kata Yayan, sahabat satu profesi yang masih rutin berkomunikasi dengan saya.
Kami memang tumbuh dan berkembang bersamaan. Sebagai remaja yang sedang bergairah, kami yang bekerja dalam dunia publik kerap jalan bareng dalam tugas ke berbagai daerah dan mancanegara.
Hampir seluruh nusantara sudah kami kunjungi, dan lebih dari separuh dunia sudah kami datangi. Dalam waktu yang tak jauh berbeda pula kami mendapatkan pendamping masing-masing. Dan kini anak-anak kami hampir seusia pula. Karenanya wajar kami memiliki kekhawatiran yang sama.
“Terus terang saya belum siap, meski sesungguhnya saya menyadari dari sisi usia saya sudah memasuki masa senja,” kata saya
Kami sama-sama manejer di perusahan masing-masing, tapi sebagai manajer di perusahaan kecil gaji kami pas-pasan. Kami tak diberi kendaran perusaan, naik sepeda motor, masih kerap ngutang untuk membiayai kebutuhan rumah tangga, kebutuhan sekolah anak-anak.
Pimpinan di perusahaan tak ada yang peduli soal itu, kecuali menuntut ini dan itu.
Untungnya saya memiliki istri yang sangat mengerti kondisi, tak macam-macam. Sadar pendapatan suaminya jauh dari cukup.
“Nikmati saja apa yang kita punya. Allah itu maha tahu,” kata istri saya suatu ketika.
“Buat apa kita kaya jika sakit-sakitan. Untuk apa banyak harta jika kita tak kenal saudara, kerabat, dan tetangga?,” kata istri saya lagi.
Ya saya bahagia, meski sebagai seorang yang berjabatan manajer masih harus mencuci karpet sendiri, mencuci sepeda motor
***
Masa sulit atau pas-pasan akhirnya berakhir juga. Kini era baru, saya sudah memiliki kemampuan lebih dari cukup. Rumah sudah berubah mewah, kemana-mana diantar pakai mobil lumayan mewah. Tak perlu nyetir sendiri karena ada sopir.
“Ingat. Di padang masyar anda akan telanjang tanpa sehelai benangpun, matahari sangat dekat di atas kepala. Antara satu dengan lainnya tak ada yang peduli. Yang dirasakan dan dialami masing-masing juga berbeda-beda, sesuai dengan amal perbuatan dan ibadahnya saat di dunia.”
Saya sudah tahu kemana arah pembicaraan kawan dekat saya ini. Saya tak hendak berkomentar, hanya diam,
“Jadi, jangan mentang-mentang sudah kaya, sudah enak, kamu lupa masa lalu, lupa akan agama. Ingat kekayaan yang kamu miliki nantinya akan dipertanggung jawabkan di depan Allah Azza Wa Jalla. Tidak ada satupun yang bisa Anda sembunyikan. Allah Maha Tahu.”
“Ya. Saya tahu,” kata saya.
“Nnnnaaaahh!” Dia lalu diam, cukup lama.
Tiba-tiba dia berdiri. Berputar, tiba-tiba berbalik sambil menudingkan telunjuk tangan kanannya, mendekat. Telunjuknya menyentuh dada kiri saya.
“Karena itu, sebelum terlambat. Sebelum kamu terjerumus terlalu dalam. Hentikan sampai di sini, kamu kembali kepada jalan yang benar. Pilihlah istri dan anak-anak mu saja. Titik!”
Kawan saya ini kembali duduk di kursi semula, berseberangan dengan saya. Tangan kanannya meraih gelas, kemudian meneguk lemon tea dingin kesukaannya. Dia tidak peduli dengan reaksi beberapa orang yang duduk di meja sebelah kami di restoran yang lumayan ramai di siang itu.
“Siapa nama selingkuhanmu itu?,” katanya cukup keras. Beberapa orang kembali melirik.
“Oh, maaf telah mengganggu,” katanya sambil mengangguk ke orang-orang di meja sebelah kanan. Yang diajak bicara hanya tersenyum, sepertinya mereka tak peduli.
Lalu dia kembali memandang tajam ke arah saya.
“Katakan tidak. Semua itu adalah rayuan iblis, setan. Jangan mau kalah.”
“Kamu tidak perlu berhenti facebookan. Media sosial itu tidak salah. Yang salah adalah kamu sendiri, kenapa tergoda oleh wanita itu. Janda lagi,” katanya datar.
Saya hanya diam. Karena memang tidak memiliki kata-kata apa yang harus saya ucapkan.
“Kecuali istri kamu setuju dan kamu bisa berlaku adil. Tidak berat sebelah,” tuturnya.
“Apa kamu pikir janda itu juga mau dinomor duakan. Dia juga ingin perhatian dari suaminya. Ingin mendapat giliran yang adil. Saya yakin kamu belum mampu. Apa yang kamu banggakan, apa andalan kamu?”
Teman saya ini terus nyerocos, tak peduli tamu di kiri kanan sudah silih berganti, dan diantara mereka ada yang terlihat terganggu dan ada pula yang tak peduli.
“Jangan hancurkan kebahagian keluargamu. Jangan kau beri harapan kosong pada janda itu. Akhirilah keinginan kamu punya bini dua. Kamu tidak mampu. Jangan anggap kekayaan yang kamu miliki bisa mengatasi segalanya.”
“Kau bilang janda itu kaya. Tidak perlu uang belanja dari kamu. Ketahuilah kawan. Boleh saja dia kaya, tapi jangan anggap dia tak akan menuntut apa-apa. Justru dengan kekayaannya lama-lama kamu dibeli. Tidak boleh pulang ke bini tua mu, kepada anak-anakmu. Apa kamu gak pernah berpikir tentang itu?”
“Katakan tidak. Itu godaan yang harus kamu taklukkan”.***
*Jakarta, November 2019