Tuesday, March 19, 2024
Home > Cerita > Banjir, Cerpen Djunaedi Tjunti Agus

Banjir, Cerpen Djunaedi Tjunti Agus

Cerpen: Banjir

Oleh: Djunaedi Tjunti Agus

Beberapa hari terakhir kantor kami sangat ramai. Lantai dasar riuh rendah dengan suara anak-anak berlarian. Naik ke lantai 1, di ruang tamu memang agak sepi, tapi di musala yang ada di lantai itu ibu-ibu sangat banyak. Ada yang tidur-tiduran, ada yang meneteki bayi. Di lantai 2, ruang tamu untuk bidang usaha sampai ke depan lift, juga penuh degan keluarga karyawan. Hanya lantai 3 atau lantai terakhir yang agak normal, tapi juga ada satu dua anak-anak dan ibu mereka istirahat di ruang tamu.

“Banjir di mana-mana. Hampir semua karyawan membawa keluarga ke kantor. Ya beginilah jadinya, kantor kita seperti sekolah, kayak pasar,” kata Suparna, karyawan bidang usaha.

“Apa Bapak nggak bawa keluarga,” kata saya.

“Iya juga sih. Tapi keluarga saya ada di musala, nggak mengganggu kegiatan kantor.”

“Kenapa di lantai 3 tidak seramai lantai lain?”

“Di lantai 3 kan lebih banyak ruang bos-bos. Jadi selain keluarga pimpinan, keluarga karyawan tak boleh ada di lantai ini,” kata Suparna.

Tak ramainya di lantai 3 cukup melegakan saya. Saya memang tidak terlalu suka dengan suara bising anak-anak, mungkin karena belum terbiasa, masih bujangan. Untuk pertama kalinya saya merasa beruntung ditempatkan di lantai 3, karena sebelumnya saya sering sebel,sebab harus kerap menuduk atau senyum setiap berpapasan dengan pimpinan.

Suparna pamit hendak kembali ke lantai 2, menuju ruang kerjanya. Saya lupa menanyakan apa urusan ke lantai 3. Lagi pula apa peduli saya.

“Eh, Bung, ke ruangan saya sebentar.”

Baru saja hendak menuju meja kerja tiba-tiba saja Pak Gafar memanggil. Saya jelas tak mungkin menolak, karena dia pimpinan kami. Tanpa bertanya saya mengikuti ke ruang kerjanya.

“Silakan duduk,” katanya sambil menarik kursinya dan duduk berseberangan dengan saya di meja jati besar.

“Jadi anda juga membawa anak istri ke kantor?”

“Tidak Pak. Saya masih bujangan.”

“Oh, kamu masih bujangan. Saya pikir sudah berkeluarga. Berapa umurmu?”

“Dua puluh delapan, Pak?”

“Dua puluh delapan? Seharusnya sudah berkeluarga. Saya dulu menikah usia 26.”

Saya hanya diam. Tidak tahu harus berkata apa.

“Ya sudah. Silakan kembali ke meja kerja anda.”

Baru saja keluar dari ruang Pak Gafar, Bu Mirna memanggil.

“Sini, sini. Kamu ditanyai apakah juga bawa anak dan istri ke kantor kan ?”

“Ya, kok Ibu tau. Apa Ibu juga ditanya soal itu?”

“Ya, ya. Semua orang di lantai ini pasti ditanya Pak Gafar. Dia lupa kamu masih bujangan. Kamu kemana aja? Oh ya, baru kembali dari luar kota . Saya lupa. Ya sudah. Tapi ngomong-ngomong Pak Gafar punya anak perawan lho.”

***

Untuk ukuran kota kami sebenarnya banjir yang terjadi beberapa hari terakhir masih terhitung normal. Memang di beberapa tempat sudah banjir, tapi belum parah. Apalagi dibanding tahun 2007, dimana sebagian besar pemukiman tenggelam, jalan utama pun sulit ditembus kendaraan. Bahkan hampir seluruh kantor pemerintahan  terancam tenggelam.

Meski begitu kantor kami telah ramai oleh istri dan anak-anak karyawan yang mengungsi.

“Biar saja. Itu untuk kebaikan kita dan keluarga. Bagi yang sudah terkena banjir pikiran mereka tak terpecah. Bagi yang belum, ya biar tidak was-was,” kata Pak Bambang, atasan ku di bidang promosi.

Sebagai perusahaan kelas menengah milik pribumi, rasa kebersamaan di tempat kami terjalin sangat baik. Satu sama lain akrab. Pemilik perusahaan ini pun konon  sangat baik dan perhatian. Namun dia sangat jarang ke kantor, semua urusan diserahkan kepada Direktur Utama, Pak Gafar, yang ternyata menantunya.

“Kenapa Pak Gafar begitu perhatian terhadap keluarga karyawan? Sampai perlu mengingatkan agar karyawan mengamankan barang-barang di rumah masing-masing agar tak terendam banjir?”

“Pak Gafar tak ingin karyawannya sakit, apalagi rugi karena semua perabot rumah tangga tenggelam,” kata Pak Bambang.

Banjir besar Februari 2007 menimbulkan trauma pada Pak Gafar. Dia terjebak dalam kendaraannya di tengah banjir. Pak Gafar diselamatkan warga. Banjir  kala itu juga membuat putri bungsunya, Sonya, harus dirawat dalam waktu lama di rumah sakit.

“Dia tak ingin penderitaan yang pernah dialami menimpa keluarga lain. Dia berusaha membantu. Sikap yang patut dipuji,” kata Pak Bambang.

“Ya, dia sangat baik. Saya baru menemukan ada pimpinan yang begitu perhatian. Sampai-sampai kantor pun dijadikan sebagai penampungan korban banjir,”  kataku

“Itulah Pak Gafar. Kalo pimpinan lain pasti mementingkan keluarga sendiri. Paling ngungsi ke hotel.”

***

Apa yang dikhawatirkan akhirnya datang. Kota kami lumpuh. Wilayah penyangga, di sekitar kota provinsi ini, juga sama. Di mana-mana banjir. Jalan berubah jadi sungai, sebagian besar rumah tenggelam. Bus kota , kereta api, apalagi kendaraan pribadi tak bisa dioperasikan, terjebak dan mogok di mana-mana. Jalan-jalan berubah fungsi karena ramai oleh perahu karet, juga rakit berbagai model.

Siaran televisi, radio, juga media cetak didominasi peristiwa banjir. Pejabat daerah, mulai dari gubernur sampai pada petugas lapangan tak henti-hentinya diwawancarai. Pengamat lingkungan, sebagian besar pengamat dadakan, memenuhi pemberitaan.

Sebuah televisi membuat acara diskusi khusus soal banjir, tapi tak jarang berubah jadi debat kusir seperti terjadi siang ini. Wakil pemerintah provisi marah karena pengamat menilai banjir tak ditangani ahlinya. Wakil dari LSM tersinggung, karena dinilai menjadikan banjir untuk menangguk keuntungan lewat pengumpulan sumbangan. Seorang peserta diskusi mencak-mencak tak terima ucapan pembicara wakil pemrov yang menyalahkan pemerintah daerah kabupaten yang dia sebut tak becus menjaga lingkungan, sehingga mengirim banjir ke kota provinsi . Diskusi akhirnya berubah kacau, saling bentak, saling dorong. Pembawa acaranya bingung dan siaran pun berakhir.

Keadaan di kantor kami pun sangat ramai. Banjir telah mengubah semuanya. Keramaian tidak hanya siang, tapi juga malam. Karena sekolah libur akibat banjir, keramaian makin memuncak, anak-anak karyawan mulai dari TK sampai pada anak kuliahan tumplek di kantor. Tidak hanya musala, ruang tamu, depan lift yang ramai, tapi ruang kerja pun berubah jadi arena bermain anak-anak yang main petak umpet. Gudang di lantai dasar juga penuh dan sibuk, menjadi dapur umum.

Kantor kami yang berada di ketinggian membuat halaman depan dan belakang gedung juga penuh sesak oleh masyarakat pengusi dari wilayah sekitar. Kegiatan kantor otomatis terhenti, kami berubah jadi relawan, tidak hanya untuk keluarga karyawan, juga bagi masyarakat sekitar yang rumah mereka sudah ditenggelamkan banjir.

Saya tak lagi merasa terganggu. Meski sering diminta mengatar bantuan makanan ke tempat-tempat pengusian di luar gedung. Saya juga tak perlu pusing-pusing dengan rumah kos yang telah beberapa hari ditinggalkan–tidur, mandi, dan makan di kantor. Saya malah berharap banjir tak segera berakhir, karena setiap mengantar bantuan ke berbagai wilayah saya selalu bersama anak Pak Dirut, Sonya, yang mewakili perusahaan dalam menyerahkan sumbangan.

Yang membuat saya betah, dalam perjalanan mengunjungi para korban banjir, Sonya selalu berada di samping saya. Dia bahkan sering berpegangan ke lengan saya saat hendak menaiki perahu karet, atau ketika melewati jembatan kecil di pemukiman berlumpur atau digenangi banjir.

Sonya, seperti juga orangtuanya, memiliki rasa sosial amat tinggi. Dia kerap memaksa mendatangi wilayah yang terkana banjir parah. Bahkan tak canggung nimbrung dengan petugas evakuasi dari pemerintah provinsi untuk membantu warga naik ke perahu karet menuju tempat-tempat pengusian di pingir-pinggir jalan, di musala, mesjid, gereja, atau di pelataran sekolah, gedung, dan pasar.

Dia kini jadi bintang, karena beberapa media, termasuk beberapa televisi mewawancarinya.

“Kami bukan siapa-siapa. Kami masyarakat biasa yang ingin membantu sesama,” katanya ketika ditanya reporter televisi usai menyerahkan bantuan pada korban banjir.

Musibah banjir beberapa tahun lalu yang membuat dia jatuh sakit mengubah Sonya sangat sensitif atas penderitaan orang lain.

“Saya bangga memiliki dia. Dia benar-benar melindungi, sehingga saya tak ragu turun ke wilayah-wilayah banjir membantu masyarakat,” katanya sambil menujuk saya dan kamera televisi pun mengarah pada saya.

Sekembali ke kantor rekan-rekan menyalami saya.

“Selamat. Anda jadi bintang. Sonya sepertinya begitu bangga pada Anda,” kata Murni, Sekretaris Pak Dirut, ayahnya Sonya.

“Benar, kami melihat Sonya dan Anda diwawancari televisi. Ucapan Sonya benar-benar menyentuh, membantu sesama,” kata Deny, rekan dari bidang SDM.

Entah telah berapa lama saya merenung di pagi ini. Sepertinya ada yang hilang. Kantor mendadak sepi. Kemana teman-teman dan keluarganya? Tak ada suara anak-anak belarian, tak ada suara ibu-ibu lagi berteriak agar anak-anak tak ribut.

Saya turun ke lantai 1, juga sepi, hanya terlihat sampah berserakan, dan diujung sana seorang petugas kebersihan menyapu. Di pos satpam televisi masih menyala, seorang satpam terlihat masih terkantuk-kantuk. Tiba-tiba sebuah mobil datang dan berenti di depan pintu lobi.

“Baru bangun Mas? Tadi malam tidurnya nyenyak sekali, saya tak tega membangunkan. Semua, juga para warga pengungsi sudah pulang ke rumah masing-masing. Banjir sudah surut,” kata Sonya.

“Ah, rupanya Mbak Sonya. Selamat pagi Mbak,” kata saya.

“Ngak usah basa-basi Mas. Panggil saja saya, Sonya, nggak pake Mbak.”

“Ya, ya Mbak. Eh Sonya.”

“Ini saya bawakan sarapan, ada kopi, juga teh. Saya yakin Mas belum sempat sarapan.”

“Oh,” Hanya itu yang bisa saya ucapkan. Saya sangat tersanjung. Cintakah Sonya pada saya, apa saya salah duga. Senyumnya membuat saya makin melambung. Tuhan, tolong katakan padanya bahwa saya mencintainya.***

Palembang, 4 Juli 2010 dan cerpen ini telah dimuat di Harian Berita Pagi Palembang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru