Saturday, April 20, 2024
Home > Cerita > Baju Kurung, Cerpen Djunaedi Tjunti Agus

Baju Kurung, Cerpen Djunaedi Tjunti Agus

Baju Kurung

Cerpen: Djunaedi Tjunti Agus

Sudah dua hari ini saya mondar mandir di Stasiun Pudu, stasiun kereta monorail
Kuala Lumpur, Malaysia. Rasanya otak ini tak bisa berpikir, apa yang harus
dilakukan selain mondar-mandir dari Hotel Puduraya ke Stasiun Monorail Pudu,
meski hari ini sudah yang keempat kalinya bolak balik antara dua tempat itu.
Berdiri sesaat di stasiun, kemudian memplototi setiap orang yang turun dari
kereta, terutama gadis-gadis berbaju kurung, lalu balik lagi ke hotel.

“Tunggu saja saya di Hotel Puduraya, tempat Abang menginap dulu. Masih seperti
dulu, tak ada perubahan pada diri saya. Saya masih setia berbaju kurung. Itu
kan yang Abang suka tentang Liza.” Begitu pesan singkat via telepon genggam
dari Norhaziza yang saya terima pekan lalu, begitu saya mengabarkan akan berada
di Kuala Lumpur beberapa hari untuk suatu keperluan.

Tapi, setelah dua hari ini bolak-balik dari hotel ke stasiun monorail, saya tak
kunjung menemui gadis yang beberapa tahun terakhir selalu bertengger di benak
ini. Saya tak bisa melupakan gadis berkerudung dan berbaju kurung itu. Sejak
mengenal Liza-demikian dia akrab disapa-tahun 2002, setelah kami diperkenalkan
Emak Milah, seorang pemilik rumah makan Minang yang ada di food court Bukit
Bintang Plaza, Jalan Bukit Bitang, Kuala Lumpur, sosoknya selalu terbayang.

Meski terpisah jauh, kami rutin berkomukiasi, walau hanya sekadar lewat pesan
singkat melalui telepon genggam. Kadang, sekali setahun, kami berjumpa di Kuala
Lumpur, bila kebetulan saya bertugas ke negeri jiran itu. Tetapi kenapa kali
ini dia tak kunjung muncul?

“Dia urang awak juo. Gadis dari Seremban, Negeri Sembilan, keturunan
Minangkabau,” kata Emak Milah-dalam bahasa Minang berlogat
Malaysia-memperkenalkan Norhaziza pada saya, ketika kami bertemu di restoran
milik Emak, tak jauh dari Hotel Federal, hotel favorit saya bila berada di
Kuala Lumpur.

Sejak itu, bagi saya tak ada gadis lain yang bisa menandingi Norhaziza.
Kulitnya yang kuning langsat, senyumnya yang menawan, tubuh sedang, ramping,
tak terlalu tinggi, membuat dia sempurna. Dia benar-benar gadis ideal. Apalagi
tingkah laku dan sopan santunya. Dia pandai menjaga diri.

Bila semua itu saya ceritakan pada Bundo, ibu saya, di kampung, di Padang
Lua-tak jauh dari Kota Bukitinggi-Bundo selalu bertutur; “Bawalah dia ke sini,
atau ibu yang datang ke sana untuk meminangnya.”

Kalimat itu juga sering menjadi ucapan penutup dari Bundo, setiap dia tak
berhasil merayu saya agar memilih salah satu gadis yang dikenalnya. Ibu
terkadang terlihat naik darah, marah karena keinginannya agar saya segera
berkeluarga tak kunjung terlaksana. Dia tak melarang saya memilih Norhaziza.
Yang dia inginkan, siapapun gadis pilihan saya, segeralah menikah.

“Ah benarkah Norhaziza ingkar janji? Apa mungkin gadis lemah lembut dan penuh
senyum itu tega membohongi saya. Apa mungkin?”

Pikiran kembali tertuju ke Padang Lua, sebuah pasar yang tak jauh dari stasiun
kereta api yang sudah lama tak difungsikan. Ibu memiliki restoran tak jauh dari
stasiun kereta api. Bundo punya 9 karyawan yang menjalankan restoran. Saya tak
ingat kapan kereta terakhir singgah di stasiun itu, atau mungkin saya hanya
mendengar dari cerita-cerita ibu.

Sejak berpuluh-puluh tahun lalu, ketika saya belum lahir, kereta api
Bukittinggi – Padang pergi pulang memang tak dioperasikan lagi. Rel kereta pun
sudah banyak yang hilang, meski stasiun kereta api masih berdiri dan ditempati
petugas dari kereta api. Pernah saya bertanya, buat apa stasiun terus dijaga,
sementara rangkaian kereta tak pernah lewat? Penjaga stasiun mengatakan,
mungkin suatu waktu transportasi kereta api dihidupan lagi. Bisa jadi kereta
api kembali menjadi transportasi utama, karena tak tertutup kemungkinan minyak
di perut bumi habis, lalu mobil tak bisa dijalankan lagi.

Saya juga berharap begitu, suatu waktu kereta api Bukittinggi – Padang
beroperasi kembali. Stasiun di Padang Lua ramai lagi, seperti sering dicerikan
Bundo. Saya ingin melihat situasi Padang Lua berpuluh-puluh tahun lalu, ketika
banyak pedagang berjualan di seputar stasiun, ketika beberapa perantau dari
Jakarta dan kota lainnya turun di stasiun Padang Lua, setelah mereka turun di
Pelabuhan Teluk Bayur, Padang, kemudian melanjutkannya dengan menggunakan
kereta api.

Terbayang sosok seorang lelaki gagah, bertubuh tegap yang murah senyum. Dengan
koper di tangan kiri dan tas kecil di tangan kanan. Dia turun dari kereta api
yang baru saja berhenti di Stasiun Padang Lua, seperti sering diceritakan
Bundo. Saya berdiri, lari ke arah lelaki itu. Ah…, saya tersadar bukan sedang
berada di Stasiun Kereta Api Padang Lua, tapi sedang di Stasiun Monorail Pudu.

Bayangan lelaki gagah tadi sirna. Saya bukan sedang menjemput kedatangan ayah
(almarhum) di Stasiun Padang Lua, yang menurut ibu, ayah adalah seorang lelaki
gagah dan sering berpergian ke Padang dengan menggunakan kereta api. Saya
sedang berada di Pudu, menanti kehadiran Norhaziza. Saya tak tahu Norhaziza
akan muncul dari arah mana. Tapi kenapa dia belum datang juga?

Hotel Puduraya, di Jalan Pudu tak jauh dari Stasiun Pudu terasa sepi. Terminal
bus modern Puduraya yang terletak di lantai paling bawah bangunan itu, serta
pasar sayur mayur, restoran, perkantoran yang ada di lantai berikutnya, atau
yang menopang Hotel Puduraya yang ada pada lantai 4 ke atas, terasa tak lagi
bersahabat. Tiba-tiba saja saya ingin pulang ke Jakarta. Tak ada lagi minat
mengunjungi pusat perbelanjaan Sungei Wang Plaza, di Jalan Bukit Bintang, Kuala
Lumpur, yang dulu menjadi salah satu tempat pavorit saya dan Liza.

* * *
“Lebih baik Anda kembali saja ke Jakarta. Nanti kalau Liza ada waktu, saya
hubungi Anda,” kata Emak Milah.

Saya tak mengerti. Pikiran tak karuan, merasa dipermainkan Norhaziza, yang
katanya ingin mengajak ke Negeri Sembilan untuk berkenalan dengan ibu dan
bapaknya.

“Kenapa dia ingkar janji?”

Mak Milah hanya tersenyum. Dia sepertinya tak peduli. Padahal dia lah dulunya
yang memperkenalkan saya dengan Norhaziza. Bahkan Mak Milah sudah beberapa kali
berhubungan dengan ibu saya di Pandang Lua via telepon.

Saya ingat ketika pertama kali bertemu Liza di restoran milik Mak Milah.

“Panggil saja saya Abang,” kata saya ketika Liza kelihatan rikuh.

Tersenyum sesaat, melirik pada Mak Milah, lalu dia berkata; “Apa Abang tidak
merokok.”

“Merokok? Ah.., itu kan perbuatan mubazir. Perbuatan mubazir itu dibenci Allah.
Lebih baik uangnya kita gunakan untuk yang bermanfaat. Membantu orang miskin
misalnya,” kata saya coba sok bijak.

Liza kembali tersenyum. Dia sepertinya tak ingin bicara lagi. Kami sepertinya
sama-sama kehabisan kata-kata. Lesung pipinya begitu menarik perhatian.
Senyumnya itu, waduh, pasti membuat semua lelaki sulit melupakannya. Saya jatuh
cinta pada pandangan pertama.

“Wah.., wah. Ini benar-benar pasangan yang cocok. Liza memang paling benci
melihat orang merokok,” Mak Milah tiba-tiba memecah kebisuan kami, ternyata dia
menguping pembicaraan kami.

* * *
Sudah hampir sebulan saya kembali dari Malaysia. Hati masih dibaluti
kekecewaan. Kecewa, ternyata bertepuk sebelah tangan, cinta tak terbalas. Saya
kecewa, ternyata penilaian banyak orang terhadap diri saya selama ini bohong
belaka, termasuk Bundo. Ungkapan mereka bahwa saya adalah gambaran laki-laki
ideal, ternyata hanya sekadar basa-basi. Nyatanya tak ada artinya bagi
Norhaziza.

Pedihnya hati ini. Semua uneg-uneg itu pagi tadi saya tumpahkan pada ibu. Usai
shalat subuh, saya menelpon Bundo di Padang Lua.

“Kebetulan, sebenarnya ibu baru akan menghubungi anak ibu yang masih bujangan
ini. Ada yang ingin ibu sampaikan. Tapi baik, Bundo akan mendengar dulu apa
yang akan ananda sampaikan,” kata ibu di ujung telepon sana.

Bila sedang gundah, ibu memang merupakan tempat mengadu paling pas. Malah
dikala kami masih tinggal bersama ibu, beliau tak jarang menenangkan hati kami
dengan mengusap-usap kepala kami. Bundo adalah wanita penuh kasih sayang.

“Nah.., kebetulan. Ibu ingin memperkenalkan nanda dengan seseorang. Pekan depan
ada acara di Pagaruyung, dia juga datang. Jadi ibu menunggu nanda. Mintalah
cuti, dan pekan depan pulang lah dulu. Biar tenang pikiran, mana tahu cocok
dengan hati nanda.”

Saya tak banyak komentar. Permintaan Bundo langsung saya iyakan. Bukannya ingin
melihat wanita pilihan ibu, tapi mana tahu dengan cuti dan pergi ke kampung
halaman bisa melipur lara. Ya.., sekaligus melupakan Liza yang santun, Liza
yang hampir pada setiap kesempatan selalu bicara soal kejujuran. Bicara tentang
sifat nabi, sifat yang perlu ditiru para lelaki agar sukses sebagai seorang
pemimpin, sebagai suami.

“Empat sifat Nabi Muhammad yang merupakan rahasia suksesnya sebagai pemimpin
adalah, pertama siddik atau benar, kedua amanah atau jujur, ketiga fathonah
atau cerdas, dan keempat tabligh atau menegakkan keadilan dan kebenaran. Saya
yakin Abang mampu berlaku begitu,” kata Liza suatu ketika. Kalimat itu sering
diulang pada beberapa pertemuan berikutnya, hingga saya hafal luar kepala.

Itu saya artikan dia siap dipersunting bila saya bisa mendekati empat sifat
tersebut. Dan itu memang saya upayakan. Sejak kenal Liza saya berusaha lebih
taat mengikuti ajaran agama. Tapi kenapa dia kemudian justru mengecewakan saya?

* * *

Kecuali Bandara Internasional Minangkabau atau BIM, tak banyak perubahan di
daerah Sumatera Barat, terutama dari bandara menuju kampung kami Padang Lua,
walau saya telah beberapa tahun tak pulang kampung. Meski begitu, saya tetap
saja merasa bumi Ranah Minang memiliki daya pikat luar biasa.

Saya tetap saja tertarik menyaksikan ibu-ibu pedagang makanan yang mengerumi
kendaraan yang berhenti atau singgah di Lubuk Alung. Saya kagum dengan keuletan
ibu-ibu pedagang telor asin dan pisang rebus dalam menawarkan jualan mereka
pada penumpang bus atau kendaraan pribadi di Sicincin.

Hamparan sawah, ladang, dan perbukitan, diselingi perumahan dan pasar, membuat
mata terasa segar. Saya juga tetap saja terkagum-kagum melihat liukan rel
kereta api yang disangga tiang tinggi terbentang di atas Lembah Anai, menjelang
Padang Panjang, yang dipadu dengan air terjun yang sudah sangat terkenal. Meski
telah berulang kali menyaksikannya, keindahan alam yang sering ditampilkan di
kalender itu tetap saja memikat. Dalam hati timbul pertanyaan, kenapa di negeri
yang subur, indah, dan penuh daya pikat ini masih saja ada rakyat miskin?

Restoran yang terdapat di kiri kanan jalan merupakan daya tarik sendiri,
termasuk Restoran Sate Padang Mak Syukur di Padang Panjang. Namun karena
perjalanan tak terlalu lama, saya tak hendak singgah, khawatir mengecewakan ibu
karena nggak langsung makan begitu sampai di rumah. Tapi saya sempat juga
meminta pengemudi taksi minggir di sebuah warung di Koto Baru-antara Padang
Panjang – Bukittinggi. Saya berhenti untuk membeli bika, Bika Mariana, makanan
khas daerah itu yang terkenal sampai ke Jakarta. Saya membeli beberapa puluh,
oleh-oleh untuk ibu dan sanak saudara.

* * *

Meski sudah dua hari berada di kampung, di Padang Lua, ibu tak menyinggung soal
gadis yang ingin dikenalkannya. Bahkan pagi ini, ketika saya, ibu, dan beberapa
orang saudara akan bertolak ke Pagaruyung, menghadiri suatu acara, Bundo tak
sedikit pun menyebut-nyebutnya.

Ibu juga tidak menjelaskan acara apa yang akan kami hadiri. Yang saya tahu,
acara itu dilaksanakan di rumah saudara ibu, Mande Tinur, tak jauh dari Istana
Basa Pagaruyung atau istana yang merupakan duplikat Istana Kerajaan Pagaruyung
yang terbakar pada tanggal 27 Februari 2007.

Teringat Istana Basa Pagaruyung, pikiran saya kembali tertuju kepada Norhaziza.
Walau mengaku baru pernah sekali berkunjung ke Ranah Minang, tapi Liza begitu
banyak tahu sejarah tentang Minangkabau. Dia sangat bangga dengan Istana Basa
Pagaruyung, yang disebutnya sebagai icon pariwisata Sumatera Barat dan simbol
budaya Minangkabau.

Saya terkagum-kagum ketika suatu kesempatan Liza bercerita dengan lancar bahwa
Istana Basa dibangun pertamakalinya tahun 1976-sebagai duplikat dari Istana
Kerajaan Pagaruyung tempat bertahtanya Raja Alam Minangkabau di Silinduang
Bulan, Batusangkar, Tanah Datar, di atas Bukit Batu Patah, yang terbakar tahun
1804 dalam suatu kerusuhan berdarah.

Istana Kerajaan Minangkabau di Batusangkar itu sempat dibangun kembali, namun
terbakar lagi tahun 1966 dan dibangun kembali 1976, sekaligus dibuatkan
duplikatnya di Pagaruyung, dengan nama Istana Basa Pagaruyung.

Pengetahuannya tentang Kerajaan Minangkabau begitu mengagumkan. Dia tahu luar
kepala sejarah berdirinya kerajaan di Sumbar itu, juga para rajanya. Dia dengan
sangat lancarnya menyebut tanggal 2 Mei 1833 sebagai waktu tertangkapnya Yang
Dipertuan Raja Minangkabau Sultan Alam Bagagarsyah, raja terakhir Kerajaan
Pagaruyung, oleh Letnan Kolonel Elout dari pemerintahan Belanda, di
Batusangkar, atas tuduhan pengkhianatan.

“Sultan dibuang ke Batavia, dan akhirnya meninggal 12 Februari 1849 dan beliau
dimakamkan di pekuburan Mangga Dua,” kata Liza.

Saya yakin Liza sangat kecewa begitu mengetahui Istana Basa, duplikat Istana
Kerjaan Pagaruyung musnah terbakar, akibat sambaran petir. Istana Basa memang
akan dibangun kembali-bahkan upacara adat Managakan tonggak tuo atau
pemancangan tiang utama istana sudah dilakukan 8 Juli 2007 yang disaksikan para
tokoh adat, juga Wakil Presiden Jusuf Kalla-namun saya yakin hati Liza tetap
terluka.

Tetapi, kenapa dia tak menghubungi saya, sekadar berbagi kekecewaan. Apa dia
memang tidak membutuhkan saya lagi?

Tapi apa pedulinya. Nyatanya dia telah mengecewakan saya. Dia telah ingkar
janji, membuat saya bagai anak kecil sedang mencari uang recehnya yang jatuh
dan hilang, bolak-balik dari Hotel Puduraya ke Stasion Kereta Monorail Pudu,
tanpa kenal lelah.

“Ah.., peduli apa?”

“Apa maksud ananda? Sebentar lagi kita juga sampai.” Rupanya saya sudah melamun
begitu dalam, sehingga tak sadar mengeluarkan kata-kata. Saya baru sadar ketika
Bundo berujar bahwa kami segera sampai, setelah sempat mampir sejenak di lokasi
Istana Basa yang akan dibangun kembali.

“Eeeiiii…, Sutan Batawi alah tibo. Labiah lamak pulo dinyo tempe dari pado
randang (Eeiii…., Sutan Betawi sudah datang. Bagi dia sudah lebih enek tempe
dari pada rendang),” kata Mande Tinur, adik ibu, sambil jalan menuju kami yang
baru saja turun dari kendaraan. Dia menyalami saya, sambil menepuk-nepuk bahu
saya dengan tangan kirinya. Saudara ibu ini memang lucu dan periang. Dia akrab
dengan Bundo dan kami anak-anak ibu. Orangnya sangat terbuka, blak-blakan.

“Nah nggak usah basa-basi. Mande ingin tahu, apa nanda memang sudah serius
ingin berkeluarga? Apa nanda sudah setuju dengan pilihan ibumu? Iya bilang ya,
kalau tidak bilang tidak. Nggak usah sungkan-sungkan. Lagi pula tidak ada yang
akan sakit hati bila andainya ananda menolak,” katanya.

Saya benar-benar tak bisa menjawab. Rentetan kata-katanya malah membuat saya
binggung. Saya hanya bisa memandangi Bundo, berharap ibu memberi penjelasan.
Tapi Bundo hanya senyum-senyum. Beberapa orang yang saya kenal, paman atau
saudara laki-laki ibu, saudara-saudara perempuan ibu lainnya, juga bersikap
sama. Saya salami mereka satu persatu, tapi diantara mereka sepertinya tak ada
yang ingin memberi penjelasan. Tamu-tamu lainnya juga sama. Ada yang mendatangi
kami, sekadar salaman. Ada pula yang melambaikan tangan. Sepertinya acara yang
diadakan di rumah Mande Tinur ini begitu penting.

“Dia ada di dalam. Jika cocok, hari ini kalian bisa langsung bertunangan. Acara
ini memang khusus diadakan untuk mempertemukan kalian,” kata Mande.

Kali ini saya benar-benar merasa didikte, dijebak, dipermainkan. Saya melirik
ke arah ibu. Bundo tak memberi reaksi apa-apa, seperti tak ada yang terjadi.
Kesabaran saya seperti benar-benar diuji.

“Tidak akan ada pertunangan hari ini. Lagi pula zaman Siti Nurbaya sudah lama
berlalu. Bukan saatnya lagi orang dijodoh-jodohkan.” Ucapan itu sepertinya
meluncur begitu saja dari mulut saya.

“Oooo. Mande senang mendengar perkataan mu. Tapi siapa yang akan menjodohkan.
Tak ada yang akan dipaksa. Mande bilang, jika kalian cocok. Jika ndak, ya nggak
masalah. Toh tak ada ruginya kita mengadakan acara ini, hitung-hitung pertemuan
keluarga,” kata Mande santai.

“Nah sekarang saatnya kalian saling berkenalan. Mari semua masuk ke ruang
tengah,” kata Mande sambil menggamit lengan ibu.

Hampir dalam waktu bersamaan dari salah satu kamar di ruang tengah muncul
seorang wanita berbadan sedang, berkerudung. Di belakangnya ada beberapa
wanita, dua diantaranya saya kenal, anak Mande. Yang membuat saya merasa aneh,
wajah wanita itu ditutup layaknya wanita arab memakai burka atau cadar. Kenapa
harus begitu? Kalau wanita itu yang ingin dikenalkan, tentunya saya tak bisa
menilainya, karena wajahnya tak bisa dipandang jelas. Kok seperti membeli
kucing dalam karung?

“Kenapa kamu tersenyum sinis begitu. Apa ada yang aneh?” Mande mengagetkan
saya.

“Ndak ada yang aneh. Tapi percuma saja Mande susah-susah membuat acara ini.
Saya tak ingin menikah, saya tak sedang ingin mencari istri. Meski begitu,
terimakasih atas semua ini.”

Saya benar-benar tak merasa nyaman dengan cara Bundo dan Mande mencarikan saya
jodoh seperti saat ini.

Saya hendak beranjak ke ruang depan. Tak ada keinginan melihat siapa gadis di
balik cadar itu. Tiba-tiba saja saya mendengar percakapan dalam logat Malaysia.
Tak mungkin itu turis asal Malaysia yang kami lihat di lokasi terbakarnya
Istana Basa tadi. Lagi pula salah satu suara diantara ibu-ibu yang bicara dalam
logat Melayu itu sepertinya saya kenal. Tertegun, langkah saya tertahan. Dan
tiba-tiba dari ruang belakang muncul Emak Milah, bersama beberapa orang ibu-ibu
dan beberapa laki-laki. Senyumnya mengambang.

Saya urung pergi ke ruang depan. Dengan penuh keheranan saya hampiri Mak Milah.

“Kok Mak Milah bisa ada di sini?”

Tersenyum sesaat, lalu mengulurkan tangan. Kami bersalaman, lalu dia berkata;
“Kami semua datang memenuhi undangan Bundo dan Made. Kami ingin menghadiri
pertunangan mu.”

“Ah…, siapa yang akan bertunangan. Dengan siapa?”, kata saya.

Mak Milah menujuk ke salah satu kursi dimana duduk wanita bercadar. Dia
didampingi dua putri Mande. Mereka terlihat berbisik. Saya ingin menanyakan
kabar tentang Norhaziza, tapi Mak Milah sepertinya tak punya waktu.

“Ayo, seharusnya kamu memperkenalkannya pada kami,” kata Mak Milah.

Saya tak hendak beranjak, walau Mak Milah coba mendorong bahu saya. Di saat
saya tetap berdiri, terpaku, Mak Milah malah berjalan menuju gadis itu. Dia
membisiki sesuatu pada gadis itu.

“Dia bersedia cadarnya di buka. Apa nanda ingin melihat wajahnya?,” kata Mak
Milah.

Tanpa menunggu jawaban, Mak Milah membuka cadar gadis itu. Tiba-tiba saja dada
saya berdegub kencang. Rasa kesal, rindu, bercampur aduk. Saya begitu mengenal
wajah itu. Ingin rasanya lansung berlari ke arahnya, membopong, mencium, atau
meraih, merenggut, kemudian dengan kasar membekapnya. Tapi itu tak mungkin, tak
sopan, karena kami bukan muhrim. Saya coba menahan diri, berjalan ke arahnya,
lalu menjulurkan tangan. Kami bersalaman.

“Maafkan Liza Bang. Liza tak jadi menemui Abang di Stasiun Pudu,” kata gadis
itu tersenyum.

Di wajahnya terbayang bagaimana rindunya dia. Kami bersalaman erat. Tangan kami
sepertinya sulit dilepaskan. Hati haru-biru. Rasanya saya tak sabar menunggu
saat pertunangan. Saya bahkan ingin menikahi Norhaziza saat ini juga. Tapi saya
tak berani mengucapkan. Liza sepertinya tahu apa yang ada dalam benak saya,
wajahnya tak lepas dari senyum.

Saya melihat Mande mencibir, seperti sering dilakukannya bila menggoda kami
anak-anak dan saudara-saudaranya. Bundo hanya tersenyum.

“Katanya tak ingin dicarikan jodoh? Tak ingin punya istri?” kata Mande, lalu
semua orang yang ada di rumah Mande bertepuk tangan, suasana berubah riuh.***

Kebayoran Baru, Februari 2008

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru